Saya Sudah Berhenti Membaca Berita, dan Mungkin Kalian Juga Harus Melakukannya

Otak kita adalah organ yang sangat luar biasa, tapi sering kita salahgunakan. Faktanya, otak kita bisa memproses data hingga 2,5 juta gigabyte. Sebuah angka yang luar biasa kalau dijadikan paket data, bisa kita gunakan untuk mengakses media sosial tanpa henti bertahun-tahun. Bisa-bisa bangkrut itu penyedia layanan internet terbaik di negara kita.

Sayangnya, meski memiliki kemampuan luar biasa, otak kita gampang sekali terpengaruh oleh emosi, Apalagi emosi negatif. Sedikit saja otak terpapar emosi negatif, maka tidak bisa ia berfungsi maksimal. Oleh karena itu, setiap kali ada orang marah, emosi, atau ngamuk-ngamuk, sebaiknya didinginkan dulu. Bukan diminta klarifikasi. ~hehe

Salah satu sumber utama emosi adalah informasi yang kita konsumsi sehari-hari. Informasi yang dikendalikan algoritma dan tanpa sadar, tanpa perlawanan, kita konsumsi secara sukarela. Memenuhi otak dengan informasi yang sebenarnya tidak benar-benar kita butuhkan.

Tanya saja ke para bapak. Saya yakin isi kepala mereka lebih banyak berisi pengetahuan aneh dan tidak penting daripada titipan belanja istri, yang mungkin lima menit setelah diberikan sudah lupa. Saya juga, sih. Makanya, setiap dititipi belanja oleh pasangan, saya selalu membuat catatan. Karena saya sadar, otak saya lebih mudah mengingat informasi yang tidak terlalu penting daripada perintah urgent seperti titipan belanja pasangan. ~haha

Atas dasar itu, saya pun memutuskan untuk membatasi akses informasi setiap harinya. Saya ingin otak saya menerima informasi yang saya inginkan, bukan informasi tidak penting yang algoritma suapkan kepada saya.

Membatasi Diri Terhadap Akses Media Sosial

Langkah pertama saya adalah membatasi akses ke media sosial. Scrolling berjam-jam? Nggak lagi! Kini saya lebih memilih menggunakan fitur kaca pembesar untuk mencari konten yang ingin saya konsumsi daripada pasrah pada konten yang algoritma sajikan di setiap guliran jari saya.

Alhamdulillah, saya jadi lebih fokus, lebih mudah mengingat, dan memahami sesuatu secara mendalam, alih-alih hanya fomo semata.

Langkah selanjutnya adalah mematikan notifikasi.

Iya, notifikasi gawai itu sumber distraksi digital yang luar biasa tempting. Orang-orang di balik perusahaan media besar bukanlah orang sembarangan. Mereka pintar, cerdas, dan paham bagaimana mengarahkan otak kita bekerja. Khususnya bagaimana otak menerima informasi.

Langkah Terakhir: El Finale…

Saya berhenti membaca berita, dan mungkin kalian juga harus melakukannya. Kenapa? Karena apa yang dituliskan di berita belum tentu benar-benar mencerminkan apa yang terjadi. Ada banyak aspek yang bisa dipilih dalam penulisan berita. Parahnya, kita sering menangkap konten berita secara parsial—tidak utuh. Kita hanya menerima potongan, lalu menganggapnya utuh.

Kita terjebak meng-overgeneralisir sebuah berita yang (mungkin) sebenarnya masih sepotong sebagai berita yang lengkap. Akibatnya, kita bertindak berdasarkan informasi yang belum tentu lengkap.

Ada tulisan esai menarik dari Peter Vanderwicken, seorang editor di Vanderwicken’s Financial Digest, berjudul “Why the News Is Not the Truth”. Dipublikasikan di Harvard Business Review pada 1995. Salah satu kutipannya berbunyi:

“The news media and the government are entwined in a vicious circle of mutual manipulation, mythmaking, and self-interest. Journalists need crises to dramatize news, and government officials need to appear to be responding to crises.”

Media berita dan pemerintah saling terikat dalam lingkaran setan manipulasi, pembentukan mitos, dan kepentingan pribadi. Jurnalis memerlukan krisis untuk mendramatisasi berita, sementara pejabat pemerintah harus tampil seolah tanggap terhadap krisis.

Lalu, mari kita lanjutkan ke paragraf berikutnya:

“Too often, the crises are not really crises but joint fabrications. The two institutions have become so ensnared in a symbiotic web of lies that the news media are unable to tell the public what is true and the government is unable to govern effectively.”

Sering kali, krisis yang terjadi bukanlah krisis sebenarnya, melainkan rekayasa bersama. Kedua institusi tersebut telah begitu terjerat dalam jaringan simbiosis kebohongan sehingga media tidak mampu menyampaikan kebenaran kepada publik, dan pemerintah tidak mampu menjalankan pemerintahan secara efektif.

Artinya, berita yang kita konsumsi sering kali bukanlah informasi yang benar-benar kita butuhkan. Terkadang informasi itu masuk ke otak kita tanpa disaring, karena memang didesain untuk diterima tanpa penolakan. Sejak awal, berita adalah alat propaganda dan hingga kini masih sama. Ada good news, ada bad news. Pilihannya ada pada kita: berita mana yang ingin kita konsumsi dan terima? Seperti kata Dahlan Iskan, kita sekarang hidup di era post-truth, era di mana kebenaran bukan lagi dibangun atas realita, tapi atas persepsi dan asumsi.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Novel Anak Bersudut Pandang Banyak

Apacapa Imam Sofyan

Melihat Masa Depan Situbondo dari Lomba Flashmob Panarukan

Apacapa Nanik Puji Astutik

Power of Penulis

Cerpen Harishul Mu’minin

Cerpen: Ginjal Pembawa Kesedihan dan Penyesalan

Fendi Febri Purnama Puisi Madura

Puisi Madura: Petteng Calèmot Karya Fendi Febri Purnama

Apacapa Esai Muhammad Ghufron

Menjadikan Buku sebagai Suluh

Buku Cakanca ID M Firdaus Rahmatullah Ulas

Resensi: Dari Patah Hati Hingga Tragikomedi

Cerpen Erha Pamungkas

Cerpen: Perempuan Api Unggun

Pantun Papparekan Madura

Pantun Marongghi

Puisi S. Mandah Syakiroh

Puisi-puisi S. Mandah Syakiroh: Mata

Arian Pangestu Puisi

Puisi : Revallina Karya Arian Pangestu

Apacapa Permata Kamila Situbondo

Arebba: Mendoakan Para Leluhur

Apacapa

Sudahkah Anda Konsisten?

Mustain Romli Puisi

Puisi-puisi Mustain Romli: Pesona Kota dan Sepasang Mata

Apacapa Nanik Puji Astutik

Mencari Teman Hidup

Dani Alifian Puisi

Pesawat Kata dan Puisi-Puisi Lainnya Karya Dani Alifian

Apacapa Muhammad Riyadi

Menakar Pilkada di Kota Santri: Pengaruh Pesantren dan Politisasi Identitas

Apacapa Mored Vania Callista Artanti

Curhat: Pak Menteri, Kami Jenuh!

Ahmad Maghroby Rahman Esai

Bejo, Suhaden, Kopi, Senja dan Rendra

Anugrah Gio Pratama Puisi

Puisi: Perantau Karya Anugrah Gio Pratama