Review Film: Si Bongkok

rapifilms.com/

Dendam dan Cinta yang Tak Sampai

Oleh:
Hendri Krisdiyanto

Wajah
perfilman Indonesia sudah ada sejak berpuluh-puluh tahun silam, pada awalnya
fim ditayangkan di layar tancap karena waktu itu zaman belum maju dan
orang-orang masih dilanda kemiskinan, sehingga yang memiliki atau mempunyai
layar tancap tersebut hanya beberapa orang yang itu adalah orang-orang yang
bergelut di pemerintahan (pemerintahan yang dimaksud di sini mencakup desa,
kecamatan, kota atau bahkan negara). Ada beberapa film yang sempat popular di
zamannya, di antaranya; Si Buta dari Gua Hantu, Jaka Sembung dan Si Buta, Si
Bongkok, juga beberapa film lainnya yang tak kalah popelernya. Dalam kesempatan
kali ini, saya akan mengulas salah satu film yang menurut saya juga menarik yaitu
film “Si Bongkok”.

Secara
kategori film ini masuk dalam kategori “Film Melayu Klasik”, film ini
diproduksi pada tahun 1972 yang disutradarai langsung oleh Lilik Sudjio. Lilik
Sudjio sendiri merupakan aktor sekaliggus sutradara yang handal ada masanya, ia
pernah mendapatkan penghargaan Sutradara Terbaik pada FFI 1955 dalam film Tarmina
pada tahun 1954. Perngahargaan lainnya yaitu editing terbaik pada pekan
apresiasi film nasional 1967 dalam film “Yudha Saba Desa”. Kembali terhadap
pembahasan film Si Bongkok, dalam film yang berdurasi kurang lebih satu jam
setengah ini, ada tiga aktor utama yang perannya sangat penting film tersebut,
di antaranya yaitu Rambe (ayah Gusti), Si Bongkok (Gusti), dan Bokor (penjahat
yang membunuh Rambe).

Selanjutnya,
masuk tehadap sinopsis dari film tersebut. Rambe dan Bokor sejatinya merupakan
saudara seperguruan, namun setelah keduanya bersaing mendapatkan Widuri akhinya
walaupun seperguruan mereka bermusuhan. Dalam persaingan mendapatkan Widuri
ini, akhirnya Rambe memenangkannya dan menikahinya. Dalam pernikahannya dengan
Widuri, Rambe dikaruniai seorang putra yang bernama Gusti. Setelah kira-kira
Gusti berumur 6 tahun, mereka memutuskan mengasingkan diri dari desa yang sejak
awal mereka tempati. Namun, pengasinganya itu tidak bertahan lama,
ketenangannya berantakan ketika Bokor dan gerombolannya menemui mereka. Tidak
ingin terlihat mudah menyerah, Rambe dan istrinya melawan segerombolan itu
dengan kemampuan yang mereka miliki.

Ringkas
cerita, karena Rambe bisa dikatakan kalah jumlah pasukan akhirnya Rambe kalah
dan terbunuh, sementara istrinya dibawa oleh 
Bokor ke rumahnya dan dikawininya. Widuri tentu sangat terpukul dan
merasa tidak bahagia atas pernikahannya ini, apalagi kematian Rambe
meninggalkan bayi yang sedang dikandungnya. Menurut Widuri, seperti yang
dijelaskan di bagian-bagian terakhir tepatnya di menit ke 1:30:31 bahwa Bokor
bukanlah ayah kandung Ratih, ayah kandungnya adalah Rambe; suaminya yang
dibunuh oleh Bokor dan segerombolannya. Di sisi lain, Si Bongkok terus merantau
atau berkenala ke arah timur seperti yang dianjurkan gurunya yaitu berjalanlah
ke arah matahari terbit. Dalam pelafalan ini, tentu guru si Gusti memakai
perumpamaan atau jika meminjam istilah dalam puisi yaitu majas; menggambarkan
sesuatu dan menyamakannya terhadap sesuatu yang lain.

