Puisi: Mari Menikah

 

Puisi-puisi
Devi Ambar Wati

 

Menikah
Hari Ini

 

Langkah
kaki itu, tak lagi berjalan sendiri. Mereka, bergerak saling beriringan.
Menyelaraskan, yang tinggi pun rendahnya. Maka, mari saling melaju bersama.
Setara. Setujuan. ‘tuk singgah, di tempat-tempat indah bersama. Tanpa ada
cerita penuh derita. Tanpa ada hati yang terluka.

 

Mari,
menikah dengan penuh suka cita dan cinta. Hari ini, kita bahagia. Esok, pun
seterusnya, tetap berbahagia…

 

 

 

 

Prahara Rumah Tangga

 

Pintu
berderit

Genting
bocor

Motor
butut mulai brengsek

Piring
retak

Cermin
retak

Hati
retak

Diterkam
kekacauan rumah petak

 

“Bukankah,
berterus terang saja jauh lebih bijak. Kemana perginya uang itu semua?”
Pekiknya tajam. Meninggikan debur suara ombaknya. Yang lama bersemayam di
pesisir pantai. Kedua matanya, penuh nyala api yang kian berkobar.

 

Ia
menggelengkan kepala. Dengan tanpa mempedulikan ikan asin, yang gosong di
penggorengannya. Menghitam, seperti pikirannya saat ini. Gelap. Tak bisa
menerka arah pintu keluar.

 

 

 

Tanggungjawab

 

Sedu
dan payah

Menjelma
tawa rekah

Di
bulan Januari akhir

Isi
dompet menebal

Hari-hari
berikutnya, menipis

Mencanangkan,
belanja rutin ke pasar

 

Keringat
dan air mata

Menjelma
senyum tulus

Bulan
Januari memikul detik penuh rakus

Mengendap,
isi dompet kian kurus

Dijejal,
dikejar, pertanggungjawaban tiap pagi buta

 

 

 

Sadur Kekasih

 

Sebelum
bulan purnama kedua belas tiba

Aku
tergesa-gesa berjumpa

Kepada
perempuan paling cantik

Yang
singgah di semesta, matanya berbinar dengan apik, senyum yang dimilikinya penuh
keindahan…

Ia
memiliki lesung pipit. Bulu mata yang lentik. Manis senyumnya pada paras
rupawan

Suaranya
merdu, bagai kicau burung jalak

 

Sebelum
habis masa tahun ini

Debar
hatiku, tak keruan

‘tuk
menyegerakan rumah abadi padanya

Asmara
kian bergemuruh

Menjejal
seluruh isi akalku

 

Sebelum,
tenggelam perasaan penuh cinta ini

Aku
merapalkan kalimat sakral, pun disaksikan jabat tangan di atas meja. Kalimat
syahadat dimunajatkan. Jua, doa-doa baik, atas kami di langitkan

Bersamanya…

Dengan
perempuan, dambaan hatiku

Yang
kupetik, sedemikian indahnya

Pada
pelataran semesta yang syahdu angin-anginnya

 

Kini,
suara merdunya. Memekak gendang telingaku

Suara
merdunya, mencabik-cabik hatiku

Suara
merdunya, membunuh romansaku

Sehingga
aku, terpuruk. Menatap bingkai foto pernikahan itu

Setelah,
melangkahkan kaki menuju altar yang sakral

Aku
lengah

Betapa,
kisruhnya aku hari itu

Berniat
‘tuk matikan waktu sejenak

Agar
suara merdunya, tak lagi ku dengar

Agar
perangai baharinya, tak lagi ku nalar

 

Maka,
sebelum habis bulan purnama kelima belas

Aku
menikam diriku. Bersembunyi di balik luka hati

Bersiul,
merindangkan merdu suara bagi diri-sendiri

 

 

 

Sajak Ribut

 

Kepala-kepala
yang dingin

Sengaja
kaubiarkan kedinginan. Membeku.

