Kosong dan Sajak-Sajak Lainnya Karya Alif Febriyantoro

Gadis
dan Kota
Ini kota, yang
katamu punuh dengan jalan-jalan yang berliku.
Lorong, tangga,
tanah yang ditumbuhi gedung-gedung raksasa,
semua sudah
kutelusuri bersamamu.
Tapi semua sama
saja, ketika hujan membasahi,
tak ada yang
terlewati. Semua akan menjadi basah.
Takdir menjadikanmu
sebagai gadis kota, salah satu penghuni kota.
Dengan serangkaian
peristiwa yang sedikit melankolis.
Dan sudah kutanyakan
berkali-kali, bagaimana bisa kamu tersenyum,
ketika mendung jatuh
di kota ini?
Tapi sebagaimana
kataku, aku ingin mengajakmu ke desa.
Memanjat pohon palem
dan memetik buah anggur.
Aku ingin sejenak
melepaskan kota dari ingatanmu.
Membunuh kecemasan
demi kecemasan yang selalu mengelilingi tubuhmu.
Sebab desa tidak
memiliki pintu. Kamu boleh masuk dari arah mana pun.
Berbagi dingin
dengan siapa pun. Atau sekadar ingin melihat bunga bermekaran,
siapa melarang?
Hidup merdeka adalah
sepenuhnya melepaskan.
Jember, November 2016
Batas
Sebenarnya, katamu,
mendung adalah malam.
Tapi, tak ada yang hilang, kataku.
Mereka bertanya, ada apa sebenarnya?
Terjemahkan saja
semua sajak itu: sajakmu, sajakku.
Atau dinding itu, batas antara resah dan ketidakwarasan.
Sajakmu, sajakku, telah mati di sana.
Jember,
Februari 2017

Batas
(2)
Ruang itu disebut
batas; juga dinding itu.
Ruang itu tenggelam, ke dalam dinding.
Sekali lagi, mereka bertanya:
“Kenapa di sana, kalian membikin teka teki?”
Sajak memang kawan
kita, akhirnya.
Pisau itu telah selesai membunuh, kemarin.
Tapi, siapa yang tahu? Tak ada.
Sajakmu, sajakku, lahir kembali.
Jember, Maret 2017
Mimpi
Dalam mimpiku, kau
berjalan ke arahku, dengan bunga putih di tangan.
Kau pun pelan bersandar di bahuku, dan berkata,
“Seperti mimpi, aku
ingin yang selalu bersambung, dan tak akan pernah selesai.”
Di sudut matamu, aku
temukan sebuah karya. Melintas seperti waktu.
Tapi terpisah dari ruang. Dan kau menatapku.
Dan kau memelukku, lalu pergi,
hilang di batas senja.
*
Dalam mimpimu, di
batas antara resah dan gelisah, kau temukan sebentuk cermin.
Kau pun pelan melihat sepasang matamu.
“Seperti hujan, aku
ingin menangis,” katamu sebelum bibirku yang tak mulus
mendarat mulus di keningmu yang halus.
Tapi dalam mimpiku
dan mimpimu,
aku dan kau tak tahu, siapa kita sebenarnya. (*)
Jember, Juli 2017
Kosong
Di sudut kamarmu
sebelum kau tertidur, ada yang membuatmu merasa sedikit gelisah.
 
Mungkin kota. Atau taman. Atau barangkali aku hanya menduga.
Di dekat jendela kamarmu, siluet tangan bergerak, menembus dinding.
“Aku akan mengulang
yang tak berulang,” katamu dengan nada yang gemetar.
*
Aku bermimpi
menemukanmu berjalan ke arah pintu, membuka pintu, dan hilang bersama hujan.
 
Dan kau bermimpi, melihatku berjalan ke arah utara, dengan sebuah kembang di
tangan.
 
