Puisi: Stratocumulus

Opening
Speech
Selamat datang
kembali
di sekujur tubuh
yang benar-benar terlepas
dari jurang cahaya.
Di sisi lain sudah
jelas
tidak ada makam nabi
ketika azan mendapatkan
namanya sendiri.
Hanya sekitar lima
bulan
kita merasa ditarik unta
ke langit. Menyaksikan
kekurangan tumbuh di bibir
yang tak henti melelehkan
suara-suara.
Menanggapi gelap dan
angin
hujan malu-malu untuk berbagi
keabadian.
Namun akhirnya
dengan telanjang
kaki kita melewati kitab
di bimasakti
2020



Arsitektur
Lanskap
Temukan rahasia
untuk bunga-bunga
yang dulu pernah bernyanyi
dalam cericit sepatu kaca
Sekarang pakailah
tato di lengan itu!
agar desing peluru dan dentuman bom
berujung pada sebuah tanah
di mana anak-anak dengan sabar
menunggu di atas mimpinya sendiri
Jangan ambil aman,
biarkan ilalang
meliuk kepada jalan terbaik
tidak perlu takut untuk melerai
dua monyet kecil yang sedang berkelahi
Mulailah belajar
dari daun-daun
yang pelan-pelan membatalkan tubuhnya
di atas ciuman dan elusan, kalau salah satu
perempuan tanpa gincu berhenti di taman itu
2020



Plain
Arch
Jangan biarkan
sebuah cap jempol
menandai jejak di luar jendela
kecuali esok bukan hari baru
dan kerusuhan pun sering terjadi di sini
Kota yang mengambang
di sungai
telah dihilangkan tanda seru.
Siapa pun tak bisa pulang, meski
pada pelayan setia bagi sang raja.
Namun ketika
huru-hara,
menjadi bagian dari cadarmu yang lain
kita pun tetap gagap untuk ingat tuhan
yang membuat tak yakin
Tak satu pun nama
biografi yang pergi
atau garis kenangan yang patah-patah
kalau-kalau kehilangan kalimat
yang nyaris terhapus
2020
Rx
King
Setelah asap knalpot
membikin kota menjadi hitam serta tak kenal
pada rumput hijau.
Mohonlah ampunan
kepada ribuan pengungsi
juga pengendara jalan beraspal.
Sepanjang hujan yang saling susul-menyusul
untuk menyentuh ucapan selamat tinggal.
Alangkah silam yang
melukis
dengan tiang-tiang listrik, angin dan kabut
menebalkan siang malam.
Tapi nama-nama di
pagar tembok sebuah gedung
membentuk berpuluh-puluh cerita, hanya samar.
Seorang pengintai
pernah mengatakan
“kemarilah, betapa keinginanku atas
sebuah kembang gula, tanah dan sungai,
tempat yang akan kumiliki”
2020
Tiupan
36 Km/Jam
Sekarang kaca
jendela rumah
telah berterbangan dan menghilang
seperti rambutmu yang dikibarkan
angin dari timur
Demikian itulah
bermula
sebuah badai yang ditelan setiap hari,
dan warna putih, aroma-aroma asing,
menjadi satu-satunya keajaiban.
Setiap menit
dipenuhi debu dari desa,
matahari menggigil, meski sebenarnya
tak ada pohonan, tak ada sepi,
kecuali di sel-sel darah yang menjelma
sebentuk arca remuk.
Biarlah kebenaran
mengujimu,
dengan cinta, tak mungkin
ombak kecemasan ini membeku seluruhnya
2020
Flat
Brush
Untuk melukiskan
warna muram
dari sajak-sajak cengeng
dan lengan-lengan terentang
yang bergayut ke tengah malam
Angin jadi lambat
setelah kita menyesuaikan diri
dengan rima pada mayat bapak
yang penuh luka peluru
Dari teriakan ke
teriakan
yang melemparkan benda-benda
ke alamat rumah, selama ini
kota terbangun oleh riuh suara buruh
yang terperangkap metafora
Pada selingan
pembacaan di sini,
di ujung rambutmu yang terdekat,
huruf- huruf dari suatu nama
telah menyampaikan alamat
dari langit yang sengit.
2020
Stratocumulus
Gerimis memanjati tembok rumah
di sepanjang musim basah,
para gadis kampung menutupkan kerah jaket
sambil berkata “jangan biarkan lelaki
menyentuhku dengan pengindraannya”
Terutama pada dunia yang terbentang pasrah,
di belakang patung-patung dewa.
Tapi, waktu yang menjelma jadi kertas itu
selembar demi selembar memisahkan diri
dari sifat maskulinnya.
Berlawanan dengan arah jalan,
semua orang menulis namanya sendiri
di barisan hotel. Terdengar dengung purba
ketika ranting cendana, atau saat burung
menjerit pagi.
Karena memang selain paha-paha putih
yang tampak penuh coretan,
tak ada padang-padang paling sunyi
di antara tanda kurung dalam sebuah kalimat
yang tak dilanjutkan.
2020



