Puisi-puisi M Firdaus Rahmatullah: Dermaga Panarukan

 

Di Dermaga
Panarukan

 

setiap kucatat
dukamu di langit-langit puisi

ada yang tak tersisa
dari kisah esok hari

sebuah titik yang
hendak menjadi koma

pernah singgah di
bibir dermaga

mengumpulkan remah
ketulusan

samar-samar di bawah
lampu temaram

 

tapi diam-diam kita
tersesat di balik perahu-perahu nelayan

yang ditambatkan
setengah hati setengah kesadaran

ikan-ikan
menggelepar menunggu ditimbang

dikilokan menjadi
tumpukan uang

sebab istri dan
beberapa kanak di rumah

menunggu kepastian
hasil berlayar semalam di tengah samudera

 

dalam fajar yang
belum rekah

kutemukan bayanganmu
pecah

sebelum sempat
terbit cahaya

entah menuju ke mana.

 

 

Lewat Banyuglugur-Besuki

 

dari barat aku
datang menemuimu

angin mendorong
langkah-langkah ini

gegas hendak menjumpaimu

sambil melambaikan
tangan
kanan-kiri

sebelum melintas Banyuglugur

kuterawang laut lepas seolah
sebatas langkah melangkah

debur ombak pelan
mengekal dalam pandang

hutan bakau lapang sepanjang jalan

dan gugusan kapal
bagai hendak mendekat padaku

membawakan bekal
yang lupa kubawa

: hingga tiba-tiba
tiba di
Besuki

kutakzimkan salam kepada Patih Berhati Suci,

kuseka keringat yang
dipikul angin

kuhapus sisa-sisa
debu bus antarprovinsi

yang hendak
dibawanya ke pulau
Bali

—sebelum lepas kedua mata memicing

kukisahkan padamu tentang perjalanan
ini.



 

Hutan Baluran

 

ada lagu dalam
hutanku

suaranya melipir ke
tiap retak tanahmu

 

lalu seseorang
mengiris lirih batangnya

mencungkil akar yang
tertanam berabad-abad

memunguti daun-daun
hujaunya, atau yang rontok

dan berkelebatan
sepanjang musim

 

tapi nyanyi gagu
terekam di antara derai tangis anak-anak

pohon. dan
tunas-tunas baru di rimbun belukar humus

sementara engkau
penyaksi keinginan-keinginan sederhana

orang-orang bumi
tepian, pergi sebelum penuh muatan.

 

tiada yang tersisa
dari hutanku:

 

ranting-ranting
kering,

patahan dahan
kering,

sisa-sisa dahan
kering,

dan ranahmu yang
kering.

 

kendati tangismu
berdebu

dan tak pernah
kering.



Sungai
Midun

 

telah kuantar kau ke
tempat paling sunyi

tatkala bunga
kamboja bermekaran

daun angsana
bersemebyar di jalan-jalan

 

ada bahasa dingin di
kota ini

digerakkan angin

menyisip ke dinding

 

sebab aku percaya

doa-doa tergelar
sepanjang tahun

penawar jiwa-jiwa
yang getun.

 

(2022)



 

Bendungan
Sampean Baru

 

dinding kukuh

laju air keruh

batu-batu persegi
rapi

cahaya menyepuh jauh
sekali

lalu langkah kaki
terhenti

udara menghangat

tak ada gugur daun
di ketinggian

pintu air dibuka
tatkala langit semenjana

ada yang tak
tersentuh/berdiam seturut alir air

ikan-ikan berenang

enggan ke tepian

burung-burung
terbang

melintas tenang

ada mesin-mesin
sejarah bergerak

tak tercatat di buku
diktat.

 

(2022)

 



 

Jembatan
Sampean

 

setiap kususuri jalan kembar menuju pusat kota

seorang lelaki memainkan gitar

di atas jembatan Sampeyan

nyanyi nyaring di antara deru kendaraan

dan deras arus kali Sampeyan

sementara lalu-lalang manusia-manusia

adalah irama lain

sebelum tandas di
muara kalimat
.

 

tiada kumengerti mengapa dunia menyimpan rahasia

di antara lagu lelaki itu dan laju sungai berwarna
cokelat susu

dan tak mengerti
mengapa
cemas:

pada cinta yang tak pantas

pada alam yang tak pualam

pada pribadi yang tak peduli.

 

 (2023)



Tentang Penulis

M
Firdaus Rahmatullah
, lahir
di Jombang. Menggemari sastra dan kopi. Puisi-puisinya pernah dimuat di
beberapa media massa. Puisi-puisinya juga termaktub dalam buku Selasa di Pekuburan Ma’la (2019), Perjumpaan: Antologi Sastra Festival Sastra
Bengkulu (2019)
, Segara Sakti Rantau Bertuah:
Antologi Puisi Jazirah 2 (2019)
, Banjarbaru
Rain (2020), Perempuan-perempuan Kencana (2020)
, Wasiat Botinglangi’: Antologi puisi tentang Nilai-nilai Budaya Sulawesi
Selatan (2022),
dan Laut dan Kembara
Kata-kata: Jazirah Sebelas (2022)
.
Buku
tunggalnya Cerita-cerita yang Patut Kau
Percaya (2019)
dan Langit Ibu (2022).
Tahun 2021 beroleh apresiasi buku fiksi terbaik GTK Creative Camp Provinsi
Jawa Timur. Kini berkhidmat di SMAN 1 Panarukan.

 

 

ILUSTRATOR

@Anwarfi, alumni DKV Universitas Malang tahun 2017,
freelance designer, owner @diniharistudio Situbondo.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Situbondo Dik, Patennang!

Apacapa Moh. Imron

Analisis dan Lirik Lagu Kala Benyak: Waktu yang Tepat untuk Bersedih

Apacapa Dani Alifian Sastra

Sastra Erotis, Membaca Sastra Agar Tidak Bertendensi Pornografi

Apacapa Moh. Imron

Wahyu Agus Barata dan Ipul Lestari ; Senior Kesepian

Apacapa Nafisah Misgiarti

Ali Gardy, Jefri Bagus, dan Kritik Sosial dalam Karyanya

Gusfahri Puisi

Puisi: Labirin Kerinduan

Uncategorized

Sarapan Praktis Tidak Ribet

Ahmad Syauqil Ulum Prosa Mini

Kenapa Aku, Siapa Aku?

Puisi T. Rahman Al Habsyi

Puisi: Merakit Tidur

fulitik hans

Beginilah Cara Mas Rio Main Serius: Investor Global Datang, Rakyat Tetap Pegang Kendali

Apacapa Ayu Ameliah

Urgensi Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Masyarakat Multikultural

Apacapa Thaifur Rahman Al-Mujahidi

Regiulisitas-fundamental dari Kaum Milenial untuk Indonesia

Cerpen Muhammad Lutfi

Cerpen : Agama dan Prasangka Karya Muhammad Lutfi

Buku Dewi Fortuna Bantilan Resensi Ulas

Resensi: Madilog

Choirun Nisa Ulfa Prosa Mini

Prosa Mini – Irama Kematian

Prosa Mini Sastra Yudhianto Mazdean

Surat untuk Bapak

Apacapa Imam Sofyan

Membaca atau Merayakan Kebodohan

Penerbit

Buku: Negeri Keabadian

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Eeufemisme: Antara Maling dan yang Kurang Maling

Buku Dani Alifian Ulas

Ulas Buku: Dahulu Mereka dan Puisi