
Pelabuhan Jangkar
kualihkan pandangan ke batas laut
bagai ujung dunia di depan mata
meski harus kuhentikan memainkan jala
supaya nyawaku tak berjumpa maut
di Jangkar.
seorang nelayan baru muncul dari ufuk cakrawala
membawa lelah-letih yang tertunda
dan kemenangan tersirat di bibirnya
bagai usai menggapai benang raja
di seberang Jangkar.
bahkan bila harus dilupakan zaman
kuharap tak kehilangan pegangan.
Di Kampung Kerapu
sebuah mata melompat
dari kelopak yang rapat
rona-rona berkilatan
seumpama kata yang tak selesai diterjemahkan
kita adalah mimpi-mimpi
yang disamarkan kenyataan
doa-doa disapu angin
diterbangkan menuju Makam Sang Maulana
nelayan-nelayan menjaring maknanya
lalu memasukkan ke dalam peti pendingin
tiada yang sempat tergenggam
sebab badai buru-buru datang
di ujung cakrawala
ombak pun terhenti
menjemput senja
yang datang sekali sehari
sebelum kita lepas angkara di dada
mengaramkannya ke dasar samudera.
Merunduk di Kalbut
selongsong tanah pembentuk bumi
sebelum tiba pagi
tak pernah berkhianat
tentang ruh yang diam-khidmat
beberapa peristiwa yang kita kenang
di halaman belakang
adalah tambahan napas agar tetap di permukaan
bila tak ingin tenggelam pelan-pelan
seumpama tanjung pecinan berderu
tiada letih muat-bongkar penuh-seluruh
lalu berlayar sehari
ke Pulau Sepudi
dan arah angin pun tak mampu kita baca
di antara riuh hujat dan doa.
Jalan Baluran
kita ragu menjawab pertanyaan-pertanyaan
lantas berpandangan
menerka-nerka jalan
yang tak terpampang tanda jalan
dari arah berlainan
kita berjumpa wajah-wajah penuh kecemasan
semakin dekat
memangkas jarak,
menyintas persimpangan,
menerabas belukar dan hutan.
“bukan waktu yang kekal, tapi
menghitungnya selalu terasa janggal.”
setelah perjalanan panjang kita tempuh tanpa peta
kutemukan sebuah nama tanpa tanda bahasa.
Mangaran
jalan aspal retak menuju rumahmu
tak urungkan keinginanku bertemu denganmu
sepanjang jalan kubaca doa tentang kotaku
sebelum dihapus sejarah dan rahasia waktu
tetapi matahari tak pernah tenggelam di sini
seolah abadi dan tiada akan mati
pelan-pelan kutembusi pohon-pohon bakau
daun-daunnya menutup sepanjang lepau
kedatanganku terlambat
–mungkin perbaikan jalan yang membuatku terhambat
sebuah perjanjian tak pernah kita buat
dan salah satu dari kita tiada yang mencatat.
Langit
langit tetap biru
meski kau mengecatnya jadi kelabu
di Pasir Putih, beberapa turis berjemur
tanpa kerudung
bising laut mengempas pantai, pelan
seperti ada yang datang
perahu-perahu membentang
dan kanak-kanak bermain layang-layang
memunggungimu seolah tak pernah bersua
di antara tanda-tanda
burung-burung di atas melintas bebas
dan siul angin jadi nyanyi tanpa batas
hingga tanpa sadar langit bercat putih rekah
gumpalan awan sepenuhnya reda.
ILUSTRATOR
@Anwarfi, alumni DKV Universitas Malang tahun 2017,
freelance designer, owner @diniharistudio Situbondo.
Tinggalkan Balasan