Thymotic
Pergilah sebagai
darah daging yang kering
dan hari pun bergegas seperti ada cahaya
dihidupkan lagi, di seluruh langit ini.
Kita menyaksikan
pohon-pohon meninggi
di halaman pertama, terpampang
potret gadis buta, memberi sepatu kaca
sebelah kanan saja, barangkali tertinggal
Dan kita masih
bercakap tentang setangkai mawar
tanpa seorang pelacur dengan mengatakan
“akulah pejalan yang putus harap,
karena itulah getir tak tertunda”
Tak perlu
berpura-pura memandang
wajah kekuasaan, sebab sekarang,
yang terlanjur mimpi buruk,
semakin sering tertidur.
2020
BIODATA PENULIS
Diandra Tsaqib lahir di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat. Kini
sedang belajar Teologi Modern di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung
Djati Bandung.
saqibdiandra@gmail.com
+62 813-8663-0726

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Buku Edo Arnanda Ulas

Resensi: Lord of the Flies

Cerpen Muhtadi ZL

Cerpen: Senja yang Menyakitkan

Film/Series Moh. Imron Ulas

Ulas Film Me Before You: Hiduplah dengan Berani

Cerpen Fahrul Rozi

Cerpen: Marsinah

Apacapa Erha Pamungkas Haryo Pamungkas

Yang Menghantui Perbukuan Kita

carpan Fendi Febri Purnama Totor

Carpan: Lekkas Paju

Mahabatush Sholly Resensi

Resensi: Seribu Kebohongan untuk Satu Kebahagiaan

Mahfud RD Puisi

Maret yang Bimbang dan Puisi Lainnya Karya Mahfud RD

Cerpen Nur Diana Cholida

Cerpen: Bianglala dan Sisa Aroma Tequila

Cerpen Ruly R

Cerpen Kota Tanpa Telinga

Apacapa Esai Wahyu Umattulloh Al

Mulailah Sadar Akan Peduli Alam

Mored Moret Vidi Ratnasari

Puisi: Lekas Pulih Bumiku dan Puisi Lainnya

Irma Muzaiyaroh Puisi

Puisi – Sang Bayu

Apacapa covid 19 Regita Dwi Purnama Anggraini

Vaksin Covid-19 tiba di Indonesia, Disambut Penolakan dari Masyarakat dengan Alasan Ragu?

Apacapa fulitik Yuda Yuliyanto

Momentum Strategis Pemekaran Baluran: Langkah Visioner Mas Rio untuk Situbondo Naik Kelas

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Bahagia Mencintai Diri Sendiri

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Memaknai Segitiga Cinta

Faris Al Faisal Puisi

Tanah Garam dan Puisi Lainnya Karya Faris Al Faisal

Anwarfi Faris Al Faisal Puisi

Puisi-puisi Faris Al Faisal

Apacapa Madura Totor

Bâbitthèl