Menolak Sesat Pikir Pendidikan Cuma Cari Ijazah

Penulis: Nurul Fatta*


Di kampung, saya
sering dengar orang bilang begini, “Percuma sekolah tinggi-tinggi,
ujung-ujungnya juga nganggur. Lihat tuh si A, lulusan SD aja bisa buka bengkel,
bisa punya motor, punya rumah,” begitu dengan sinis.

 

Lalu semua
manggut-manggut, seolah kalimat barusan adalah suatu kebenaran yang tidak bisa
dibantah.

 

Tapi saya jadi
bertanya-tanya, kok yang dijadikan contoh cuma si A terus? padahal dari 100
orang yang tidak sekolah atau mungkin 1.000 orang tidak sekolah hanya satu yang
bernasib seperti si A. Lalu ke mana sembilan puluh sembilan orang lainnya yang
juga lulusan SD tapi hidupnya serba pas-pasan? Yang kerja serabutan, kadang ada
kerjaan, kadang nganggur, dan kalau sakit, bingung mau bayar berobat?

 

Maaf saya sedang
tidak berusaha merendahkan mereka, tapi ini sebagai pandangan saja, agar tidak
mengeneralisir semua orang yang tidak sekolah bisa bernasib baik seperti si A.
Biar masyarakat tetap termotivasi untuk mengejar pendidikan. 

 

Kenapa kita selalu
angkat-angkat cerita satu orang yang “menang undian” lalu dijadikan alasan buat
membenarkan kemalasan belajar? Ini seperti bilang, “Ngapain kerja keras,
wong ada tuh yang menang lotre tiba-tiba jadi kaya.”

 

Padahal si A bisa
buka bengkel itu bukan karena sekolahnya cuma SD. Bisa jadi karena dia dapat
warisan seperti lahan, tabungan, atau keahlian dari bapaknya yang dulu juga
tukang bengkel, atau telaten. Jadi, jangan disamakan dengan anak-anak lain yang
nggak punya apa-apa—nggak punya keterampilan, nggak punya modal, dan nggak
punya siapa-siapa untuk dijadikan tempat belajar.

 

Jangan juga
bandingkan dengan anak-anak yang memang diwarisi usaha, diwarisi cara
berdagang, atau diwarisi jaringan langganan dari orangtuanya. Itu bukan karena
mereka tidak sekolah lalu sukses. Mereka punya bekal lain—yang tidak semua
orang punya. Jadi bukan alasan buat meremehkan pentingnya pendidikan.

 

Pendidikan itu bukan
soal ijazah atau gelar. Tapi soal membuka pintu, memperluas jalan. Anak yang
sekolah tinggi, diajak ngomong soal peluang, dia bisa tangkap. Dia bisa nulis
lamaran kerja, bisa bikin proposal usaha. Dan kalau gagal, dia tahu bagaimana
bangkit lagi karena punya dasar berpikir.

 

Coba bandingkan,
orang yang tak pernah sekolah, jangankan bikin proposal usaha, baca brosur bantuan
UMKM saja bisa pusing tujuh keliling. Urus NIB? Bingung. Daftar pelatihan?
Nggak ngerti caranya. Akhirnya yang maju ya itu-itu aja.

 

Masalah di kampung
kita ini kadang bukan soal nasib, tapi soal mindset. Kita terlalu cepat puas,
terlalu sering membenarkan keadaan. “Ya udahlah, emang udah nasib jadi
orang kecil.” 
Padahal bukan nasib
yang harus diterima, tapi cara berpikir yang harus diubah.

 

Lalu kita
marah-marah karena tidak ada pekerjaan. Tapi lupa bertanya, “Apa yang
sudah kita siapkan supaya pantas diterima kerja?” Pemerintah bisa saja
buka lowongan, tapi kalau ijazah nggak ada, keahlian juga minim, ya gimana bisa
bersaing?

 

Makanya, kalau tidak
bisa kejar pendidikan formal, minimal punya kemauan belajar lewat jalur lain.
Lewat pelatihan, komunitas, atau usaha kecil. Jangan terus-terusan berharap
“keajaiban seperti si A” datang menghampiri kita semua.

 

Kita butuh orang
kampung yang bukan hanya rajin, tapi juga cerdas. Bukan cuma kuat kerja fisik,
tapi juga punya cara berpikir panjang. 

 

Dan tolong, kalau
mau dijadikan panutan, jangan cuma jadi pengecualian yang dipakai buat
meninabobokan kampung. Jadilah contoh yang bisa ditiru—bukan cuma dikagumi. Ingat,
semakin rendah tingkat pendidikan, semakin mudah dibohongi yang berkuasa.

 

So,
sudahi bilang pendidikan cuma cari ijazah. Carpak itu!

____
*) Penulis merupakan pengamat politik nasional. Asli Situbondo sementara
tinggal di Jakarta.

Editor:
Hans.

 

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Buku Muhamad Bintang Ulas

Resensi Buku: Francisco Ferrer, Asal-Usul dan Cita-cita Sekolah Modern

Agus Hiplunudin Apacapa Esai

Merajut Kembali Keindonesiaan Kita Melalui Gotong Royong di Era Millennials

Puisi

Leppet Madhura dan Puisi lainnya

Ahmad Sufiatur Rahman Cerpen

Cerpen : Ketika Tubuh Bicara

Apacapa

Mengenang Sumur, Menatap Luka yang Curam

Buku Indra Nasution Sastra Ulas

Ulasan dari Kisah Cinta Romeo dan Juliet

A. Warits Rovi Cerpen

Cerpen: Lelaki Yang Bercita-cita Jadi Tukang Sihir

Cerpen Moret Taradita Yandira Laksmi

Cerpen Mored: Jangan Bilang I Love You

Agus Hiplunudin Apacapa Feminis

Dominasi Patriarki, Konstruksi Tubuh Perempuan dan Pelakor

Cerpen Haryo Pamungkas

Cerpen: Sebuah Cerita di Hari Pernikahanmu

Apacapa

Sudahkah Anda Konsisten?

Buku Resensi Ulas

Resensi: Aku Tak Membenci Hujan

Mored Puisi Sugi Darmayanti

Puisi: Sebatas Kenangan

Musik Ulas

Manifestasi Ilahi dalam Lirik Lagu Tujh Me Rab Dikhta Hai

Apacapa Nanik Puji Astutik

Menjadi Perempuan Cerdas di Era Milenial

Ahmad Zaidi Cerpen

Randu Agung

Ahmad Syauqil Ulum Puisi

Puisi – Nostalgia Bangunan Tua karya Ahmad Syauqil Ulum

Fendi Febri Purnama Puisi Madura

Puisi Madura: Petteng Calèmot Karya Fendi Febri Purnama

Ahmad Zaidi Apacapa

Tentang Kita yang Terlalu Banyak Bicara Omong Kosong

Uncategorized

Ini Dia Perbedaan Mas Rio dan Teh Rio