Ngaji Syair: Merawat Sastra Keimanan

Rabu siang, saya lihat status whatsapp teman berisi informasi kegiatan: ngopi bareng, ngaji syair. Saya masih kurang paham sebab minim informasi. Kemudian, Anwar yang saya ajak ngopi di warkop 2, rupanya banyak memberikan informasi kegiatan di atas, apa saja yang dibahas dan Ra Zein sebagai pemantiknya. Dari situ saya paham. Kemudian Anwar mengirim teks syiir yang akan dibahas pada sore itu, 10 September 2025 di DPC PKB Situbondo.

Sekilas saya membaca, tanpa ragu saya langsung menimpali pada Anwar bahwa dalam syiir ada beberapa kata yang berubah. Seperti sakodhuna seharusnya kawajibhân. Sebab syiir itu sudah tertanam sejak saya masih kanak. Dan akhir-akhir ini tidak mengikuti perkembangan syiir itu, mungkin sudah mengalami perubahan atau penyesuaian. Lirik syiir di sini.

Sejak lulus SD di tahun 2002an kawan saya banyak yang melanjutkan proses belajar di pondok pesantren, termasuk Wali Songo, Mimbaan. Seperti biasa, setiap Ramadan, saya bisa bertemu kembali dengan teman-teman yang mondok di berbagai pesantren. Sementara saya masih melanjutkan pendidikan di MTs. yang baru berdiri di desa saya.

Suatu waktu, salah satu kawan saya sempat membawa syiir ke masjid—tempat kami berkumpul kebetulan berdempetan dengan langgar, tempat mengaji,—dicetak seperti kitab, karya Kyai Kholil As’Ad yang mereka bawa dari pondok. Syiir tersebut seringkali dijadikan bacaan zikiran setelah Azan yang ditulis dengan huruf pegon berbahasa Madura. Saya ingat halaman pertama diawali syiir bait salawat ngamponga, untuk urutan syiir selanjutnya saya sudah lupa.

Syiir-syiir Kyai Kholil juga hadir melalui musik gambus Al Mahabbah ketika zaman VCD masih berjaya. Gambus itu sering menjadi hiburan di acara hajatan, pengajian hingga arisan salawatan yang diputar melalui sound atau toa. Sejak itulah, syiir Al Mahabbah dari vol 1 – 4 mulai tertanam dalam ingatan saya. Tahun 2011 – 2015 saya pernah bekerja sebagai operator warnet. Musik menjadi sesuatu yang wajib diputar. Gambus Al Mahabbah juga hadir di ruang streaming. Setiap menjelang Magrib saya rutin memutar lagu islami. Sesekali juga memutar gambus Al Mahabbah. Kadang ada juga pelanggan yang nyeletuk. “Mas, berkatnya keluarkan!”

Sekitar tahun 2018, saya mendampingi tamu dari balai Bahasa Jawa Timur. Ia meneliti Bahasa Madura Situbondo termasuk inventarisasi kata yang mungkin belum terbahasakan dalam Indonesia. Saya menemani ke beberapa budayawan atau orang-orang yang banyak mengetahui pengetahuan budaya. Saya juga memberikan rekomendasi untuk mendengar lagu-lagu madura, gending/kejhung, lawak, gambus, hadrah yang berbahasa madura. Saya juga menunjukkan semua lirik-lirik syiir Kyai Kholil As’ad yang pernah saya tulis tangan untuk dibaca dan mungkin bisa menjadi bahan untuk dikaji.

Dari sini saya melihat bahwa sastra pesantren itu ada. Sebagaimana kata Martin Alaeda, Sastra pesantren itu bukan wahyu tapi mengandung kebajikan. Dengan cangkolang, saya menyebut, Kyai Kholil ialah pelestari sastra lokal, turut merawat Bahasa Madura halus, juga menginspirasi saya untuk terus belajar melalui sastra yang lebih dekat.

