
Di suatu siang yang dilembutkan gerimis, ruang auditorium Pabrik Gula Panji telah didekorasi jadi tempat pesta pernikahan. Ada meja-meja dengan hidangan dan minuman. Pelaminan yang didominasi warna putih, dan sebuah piano di sudut kiri yang dihiasi ornamen bunga-bunga cerah. Nalea duduk di depan piano itu, mengenakan gaun hitam, bukan karena berkabung, tetapi karena itu satu-satunya pakaian yang terasa pas untuk hari ini. Piano itu belum dimainkannya, ia masih duduk diam, menunggu pembawa acara selesai menyapa tamu-tamu yang baru datang.
Nalea memang cukup pandai bermain piano, tapi biasanya ia hanya bermain di acara ulang tahun anak orang-orang kaya dengan bayaran tak seberapa. Ia terbiasa memainkan lagu-lagu bahagia untuk anak-anak yang ceria. Baru hari ini, untuk pertama kalinya ia diminta bermain piano di acara pernikahan. Tapi ia hanya diminta memainkan satu lagu saja: Canon in D. Dan pernikahan itu, sayang sekali, adalah pernikahan Alif, mantan kekasihnya…
Undangan itu, seperti yang telah diantisipasinya, datang sebulan lalu. Bersama undangan itu ada sepucuk surat, yang meminta Nalea memainkan Canon in D, sebab, kata Alif, yang Nalea hapal bentuk tulisan tangannya di surat itu, hanya Nalea yang bisa memainkannya dengan “jiwa”. Seharusnya Nalea menolak, tapi entahlah—mungkin didorong oleh rasa ingin menunjukkan bahwa dia telah move on, atau mungkin hanya karena kebodohan—yang membuatnya menyanggupi permintaan itu.
Sekitar setahun lalu, Nalea dan Alif memutuskan mengakhiri hubungan mereka di Biru Daun, sebuah tempat makan yang sejuk di tepi sawah. Tidak ada pertengkaran hebat atau kata-kata pedas. Hanya hening, pisang goreng dan kopi dingin, dan sesekali suara belalang melompat di rerumputan dan batang-batang padi yang hampir panen. Sebenarnya Alif masih mencintai Nalea, tapi tawaran pernikahan dengan anak bos Swalayan terbesar di Situbondo, sulit untuk ditolaknya. Bayangan hidup yang lebih mudah tanpa perlu menulis cerita-cerita di media, membuat Alif realistis. Nalea tidak marah, hanya merasa sesuatu dalam dirinya retak, seperti cangkir porselen yang masih utuh tapi rembes di mana-mana.
Sekarang, di acara resepsi pernikahan yang megah itu, Nalea berusaha sebisa mungkin tak melihat mantan kekasihnya, yang mungkin kini sedang mengenakan jas hitam, berdampingan dengan seorang gadis yang katanya masih akan menempuh S2 di Malang. Nalea tidak cemburu, sungguh. Hanya ada perasaan aneh, seperti kehilangan sesuatu yang tak pernah sepenuhnya ia miliki.
Pembawa acara selesai dengan tugasnya menyapa tamu, dan memberi kode kepada Nalea agar mulai bermain. Tamu-tamu sebagiannya menyantap hidangan sambil berdiri. Suasana sejenak hening, Nalea fokus, ia mulai memainkan beberapa nada awal Canon in D yang telah dihapalnya bertahun-tahun. Ia bahkan bisa memainkannya dengan mata tertutup. Dengan tempo yang ia buat sedikit lebih lambat, lagu itu seperti sungai dalam pikirannya, setiap nada mengalir ke nada berikutnya, seperti kenangan yang saling bertaut. Nalea teringat setiap kali Alif meminta memainkannya di aplikasi piano Android. “Kamu membuatnya berbeda dengan yang biasa orang lain mainkan di youtube,” kata Alif. “Ada cerita di caramu bermain.” Nalea tahu Alif hanya melebih-lebihkan. Tapi memang, lagu itu seperti merangkum semua kenangan mereka, ketika liburan ke Ijen, ke taman Botani Sukorambi, atau sekadar menunggu senja di dermaga Pasir Putih.
Nalea masih bermain, nada-nada itu mengalir lembut dan pasti, seperti air yang tahu ke mana harus pergi. Ia hanya memikirkan musik. Tapi di tengah lagu, ia merasa tersesat dalam labirin. Bukan karena lupa—tapi karena ia merasa sedang memainkan sesuatu yang bukan lagi miliknya, seperti sedang meminjam kenangan orang lain.
Ia menutup mata, membiarkan jari-jarinya bergerak sendiri. Dalam kegelapan artifisial, ia melihat hal-hal kecil yang telah lama coba dilupakan: tepuk tangan Alif yang memuji keahliannya bermain piano, cara Alif memegang tangannya di tengah keramaian, atau bau kopi yang selalu menempel di baju lelaki itu. Tapi ia juga melihat dirinya sendiri—bukan lagi Nalea yang ragu dan takut kehilangan, tapi Nalea yang belajar bahwa hidup adalah serangkaian pintu terbuka dan tertutup, dan tidak semua pintu harus dibuka kembali.
Lagu itu selesai. Nalea membuka mata. Suara tepuk tangan. Nalea tak tahu, Alif sejak tadi sering memandangnya meski sekilas-sekilas, dan ada sesuatu di matanya—mungkin rasa terima kasih, mungkin sekadar kenangan yang lewat. Nalea bangkit, membungkukkan badan pertanda ucapan terima kasih, lalu berjalan keluar gedung, langkah demi langkah yang lebih terlihat sebagai ketabahan daripada kehilangan.
Malam hari, di kamarnya yang murung, Nalea memutar ulang rekaman lama Canon in D yang pernah dibuatnya pertama kali untuk Alif. Kali ini, ia tidak merasa apa-apa. Lagu itu hanyalah lagu, nada-nada yang teratur dan indah, tapi tak lagi membawa beban masa lalu. Hari ini ia telah berhasil melalui salah satu ujian terberat: memainkan Canon di pernikahan seseorang yang pernah dia cintai.
Di luar jendela, gerimis turun menutup cerita ini. Dan Nalea, entah bagaimana, merasa baik-baik saja.***
Tinggalkan Balasan