Pedasnya Jihu Tak Sepedas Rindu


Oleh : Wilda Zakiyah
Makanan
di Situbondo yang masih asing di kota-kota tetangga ini menjadi makanan favorit
orang asli Situbondo maupun pendatang. Jihu sendiri terbuat dari bahan yang
sederhana. Hanya tepung kanji dan tahu. Untuk bumbu, biasanya memakai garam,
cabai dan sedikit irisan bawang putih untuk menambah aroma, lalu diulek sampai
halus. Jihu sendiri awalnya dari bakso tahu mini atau biasa disebut “pentol”
yang dipotong kecil-kecil sesuai selera lalu digoreng.
Saya
biasa membuatnya saat ingin ngemil. Karena bahannya mudah didapat, cara
memasaknya pun cepat. Tapi rasanya tidak membohongi lidah, seperti janji manis
dia. Duh.
Nama
jihu merupakan singkatan yang diambil dari kanji dan tahu. Olahan sederhana
yang ada di Situbondo. Bisa dinikmati oleh siapa saja, termasuk oleh orang yang
sedang patah hati tentunya. Dari kalangan anak-anak, pejabat, nelayan, sampai
orang tua dan veteran Indonesia. Cukup berkunjung ke Situbondo, kalian akan
menikmati jihu yang enak dan pedasnya yang pas. Rasa asin, pedas, dan gurih.
Tapi bukan perasaan jatuh hati pada si dia.
Penikmat
jihu rata-rata adalah orang yang terluka dan ditinggalkan. Memesan level paling
pedas sudah biasa. Karena bagi mereka, pedasnya jihu tak sepedas rindu.
Saya
sendiri adalah penikmat sekaligus pembuat. Tapi bukan berarti saya berada pada
fase sakit hati akibat dikhianati. Pernah sih nangis, tapi bukan saat saya
menggoreng jihu. Melainkan saat mengulek bumbunya, tiba-tiba air mata merembes
keluar. Perih. Gara-gara lupa setelah memegang cabai lalu mengucek mata yang
kelilipan. Sekali lagi, bukan karena patah hati.
Banyak
orang dari luar Situbondo penasaran dengan rasa jihu. Salah satunya teman Mas
Farhan (Bapak Literasi Situbondo) dari Lumajang. Sekarang jihu mudah didapat,
warung-warung pinggir jalan sudah banyak yang menyediakan jajanan lokal ini.
Saya
tahu satu tempat jihu enak yang pernah saya coba selain masakan saya sendiri
tentunya. Tempatnya di desa Landangan selatan Pabrik Salem atau pabrik udang,
jalan menuju desa Wonokoyo. Gurihnya dan rasa bumbunya pas di lidah. Orang
Situbondo sendiri sudah familiar sekali dengan jihu, tinggal orang luar kota
saja. Saya ingin mengenalkan salah satu jajanan kuliner Situbondo yang sampai
sekarang masih menjadi tranding topic.
Orang
yang suka galau biasanya suka dengan jihu, apalagi yang sedang merindu.
Memesan
jihu sudah bisa pakai online, layanan Joker juga sudah dapat mengantar pesanan.
Tinggal mencari penjual jihu yang menurut kalian rasanya nendang di mulut.
Bukan lembut di janji lalu ditinggal pergi.
Jihu
juga bisa dinikmati sebagai lauk makan. Jhuko’, kata orang Situbondo.
Atau sebagai cemilan biasa. Bisa juga dinikmati dengan kekasih, biar ada romantis-romantisnya
gitu.
Saya
menuliskan jihu ini setelah menerima tantangan dari Bapak Komunitas, Moh. Imron.
Tapi bukan berarti saya terpaksa menuliskannya. Saya menyukai jihu sudah lama
dan bagi saya bahagia-bahagia saja menuliskan tentang jihu. Karena saya memang
penikmat Jihu. Bukan pemikmat cemburu.
Ada
teman pondok di Ponpes Salafiyah-Syafi’iyah, Sukorejo, Situbondo. Dia asal
Sumenep. Lama di Situbondo membuat dia menyukai jihu. Bahkan saat dia pulang ke
Sumenep setelah liburan pesantren selama lima puluh hari, sekembalinya dia ke
Situbondo, dia mengaku bahwa yang paling dirindukan adakah Jihu. Sebab di
Sumenep, dia tidak menemukan makanan yang ada kota ujung timur pulau Jawa
sebelum Banyuwangi, ini.
Kami,
teman-teman takanta.id akan membuat warung takanta yang menyediakan jihu. Agar
para pendatang maupun orang-orang Situbondo bisa menikmati makanan yang super greget
ini. Yang akhirnya memunculkan rasa kangen. Semoga terealisasikan.
Selamat
menikmati jihu di Situbondo. Datang ke Situbondo tanpa menikmati jihu akan
membuat kalian menyesal. Men-jihu-lah sebelum merindu.
Warta,
25 Juli 2019

Penulis


Comments

Satu tanggapan untuk “Pedasnya Jihu Tak Sepedas Rindu”

  1. Avatar Anonim

    Ye lah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Buku Putri Nur Fadila Ulas

Ketika Dewasa Itu Karena Terpaksa

Apacapa Feminis Irham Kahfi Yuniansah

Diskursus Feminisme Jawa: Kekuasaan dan Laku Spiritual

Apacapa Kampung Langai Panakajaya Hidayatullah

Dangdut Madura: Upaya Orang Madura ‘Swasta’ Mengartikulasikan Modernitas

Cerpen Levana Azalika

Kutu dan Monyet

Apacapa Fendy Sa’is Nayogi

Kemarau Tiba, Hati-Hati Kekeringan

Mahabatush Sholly Resensi

Resensi: Seribu Kebohongan untuk Satu Kebahagiaan

Apacapa Esai Fendy Sa’is Nayogi

Jangan Dilupakan, Folklor Sebagai Media Membentuk Karakter Bangsa

Apacapa Ulfi Nurkholifatunnisa

Pengaruh Media Sosial Terhadap Wawasan Kebangsaan Generasi Z

Apacapa Musik Supriyadi Ulas

Senandung Kasih dari Ibu

Apacapa Feminis Raisa Izzhaty

Perempuan Cerdas Melawan Dating Abuse

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen – Runtuhnya Pertahanan Kunti dan Perang Pandawa Lima

Cerpen Harishul Mu’minin

Cerpen: Ginjal Pembawa Kesedihan dan Penyesalan

Indra Nasution Prosa Mini

Prosa Mini – Perbincangan Kakek dengan Pemuda

Puisi Syukur Budiharjo

Puisi: Sajak Kenangan Kota Tua

Apacapa Imam Sofyan

Geliat Literasi dan Harapan yang Takkan Mati

Nurillah Achmad Puisi

Puisi : Levhicausta Karya Nurillah Achmad

BJ. Akid Puisi

Ayat-Ayat Luka dan Puisi Lainnya Karya BJ. Akid

Cerbung Fikri Mored Moret

Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 5)

Cerpen Muhtadi ZL

Cerpen: Dengan Rasa

Cerpen Yulputra Noprizal

Cerpen : Ini Kawanku, Namanya Zar Karya Yulputra Noprizal