Tapi kau tak tahu, siapa yang sebenarnya menungguku di ujung sana.
Dan kau diam. Dan
kau terbangun.
*
Aku selalu ingat,
ketika aku membawamu masuk ke sebuah kota yang kubuat sendiri dalam kepalaku.
Kota yang putih. Kota yang bersih, dan selalu hangat.
Untukmu, aku lukis taman yang indah, dengan deretan bunga-bunga di sepanjang
tepinya.
 
Aku lukis langit yang selalu biru, dan tak akan pernah turun hujan.
Di kota yang kubuat
ini, tak ada satu pun orang yang pernah bertanya tentang ingatan dan kenangan.
Sebab, orang-orang selalu berbicara tentang segala hal yang tumbuh.
 
Seperti bunga yang bermekaran, sepanjang musim.
“Aku ingin menjadi
bulan,” katamu sebelum kau bersandar di bahuku.
“Tapi kota ini tak
akan pernah menjumpai malam,” kataku sebelum bibirku yang tak mulus mendarat
mulus di keningmu yang halus.
*
Di sini, (aku
bayangkan ini adalah ruang yang paling dalam dari hati dan imajinasi)
ada sajak yang berantakan. Sajakmu, sajakku, mungkin telah mati. Atau disapuh
musim.
 
Aku bayangkan, kau menatapku, dan masuk ke dalam mataku.
Tapi hanya ini yang
bisa aku lihat, dari balik jendela:
Bulan yang mencoba lepas, dari kota dan taman. (*)
Jember, September 2017

ALIF
FEBRIYANTORO
, kelahiran Situbondo. Akhir tahun
2016 sampai akhir tahun 2017, baginya,  adalah beberapa waktu yang begitu melelahkan. Dan di tahun ini, ia masih terlihat kelelahan.

Penulis

  • Alif Febriyantoro

    Alif Febriyantoro, lahir di Situbondo, 23 Februari 1996. Buku-bukunya antara lain, 60 Detik Sebelum Ajal Bergerak (Kumpulan cerpen, 2017), Romila dan Kutukan Ingatan (Kumpulan cerpen, 2019), dan Sebelum dan Setelah Hujan, Sebelum dan Setelah Perpisahan (Kumpulan cerpen, 2020).


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Cerpen: Bunga-Bunga Berwajah Ibu

game Ulas

Metal Gear Solid Delta: Sebuah Game Klasik Dengan Sentuhan Modern

Uncategorized

Ulas Buku: Cegah Stunting Sedini Mungkin

Cerpen Rahman Kamal

Cerpen : Bunga Mawar Merah Berduri

Uncategorized

Menjadi Guru Super, Bukan Guru Baper

Apacapa Arif Noerfaizal

Refleksi 73 Tahun Indonesia Merdeka

Cerpen Surya Gemilang

Cerpen: Dinding-Dinding Rumah Seorang Pembunuh

Cerpen Moh. Rofqil Bazikh

Cerpen: Matinya Penyair Bukad

Apacapa fulitik

Kenapa Kaos Orens Tidak Dibagikan Gratis? Malah Dijual. Ini alasannya.

Uncategorized

Memaknai Langgar Dalam Perspektif Sosiologi Agama

Cerpen

Sepasang Kekasih yang Berpisah Karena Hujan

Kriselda Dwi Ghisela Resensi

Resensi: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Mored Rini Yulianti

Cerpen Mored: Sang Keramat Batu Pandhusa

Review Film

Review Film: Si Buta dari Gua Hantu

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Bupati-Bupati Situbondo, Sudah Ya!

Dani Alifian Puisi Sastra

Puisi: Tamadun Semu Karya Dani Alifian

Cerpen Muhammad Lutfi

Cerpen : Agama dan Prasangka Karya Muhammad Lutfi

Apacapa

Kumpul Komunitas: Merdeka Belajar dan Belajar Merdeka

Apacapa Cerbung Moh. Imron

Cerbung: Farhan dan Perjalanan ke Barat (Part 1)

Apacapa Fendy Sa’is Nayogi

Pertanian 4.0: Mari Bertanam di Internet!