Cerpen : Hari yang Baik untuk Menikah

Oleh : Yudik Wergiyanto
Gadis
itu tersenyum kepadaku setelah meletakkan secangkir teh hangat di depanku.
“Harusnya
kau tak perlu repot-repot, aku cuma sebentar.”
“Kau
kan sudah lama tidak ke sini. Apa salahnya?” jawabnya sembari melemparkan
senyum padaku.
Inilah
yang aku benci. Mestinya aku tak menuruti kemauan calon istriku untuk
mengundangnya. Kalaupun aku terpaksa menurutinya, mestinya bukan aku pula yang mengantarkan
undangan ini padanya.
“Mana
undangannya?” katanya. Aku terkejut. Bagaimana ia bisa tahu?
“Sudahlah,”
ia melanjutkan. “Tidak ada alasan lain seorang laki-laki datang ke masa lalunya
kalau bukan untuk memberi kabar kebahagiaan?”
Lidahku
kelu. Kupaksakan bibir ini menyunggingkan senyum padanya. Aku mengambil
undangan pernikahanku dan menyerahkan padanya. Ia mengambilnya dan mulai
membaca. Ia jelas melihat namaku di sana. Namanku yang bersanding dengan wanita
lain
, calon
istriku
.
“Selamat
ya.” ucapnya.
Aku
mengangguk. Entah kenapa aku tak bisa berkata-kata. Kelebat bayangan masa lalu,
hilir mudik
di kepalaku. Apalagi ia sempat melemparkan senyum padaku tadi.
Maka sempurnalah aku
terkepung masa-masa saat aku bersama dirinya. Mendadak aku
juga terkurung rasa
bersalah.
“Maafkan
aku.”
ucapku
pada gadis itu.
“Untuk
apa?”
“Kita.”
Gadis
itu hanya tersenyum. Ah, lagi-lagi. Senyum itu bagai gelombang kejam yang
memporak-porandakan perasaanku.
“Bukankah
kita memang tidak pernah bersama?”
“Tapi
kita punya masa lalu.”
“Semua
orang punya masa lalu, bukan?” tanyanya
, tanpa hilang
senyum di wajahnya.
“Aku
yang tidak bi-”
“Sudahlah,”
potong gadis itu. “Dua minggu lagi kau menikah.”
Lidahku
kembali kelu. Ternyata bukan kehadiran masa lalulah yang membuatku ketakutan.
Inilah yang lebih menakutkan: melihatnya mengatakan ‘kau akan menikah’. Aku tak
tahu bagaimana ia bisa setegar itu.
Tapi aku mendengar nada getir dalam kata-katanya.
“Kenapa
kau tidak menikah di hari libur saja?” tanyanya
, tiba-tiba. “Hari Selasa, sepertinya aku tidak bisa
hadir.”
Seolah
seperti tersapu angin pegunungan, hatiku mendadak sejuk. Aku bahagia mendengar
ia tak bisa hadir. Setidaknya aku tak melihatnya datang di acara pernikahanku.
Aku tak ingin momen itu dirusak oleh masa lalu yang justru dirikulah yang tak
bisa mengendalikannya.
“Itu
hari yang paling mungkin. Kami menyesuaikan dengan kondisi dan situasi juga.”
“Maaf, ya. Aku tak bisa
hadir.”
“Tak
apa.”
“Aku
mencintaimu,” katanya. Aku terkejut
, jelas. “Kau lelaki yang tanpa kenal
lelah mengejarku saat SMA dulu. Lelaki yang membuat masa-masa sekolahku menjadi
begitu bahagianya. Kau membuatku merasa senang, sekaligus khawatir. Kau, cinta
pertamaku. Tapi kau tak bisa meyakinkanku. Kau gagal. Sikapmu seringkali
bertolak
belakang
dengan ucapanmu. Kau membuatku bingung. Mana yang mesti aku pilih? Bahkan
bertahun-tahun setelah masa SMA usai, kau masih belum mampu meyakinkanku. Kau
hanya bisa mengejar tapi tak pernah bisa meraih. Atau mungkin kau sengaja tidak
ingin meraihnya? Sekadar mengejar
saja?”
Mendengar
ucapannya, dua anak sungai mengalir
begitu saja di wajahku. Kata-katanya telah
mengguncang perasaanku. Aku remuk redam. Kutatap ia. Aku tak malu lagi berurai
airmata di hadapannya. Ia, gadis itu, gadis yang kukenal sejak baru masuk SMA,
dan aku langsung jatuh cinta padanya, tak kulihat sedikitpun menitikkan air
mata.
Aku
tak tahu bagaimana mesti menjawab perkataanya. Perkataannya benar, tapi tak
sepenuhnya. Ada sesuatu yang begitu
rumit dalam hatiku yang tak dapat
kujelaskan. Mungkin
agar lebih
bijaksana
,
aku mesti mengakuinya sebagai kesalahanku seutuhnya.
“Barangkali,
ketidak
hadiranku
akan menjadikan hari yang baik bagimu untuk menikah.” []

Penulis

  • Yudik Wergiyanto

    Penikmat sastra. Tinggal di Situbondo. Bekerja sebagai akuntan. Bisa dijumpai di blognya www.tidaktampan.blogspot.com.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Rahman Kamal

Besuki Membaca: Dikira Jualan Buku sampai Mendirikan Rumah Baca

Cerpen Yolanda Agnes Aldema

Cerpen : 7 Tanda Kematian Waliyem

Cerpen Ira Atika Putri

Cerpen: Budak!

Apacapa

Ketika Jurnalisme Tidak Harus Selalu Bergegas

Cahaya Fadillah Puisi

Puisi-puisi Cahaya Fadillah: Setelah Engkau Pergi

Puisi Tribute Sapardi

Puisi: Untukmu, Eyang!

Puisi Tjahjaning Afraah Hasan S. A.

Puisi Ruah Alam Waras

Cerpen

Cerpen: Apakah Rumah Perlu Dikosongkan?

Apacapa

Pewaris Budaya Desa

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Senarai Kritik untuk Sinetron Indonesia

Ahmad Zaidi Buku Ulas

Ulasan Ugal-Ugalan tentang Romila dan Kutukan Ingatan

Indarka P.P Resensi

Resensi: Relasi Kuasa, Kisah Asmara dan Pengorbanan

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Karya Rupa Generasi Mawas Diri

Puisi Syukron MS

Puisi: Kesaksian Burung Trinil

M. Kholilur Rohman Resensi

Resensi: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong

M Firdaus Rahmatullah Mored Moret Puisi

Gunung Ringgit dan Puisi Lainnya

Apacapa Sejarah Situbondo

Operasi Carthago: Mengenal Sejarah Pertempuran di Asembagus

Politik

Press Release Kongres HMI

Fela Dila Mai Carolin Puisi

Puisi: Undangan Baru untuk Kekasih Lama

Apacapa Sainur Rasyid

Gusdur dan Buku