Bongkok
terus berjalan ke timur, sampai akhirnya ia bertemu dengan Nilam (seorang
pendekar perempuan yang berkelana dalam rangka mengambil kitab perguruannya
yang dicuri oleh Bokor) perempuan cantik yang ia jumpai pertama kali saat
dirinya sedang diolok-olok oleh sekumpulan anak kecil. Rupanya semenjak
pertemuan pertama itu, Nilam meninggalkan kesan tersendiri bagi Gusti yang
secara diam-diam menaruh kagum pada Nilam tersebut. Tidak hanya di situ, di
sisi lain Nilam juga mencari Gusti karena dia penasaran akan sosok lelaki yang
badannya bongkok tersebut. Singkatnya, setelah Gusti dan Nilam beberapa kali
saling mencari, akhirnya mereka bertemu dan tinggal bersama beberapa saat di
tempat itu karena setelah sesaat mengobrol mereka ternyata memiliki misi yang
sama yaitu mencari Bokor dan membunuhnya; yang satu dalam rangka balas dendam,
satunya dalam rangka mengambil  kembali
kitab perguruannya yang dicuri.

Di
tempat Gusti dan Nilam menginap, kebetulan kamar mereka berdempetan. Jadi
dengan kamar yang berdempetan tersebut, suatu malam sebelum tidur mereka
mengobrol sekilas dan berkenalan, dalam obrolan itu, wajah Gusti kelihatan
sangat berseri-seri dari situ kemudian terkuak bahwa Si Bongkok itu memang
menyukai Nilam. Kekaguman dan kecintaan Gusti terhadap Nilam juga ditandai
dengan ia tidur di samping pintu kamar Nilam, tidak hanya sampai di situ, saat
Nilam mandi di sungai si Bongkok diam-diam melihat dan memetik bunga lalu
dialirkan ke sungai dengan maksud aliran air yang mengantar bunga itu sampai ke
Nilam, air itu mengantar bunga itu ke Nilam dan ia menyukainya (sayangnya, ia
tidak tahu bahwa bunga itu dari Gusti). Selepas itu, tak ada kelanjutan cerita
terkait keterpanaan Gusti terhadap Nilam. Dalam lanjutan ceritanya setelah itu
terjadi perang besar yang ujungnya berakhir dengan kemenangan Bongkok atas
Bokor. Meskipun yang membunuh Bokor adalah ibunya, tapi Bongkok atau Gusti
adalah pemenang dalam peperangan tersebut.

Terakhir,
yaitu pesan penting dalam film tersebut terkait dengan orang-orang difabel
adalah di dalam film tersebut si Bongkok yang notabene memiliki daksa, ia tetap
memiliki sesuatu kemampuan yang ia latih, artinya, sejatinya setiap orang meskipun
dalam keterbatasan yang mereka miliki; fisik atau hal lain, mereka tetap bisa
atau mampu melakukan sebuah hal besar asalkan melatih dirinya sendiri atau
menggali kemampuan yang dirinya miliki. Pada akhirnya, asal ada mau dan tekad
untuk keluar dari keterbatasan itu, maka akan bisa. Begitu. Demikian.

 

Biodata
Penulis

Hendri
Krisdiyanto, aktif di Garawiksa Institute, Yogyakarta

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Imam Sofyan

Cerpen: Rentenir

Mundzir Nadzir Puisi

Puisi: Kembara Rindu

Apacapa Imam Sofyan

Olean Bersholawat: Pengajian Ramah Disabilitas

Arian Pangestu Cerpen

Cerpen – Rindu

Amaliya Khamdanah Buku Resensi Ulas

Resensi: Melintasi Zaman di Kudus Melalui Novel Sang Raja

Agus Widiey Anwarfi Puisi

Puisi-puisi Agus Widiey

Apacapa Feni Fenawati

Fenomena Selebritis yang Terjun ke Dunia Politik: Antara Popularitas dan Kompetensi

Advertorial

Sabun Cair Terbaik yang Aman untuk Bayi

Alif Febriyantoro Cerpen

Cerpen : Tentang Kota dalam Pikiran

Indra Nasution Prosa Mini

Cerita Seorang Keluarga yang Mengalami Banyak Hutang

Alex Cerpen

Surat tentang Salju Abadi

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Hijabers in Love

Ahmad Radhitya Alam Buku Ulas

Resensi Buku Dialog Hati Anak Negeri : Menggali Esensi Berkarya dari Sebuah Cerita

Alif Febriyantoro Cerpen

Cerpen : Dua Anak Kecil yang Menyeberang

Muhaimin Prosa Mini

Gadis dan Nyanyian Ombak

M. Kholilur Rohman Resensi

Resensi: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Situbondo Lebaran (Pesta) Bakso

Ahmad Zaidi Apacapa Esai

Selamat Hari (Tidak) Jadi Kabupaten Situbondo

Ahmad Zainul Khofi Apacapa

Memaknai Situbondo “Naik Kelas”

Apacapa Moh. Imron

Mara Marda: Keajaiban Datang Kemudian