Di
lantai rumah penuh debu

Rak
piring berdebu

Jemuran
bergelantungan. Berjamur, penuh basi

 

Kepala-kepala
itu. Sengaja kian dingin. Keras. Nan kaku

Bila,
bertemu. Asing. Tertinggal. Bengis.

Seperti,
pertama bertemu

Seperti,
selamanya tak menemukan titik temu

 

Aku
siapa ?

Entahlah.
Orang gila yang kehilangan akal sehatnya, mungkin.

Payah!!
Lalu, aku ini apa? 2 tahun menjejal hatimu yang hampa. Ku sadurkan sajak indah,
berlarik penuh cinta. Kata-kata mesra sibuk menata. Kau masih abaikan aku. Pun,
hari ini kita telah menikah. Kau masih tak tahu, bahkan percaya. Aku ini siapa?

Entahlah.
Barangkali lelaki yang tak tahu diri. Senyap. Dibungkus, nyala api. Beringas,
disesap semesta. Yang tandus syair pohon-pohonnya.

 

 

 

 

Lega

 

Secangkir
teh hangat di pagi hari

Aromanya
dahsyat

Dengan
daun-daun teh yang menggumpal di atas permukaan air

Kicau
burung terdengar merdu

Hamparan
daun-daun kering di depan teras, masih rapi di sana, tak ada satu pun yang
tersapu

 

Senyap.
Tak ada bising suara lagi

Ah,
rupanya. Memang benar, berjarak darinya melegakan rahang

 

 

 

Tentang Penulis

Devi Ambar Wati kelahiran Kediri 99. Buku pertamanya, “Kepada Rasa yang Ada
di Bumi”, telah diterbitkan oleh Penerbit Onepeach Media. Karya-karyanya telah
dimuat dalam bentuk antologi puisi. Ia merupakan penulid terpilih antologi
puisi “Ibu’, Penerbit Sastramedia Pustaka (2022), peraih juara harapan 1,
antologi puisi “Selesai Yang Tak Usai”.

 

Ig : @ambrwtidvi_

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Kampung Langai

Langai: Bersuara Ataukah Dibungkam?

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Selamat, Mas Rio dan Mbak Ulfi

Madura Puisi Madura Sastra Situbondo

Puisi Madura: Namen Loka

Mored Rini Yulianti

Cerpen Mored: Sang Keramat Batu Pandhusa

Apacapa fulitik Rasyuhdi

GOR BK Itu Narsisme Politik Saja Sih

Aang MZ Puisi

PUISI: Antara Lidah-Api Karya Aang M,Z.

Apacapa Nanik Puji Astutik

Kehidupan Ini Tak Seindah Foto yang Kita Posting

Mored Nurmumtaz Sekar Ramadhan

Cerpen Mored: Secangkir Kopi

Ahmad Maghroby Rahman Apacapa

Sepotong Surat Suara untuk Mantanku

Apacapa Kampung Langai Mei Artanto

Festival Kampung Langai: Mengabdi pada Masyarakat atau Artistik

Ali Gardy Rukmana Apacapa

Album Stilasi: Merangkai Tradisi Nusantara

Mored Puisi Silvana Farhani

Puisi Mored: Sabit Hingga Purnama

Nurul Fatta Sentilan Fatta

Wajah Tanpa Daging dan Para Pengemis Berjubah

Buku Diva Safitri Rahmawati Ulas

Resensi: 4 Masa 1 Mimpi

Ahmad Maghroby Rahman Apacapa

Rekacipta Upacara Hodo: Belajar Dari Lenong

Apacapa Imam Sofyan

Andai Aku Menjadi Bupati Situbondo

Nahiar Mohammad Puisi

Puisi : Di Sepanjang Jalan Ini

Nuriel Haramain Puisi

Puisi: Alkisah Mawar Berdarah

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Teman Saya yang Sudah Menjadi Ayah

Review Film

Review Film: Si Buta dari Gua Hantu