Cerpen : Bunga Mawar Merah Berduri


Oleh: Rahman Kamal

Malam sudah larut, tapi
warga
Desa Belimbing masih
tampak ramai di pekarangan rumah
Pak Kades. Hampir seluruh warga desa
ikut membantu kesibukan di rumah
Pak Kades. Seminggu sebelum hari
pernikahan
,
orang
-orang sudah berbondong
datang mengucapkan selamat. Ada yang membantu di dapur, membantu mengaduk
dodol, atau sek
adar
berjaga di malam hari.

“Acara ini
harus meriah!”
Itulah pesan Pak Kades kepada para
pemuda
Karang Taruna, yang akhirnya
terpaksa bergadang
selama seminggu
penuh.

Esok adalah
hari bahagia tersebut.  Semua hal sudah
disiapkan. Makanan, panggung, serta hiburan selama 7 hari 7 malam sebagai
perayaan atas perjodohan ini pun telah dipersiapkan. Semua orang
berbahagia menyambut
esok hari. Semuanya Bahagia
,
kecuali Mawar.
Jika semua
orang merasa beruntung, maka
Mawar
adalah
satu-satunya orang yang dirugikan. Perjodohan ini
sama sekali bukan mimpinya.
Saat malam hari setelah perjodohan itu
diumumkan
,
Mawar dat
ang
kepadaku dengan air mata yang sudah
membasahi pipinya. Mata merah sembabnya
menandakan ia sudah menangis agak lama. Sebagai teman tentu aku menenangkannya.
Memberinya semangat. Memberinya harapan.
“Bersabarlah, Mawar.ucapku menenangkan.
“Aku tidak bisa bersabar, ini sudah tak
bias kutolak! Hutang
Bapak
ketika pemilu cukup banyak!
Satu-satunya
cara melunasi hutang itu
adalah
dengan menerima perjodohan
ini
,” jawabnya terbata-bata.
“Tapi aku
tidak mencintainya!”
sambungnya
lagi.
“Mawar, andai
kau tahu
, cinta itu bukan paksaan. Ia datang dengan
sendirinya, dengan
berbagai
cara yang bahkan tidak
bisa kita
bayangkan sebelumnya
.
Seorang sahabat bahkan bis
a
mencintai sahabatnya
sendiri.
Sebuah hubungan yang mungkin sulit dicerna. Itulah cinta
.
“Terima kasih, Man.Lantas dia memeluk tubuhku erat sambil
menangis. Aku membiarkan
air matanya
membasahi dadaku.
Sebagai teman, aku juga ingin
menanggung beban Mawar, mengurangi sakit yang ia rasakan.
Itu adalah pertemuan terakhirku
dengan Mawar. 
Dua minggu yang cukup berat, yang harus
kujalani dengan sebuah
kenyataan bahwa
Mawar akan menikah dengan orang yang tidak dicintainya.
Mungkin aku
harus mengakui jika aku mencintai Mawar. Mencintai gadis yang selama ini
menjadi sahabatku. Meski aku tak tahu apakah ia merasakan hal yang sama.
Perjodohan ini sungguh menyakitkan bagiku, dan artinya aku mencintai Mawar.
***
Pak Kades benar-benar
ingin perjodohan ini berjalan lancar. Sehari setelah pengumuman perjodohan itu
, Mawar tidak
diperbolehkan keluar sampai acara selesai. Itulah hal yang kuketahui setelah
Sari menyampaikan
pesan dari Mawar. Aku sedih, sangat sedih mendengar hal tersebut. Maka
kutitipkan sebuah pesan dalam secarik kertas.
Mawar,
aku tahu kamu kuat! Selayaknya bunga mawar yang dapat melindungi dirinya dengan
tangkai berdurinya. Aku tahu kamu mampu melew
ati masa sulit ini. Aku yakin, kamu
bisa melaluinya
!
Karena kamu adalah bunga
mawar yang merah merekah, menawan, dan kuat. Dari seorang sahabat
yang mencintaimu, Rahman.
Kutitipkan pesan itu pada Sari.
***
Esok adalah acara perjodohan itu. Jika
aku ingin bertindak, maka sekarang adalah saatnya. Tapi kebimbangan itu semakin
me
njadi, apakah Mawar
juga merasakan hal yang
sama seperti
yang
aku rasakan? Bimbang, aku semakin bimbang.
Matahari
sudah tenggelam, waktuku mulai habis. Apakah aku harus mengubur seluruh
perasaan ini
dan
berdiam diri menerima
ke
nyataan? Apakah aku harus berpasrah
terhadap takdir?
Seketika
ingatanku menyadarkanku akan sebuah percakapan dengan Mawar 3 bulan yang lalu
.
“Aku ingin
menulis takdirku sendiri
,
Man!”
“Kenapa kamu bilang seperti
itu?”
“Bapak punya
banyak hutang sehabis pemilu kemarin, banyak orang yang mulai membenci bapak!
Ada
seorang saudagar kaya
yang mau membantu bapak, tapi aku harus menikah dengannya
,” jelasnya.
“Kalau itu
caranya kenapa tidak?” kujawab perlahan sambil menjaga ritme agar tidak ada
kecurigaan
.
“Tapi aku
tidak mencintainya
,
Man! Aku ingin menulis takdirku sendiri, menjemput kebahagiaanku sendiri! Entah
siapapun dia, aku yakin pasti ada jalan!”
“Aku balik
dulu!” imbuhnya lalu pamit sebelum aku sempat me
nanggapinya.
Sekelebat
ingatan itu mmemberiku keberanian. Aku harus membantu Mawar menjemput
kebahagiannya, terlepas dari perasaan apap
un yang akan kuhadapi.
***
Aku
mengendap-endap menghindari  orang-orang
yang ramai di rumah
pak
Kades. Perlahan aku
menuju jendela kamar Mawar yang berada di bagian belakang lalu mengetuk jendela
setelah memastikan keadaan aman.
“Mawar!”
panggilku perlahan
.
Mawar
mendengarnya
.
Lantas membuka daun
jendela.
“Apa yang
kamu lakukan
,
Man?”
“Aku tau kamu
tak pernah me
nginginkan
perjodohan ini
.
Aku datang untuk membantumu
menjemput kebahagiaan dan menulis takdirmu sendiri!”
“Kembalilah,
tak ada jalan lain! Aku harus menerima pekodohan ini. Untuk bapak
.
“Tapi….Seketika aku berhenti
saat melihat air mata
nya jatuh.
“Pergilah, masih banyak jalan yang
lebih baik untukmu
selain
berjuang untukku!  Aku tahu kamu memiliki
perasaan kepadaku, tapi aku tak bisa membalasnya sekarang. Maafkan aku. Tapi percayalah, kamu adalah yang terbaik.”
“Man, kita
pasti bis
a
bertemu dan bersatu suatu saat nanti!” ucapnya kembal
i.
Aku hanya bisa tersenyum kecil dan menahan air mataku yang ingin keluar. Walau aku telah mengetahui bahwa dia juga punya perasaan
kepadaku, tetapi aku tak bisa membohongi diriku sendiri, aku terluka. Hatiku teramat
perih menerima kenyataan ini.
***
Selama seminggu aku tidak pernah keluar rumah. Aku masih bersedih. Aku terluka walau tak berdarah.
Sekej
am inikah nasib yang menimpaku?
Tok! Tok! Tok! Terdengar
suara kentongan 3 kali
.
Ini pertanda ada seseorang yang meninggal. Kemudian disusul dengan siaran di masjid.
Innalillahi
wainnalillahi rojiun, telah meninggal dunia saudari Mawar Jelita binti Sukmo.
Semoga amal ibdahnya diterima dan dilapangkan di
sisi-Nya.
Betapa terkejutnya. Hatiku bergetar. Aku masih tidak percaya. Aku tidak
percaya! Aku mengutuk diriku sendiri! Baru seminggu aku mengalami kesedihan
karena ditinggal menikah. Dan sekarang aku mendengar bahwa wanita yang kucintai
itu telah meninggal. Lantas kesedihan dalam bentuk apa lagi yang akan
kurasakan?
Mawar, kini durimu berhasil melukai hatiku. (*)
Rahman
Kamal
, anak Situbondo yang mengatakan bahwa kenangan itu abadi. Dapat dikunjungi
di rumah mayanya www.rahmankamal.com
.
 Sumber gambar: http://estheryuliani.blogspot.com

