Politik Identitas di Indonesia Karya Agus Hiplunudin

Politik Identitas di Indonesia: Dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi

Penulis : Agus Hiplunudin
ISBN: 978-602-6576-088
Penerbit : Calpulis – Graha Ilmu
Halaman : X+94
Format : 17.525
Berat : 260 gram
Penulis mengutip pandangan dari Wangsanega yang berasumsi
bahwasanya setiap individu memiliki kecenderungan untuk mengidentifikasikan dirinya
dengan etnis tertentu. Sementara itu individu lain memiliki self concept
atas etnisnya dan etnis di luar etnisnya, seringkali juga menilai perilaku
orang lain terkait dengan latar belakang etnis dan kesuku-bangsaannya. Ketika
individu telah memiliki pandangan bahwa etnisnya merupakan etnis yang lebih
baik daripada suatu etnis tertentu, maka ia akan memandang lebih rendah terhadap
etnis yang menjadi lawan perbandingannya. Dalam hubungannya dengan etnis-etnis
lain seringkali berkembang sejumlah stereotype. Stereotype antar etnis
sesekali dapat muncul dalam suatu interaksi yang sedang terjadi. Seringkali,
timbul prasangka rasial yang menyebabkan keterbatasan interaksi terhadap suatu etnis
tersebut yang pada akhirnya akan menimbulkan jarak sosial dan akan menghambat
terjadinya proses integrasi sosial dalam masyarakat yang multi etnis. Prasangka
diartikan sebagai sikap negatif terhadap sesuatu. Karena banyaknya suku bangsa
maka Indonesia menjadi negara yang berlebel multikultur dan multietnis itu.
Pengertian etnisitas berasal dari Etnos diambil
dari bahasa Yunani kuno, secara spesifik dimana pengertiannya dapat dimaknai
sebagai sekelompok manusia yang memiliki ciri-ciri yang sama dalam hal budaya dan
biologis serta bertindak menurut pola-pola yang ralatif sama pula. Dalam hal
ini penulis sejalan dengan apa yang dikemukakan Handelman dan Schemerhom mereka
membedakan empat tingkat perkembangan yang dipertunjukkan di dalam komunitas
budaya manusia, yakni:
Pertama; Kategori Etnis, keterhubungan seseorang dengan masyarakat merupakan suatu
ikatan yang agak longgar dan sekadar suatu gambaran adanya perbedaan budaya
antara kelompoknya dengan dunia luar. Contoh kelompok etnis yang ikatannya
telah longgar namun tetap masih menjaga ikatan etnisnya adalah daerah Tapanuli,
Aceh dan Sulawesi Selatan,
Kedua;
Jaringan Etnis sudah terdapat interaksi yang teratur antara anggota-anggota
etnis tersebut sehingga dengan jaringan tersebut terjadi distribusi
sumber-sumber antara anggotanya. Pada tingkat asosiasi etnis, para anggotanya
telah mengembangkan minat yang sama dan membentuk organisasi-organisasi politik
dalam pernyataan-pernyataan kolektif, contohnya Persaudaraan Saudagar
Bugis-Makassar yang sudah mempunyai agenda kegiatan rutin,
Ketiga; pada tingkat Masyarakat Etnis (ethnic community) kelompok masyarakat
tersebut telah memiliki teritori yang tetap serta terikat di atas organisasi
politiknya seperti misalnya yang terlihatdi dalam suatu negara nasional (nation
state
). Schermerhorn melengkapinya dengan mengatakan bahwa suatu kelompok
etnis adalah suatu masyarakat kolektif yang mempunyai atau digambarkan memiliki
kesatuan nenek moyang, mempunyai pengalaman sejarah yang sama di masa lalu,
serta mempunyai fokus budaya di dalam satu atau beberapa elemen-elemen simbolik
yang menyatakan akan keanggotaannya, seperti pola-pola keluarga, ciri-ciri fisik,
aliansi agama dan kepercayaan, bentuk-bentuk dialek atau bahasa, afiliasi
kesukuan, nasionalitas, atau kombinasi dari sifat-sifat tersebut yang pada
dasarnya terdapat ikatan antar anggotanya sebagai suatu kelompok.
Secara singkat Buku Politik Identitas di
Indonesia; dari Zaman Kolonialis Belanda hingga Reformasi, merupakan buku
sejarah gerakan politik etnisitas yang bermula dari perbedaan warna kulit, adat
tradisi, dan budaya. Selanjutnya identitas dalam konteks etnisitas tersebut
dijadikan sebuah alat pembeda untuk melakukan perlawanan atau pun penguasaan. Dalam
bagian pertama buku ini dipaparkan mengenai etnisitas dan politik. Di dalamnya
termuat beberapa teori, yakni: teori hibriditas, hegemoni, dan teori praktik
sosial bourdieus, dilanjutkan dengan pembahasan mengenai politik identitas dan
etnisitas Indonesia. Bagian dua mengupas mengenai kolonialisme vs nasionalisme.
Pada bagian tiga mengupas mengenai konflik antar etnik. Bagian terakhir
memaparkan mengenai etnis Tionghoa di Indonesia, termuat di dalamnya pembahasan
mengenai Tionghoa dalam sejarah, dan ekonomi politik Tionghoa.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Moh. Imron

Alternatif Nama Pendopo Selain Aryo Situbondo

Apacapa Novi Dina

AMDAL dalam Sebuah Percakapan

Apacapa Esai Marlutfi Yoandinas

Dunia Penyair dan Puisi-Puisinya

Apacapa Nanik Puji Astutik

Menjadi Perempuan Cerdas di Era Milenial

Apacapa Literasi Syaif Zhibond

Bahagia Literasi : Teruslah Mencari

Apacapa

Maukah Kau Menemaniku di Kampung Langai, Dik?

Cerpen Sheila Primayanti

Cerpen: Kehilangan Sebelum Memiliki

Puisi Syukron MS

Puisi: Kapsul Cinta

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Memaknai Segitiga Cinta

Prosa Mini

Cerita: Ghangan Oto’

Indra Nasution Prosa Mini

Daya Kritis yang Hilang

Apacapa

Sudahkah Anda Konsisten?

Cerpen Erha Pamungkas

Cerpen: Perempuan Api Unggun

Musik Supriyadi Ulas

Desember dan Musik yang Sendu

Apacapa

Kayumas Bersastra: Menjadi Tua yang Menyenangkan

Apacapa

Kekuatan Gaya Hidup sebagai Strategi Pertahanan Utama Kesehatan Mental

Apacapa Nanik Puji Astutik

Kehidupan Ini Tak Seindah Foto yang Kita Posting

Advertorial Tips/Trik

Jaga Kesehatan Tubuh dengan Mencegah Penyakit Sistem Pencernaan

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Rèng Lakè’ Pernah Alebhele

Apacapa Sainur Rasyid

Gusdur dan Buku