Menariknya, dalam acara ngaji syair, setiap peserta yang hadir boleh menyampaikan pendapatnya. Saya datang terlambat, tentu sudah melewati berbagai interpretasi terhadap syiir ini. Tapi saya nutut ketika Mas Imam Nawawi membahas kata lamis, dalam syiir ini bukan sesuatu yang berkonotasi buruk sebagaimana dalam keseharian disebut suka meminta-minta kepada teman. Dalam rangkuman yang ditulis Mas Kadari bahwa dalam syiir ini mengajak kita pentingnya bersyukur atas setiap karunia dan meningkatkan iman dan takwa, menjalani hidup dengan kesadaran kita sebagai makhluk akan kebesaran Tuhan.

Dalam spiritualitas dan ekspresi, Kyai Kholil menggunakan media bahasa, sesuatu yang bisa melampaui bahasa ialah sastra. Beliau memadukan kedua itu. Bahasa yang dipilih oleh beliau dalam syiir Al Mahabbah banyak menggunakan Bahasa Madura, bahasa mayoritas masyarakat Situbondo.

Mbah saya termasuk orang yang tidak bisa berbahasa Indonesia, banyak juga warga yang sudah sepuh tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan syiir berbahasa Madura yang juga hadir di ruang dengar publik sepertinya lebih pas, bisa menjadi alternatif sarana dakwah yang tidak tersentuh oleh masyarakat marginal.

Lewat diksi dan kosa kata yang dipilih dalam syiir “senneng ka sè abhâdhi abâ’”, menunjukkan bahwa kita semua tidak ada apa-apanya. Dalam syiir ini pula, Kyai tidak menulis kata Allah dalam baitnya, begitulah kerja sastra. Kita diajak untuk membaca tidak hanya pada lirik tapi bisa lebih dari itu, memahami dan merenungi tentang penciptaan sebagai literasi iman yang tidak hanya mengandalkan akal tapi juga hati dan keyakinan.

Nilai rohani dalam bait syiir ini menyentuh ranah jiwa yang dalam. Sekaligus menjadi momentum pengingat mengenai perjalanan hidup, menebar makna dan menyehatkan jiwa dengan unsur keindahan bagi pembaca dan pendengar.

Penulis

  • Moh. Imron, lahir dan tinggal di Situbondo


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Nanik Puji Astutik Prosa Mini

Laksana Putih Salju

Uncategorized

Ini Dia Perbedaan Mas Rio dan Teh Rio

Kriselda Dwi Ghisela Resensi

Resensi Ronggeng Dukuh Paruk

Aldi Rijansah Putra Alexong Cerpen

Cerpen: Di Langit, Sore Masih Jingga

Mahadir Mohammed Puisi

Puisi: Dimensi Mimpi

Khairul Anam Puisi

Puisi: Manunggal Rasa

Apacapa Iip Supriatna

Tantangan Pendidikan di Era Millenial

fulitik

Jalan Santai Bareng Mas Rio Dongkrak Penjualan Pelaku UMKM

Apacapa Sholikhin Mubarok

Islam Nusantara Adalah Representasi Islam Universal

Apacapa Sejarah Situbondo

Operasi Carthago: Mengenal Sejarah Pertempuran di Asembagus

Cerpen Eko Setyawan

Cerpen – Ada Sesuatu yang Telah Dicuri dari Tubuhku, Entah yang Mana

Apacapa Imam Sofyan

Olean Bersholawat: Pengajian Ramah Disabilitas

Puisi

Remuk Redam dan Puisi Lainnya

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Pemimpin Redaksi takanta.id dan Kebahagiaannya Akhir-Akhir Ini

Cerpen M Ivan Aulia Rokhman

Cerpen : Kehilangan Tas di Kota Pasundan Karya M Ivan Aulia Rokhman

Cerpen

Cerpen: Pasang

Cerpen Toni Kahar

Cerpen: Sebelum Membayar Dendam

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen : Kesucian Karya Agus Hiplunudin

Halimatussa’diah Mored

Puisi Mored: Pergi Tanpa Kembali dan Puisi Lainnya

Tips/Trik

Sabun Mandi Bisa Membuat Kulit Kering, Fakta atau Mitos?