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Moh. Imron

Ahmad Muzadi: Selamat Jalan Kawan, Karyamu Abadi

Futihah Qudrotin Puisi

Patung Kekasih dan Puisi Lainnya Karya Futihah Qudrotin

Buku Ulas

Sundari Keranjingan Puisi dan Cerita-cerita Lainnya: Santai, Namun Serius Berkelakar

Anwarfi Citta Mandala Puisi

Puisi-puisi Citta Mandala

Buku Indarka P.P Resensi Ulas

Resensi: Cinta, Ritual dan Balas Dendam

Penerbit

Hai Situbondo

Puisi Wilda Zakiyah

Puisi: Sapardi, Selamat Jalan Menuju Keabadian

Devi Ambar Wati Puisi

Puisi: Mari Menikah

Cerpen M Firdaus Rahmatullah

Cerpen: Sebelum Kau Terjun Malam Itu

Apacapa fulitik melqy mochammad marhaen

“Karpet Merah” Rakyat Situbondo

Ulas

Ulas: Namaku Merah Karya Orhan Pamuk

Moh. Gufron Cholid Puisi Sastra Minggu

Kitab Cinta dan Puisi Lainnya

Apacapa Imam Sofyan

Rajekwesi Suatu Magrib

Puisi Putra Pratama

Puisi: Angon

Mohammad Cholis Puisi

Puisi: Catatan Malam

Apacapa

Lebaran dan Dua Kepergian

Ika Wulandari Ngaleleng

Panduman, Membuatku Jatuh Cinta Pedalaman

Curhat

Diary Al Kindi: Lebih Dalam dari Sekadar Matematika 100–31=69

Alex Cerpen

Cerpen: Dia Bukan Gatot Kaca

Resensi Thomas Utomo

Resensi: Perempuan Berdaya dan Benteng Ketahanan Keluarga