Balu dan Cerita-Cerita Aneh

Kami sedang dalam perjalanan pulang dari membesuk Balu, malam itu. Hujan baru saja reda. Jalanan masih basah, memantulkan nyala lampu kendaraan juga lampu-lampu kota di sepanjang jalan yang lengang. Aroma tanah menebar sunyi, membuat pikiran kami melayang-layang. Serupa kunang-kunang, berkedip gamang.
Jika saja Balu tidak hidup dalam kegilaannya itu, mungkin tidak begini jadinya. Ia tidak harus ditempatkan dalam kamar kecil di sebuah rumah sakit jiwa.
***
Oleh : Ahmad Zaidi
Mimpi
Suatu hari Balu bercerita, perihal jimat yang belakangan selalu ia bawa. Katanya, jimat tersebut ia peroleh sewaktu bertapa di Puncak So’onan. Kami tidak lantas percaya begitu saja mengenai benar-tidaknya cerita tersebut. Setidaknya, dari cerita Balu, kami mendapatkan nuansa tersendiri dari setiap penjelasan yang terkadang berakhir mengejutkan. Balu serupa jelmaan kakek-kakek kami yang suka bercerita, dulu, semasa kecil.
Begini ceritanya.
Tanggal lima belas, penanggalan jawa. Kuputuskan untuk mendaki Gunung So’onan. Tidak sembarangan, aku melakukan hal demikian setelah mendapat isyarat lewat mimpi. O, ya. Sebaiknya, mana yang lebih dulu harus kuceritakan kepada kalian, hm?
“Mimpi dulu,” serempak, kami menjawab.
Balu mengangguk-angguk, dengan ujung jari ditempelkan pada dagunya yang lancip. Kemudian, ia melanjutkan.
Aku menyaksikan banjir bandang melanda kota ini. Orang-orang panik, lari tunggang-langgang. Hujan menyerbu serupa jutaan, bukan, milyaran peluru dilesakkan dari langit. Di tengah keriuhan macam itulah, aku melihat seberkas cahaya dari arah gunung. Kukira cahaya kemilau itu berasal dari Gunung Sampan. Namun, setelah diperhatikan lamat-lamat, cahaya itu berasal dari Gunung Putri. Kian lama cahaya itu mendekat padaku. Semakin terang. Hingga pandanganku mengabur, tidak bisa melihat satu pun benda. Membuatku pusing.
Kemudian, saat aku berusaha mengumpulkan kesadaran. Kudapati diriku terkulai lemas dengan bantal basah dan berbau sedikit sengak. Rupanya aku bermimpi.
***
Jimat
“Lalu, bagaimana dengan jimat yang selalu kau bawa itu?” Kami mendesak Balu, agak lama ia diam. Membiarkan rasa penasaran mengendap di gelas-gelas kopi.
Balu menyalakan rokok. Menyeruput kopi pada tegukan terakhirnya sembari mengacungkan jari telunjuknya dalam tatapan ibu warung. Satu lagi! Demikian maksudnya.
Balu kembali bercerita.
Akhirnya aku sampai di Puncak So’onan. Setelah mengalami perjalanan yang cukup melelahkan. Bayangkan, tingkat kemiringan di sana mencapai sembilan puluh derajat. Sembilan puluh, Cong. Kalian boleh saja, mampu berlari mengitari lapangan sepak bola berpuluh-puluh putaran.  Namun dengan kemiringan segitu, kalian akan kelelahan bahkan ketika baru beberapa langkah. Kalian tahu sebabnya?
“Karena dengan kemiringan segitu, secara tidak langsung melawan gravitasi.”
Tepat sekali. Itu secara logika. Ada yang beranggapan, perjalanan ke puncak merupakan refleksi kehidupan seseorang. Bila seseorang itu adalah pendosa, maka rintangannya berat sekali. Jangankan untuk sampai di puncak, sepertiganya saja akan kesulitan. Lain halnya dengan seseorang yang rajin menunaikan ibadah dan memelihara kebaikan, perjalanannya akan dimudahkan. Suing! Tahu-tahu sudah di puncak. Ya, seperti aku ini contohnya.
***
Perahu
Jimat ini sesekali mengeluarkan suara. Menderu seperti angin pulau, mendecit seolah-olah ada ratusan camar di dalamnya. Ah, mungkinkah ada semesta lain dalam sebuah jimat? Aku tidak yakin.
Kubiarkan saja jimat ini tergeletak di lemari baju.
Menjelang fajar. Tidurku dibangunkan oleh guncangan cukup keras. Kukira gempa. Setelah kupastikan seisi rumah tidak ada yang berjatuhan, tidak pecah, aku kembali tidur. Rupanya mimpi lagi. Saat berusaha memejamkan mata, barulah, entah dari mana muasalnya, guncangan itu kembali. Aku seperti berada dalam sebuah perahu yang dilamun badai. Tempias ombak mengenai sekujur tubuhku. Anehnya, ketika kubuka mata, tubuhku baik-baik saja, seperti tidak terjadi apa-apa.
Aku jadi mengerti, perihal mimpi, banjir dan perahu. Mungkinkah aku diperintahkan membuat perahu? Tapi oleh siapa?
Tidak penting dari apa atau siapa muasal mimpi itu. Aku harus membuat perahu. Secepatnya.
Maka mulailah aku mengumpulkan kayu nyamplong, kesambi dan jati. Bukan perkara mudah, mengingat hutan-hutan kita hampir habis digunduli. Aku sedikit heran, bila mereka mudah sekali menebang pohon yang kemungkinan besar usianya melebihi moyang mereka, kenapa justru untuk menanam  kembali susahnya minta ampun. Apa yang akan mereka sisakan untuk anak-cucu di kemudian hari? Ah, daripada memikirkan urusan kapiran macam begitu. Sebaiknya segera kurampungkan perahuku.
“Kau sedang apa, Lu?” Orang-orang mulai curiga. Mereka mendatangiku dan bertanya benda apa yang tengah kubuat.
Aku diam saja. Tidak menanggapi. Melanjutkan perahuku yang masih berupa rusuk-rusuk itu.
“Jangan bilang kau sedang membuat perahu?”
“Hei, Balu. Kalau mau gila, pikir-pikir dong. Masak membuat perahu. Kaukira ini zaman Nuh?”
“Astaga! Balu mengaku Nabi.”
“Uedan!”
Orang-orang mulai membicarakanku. Menggossip, digoyang semakin sip, tak goyang abang pulang. Tapi apalah artinya, nabi saja dicaci maki. Ini tidak akan pernah sebanding. Dan, asal kalian tahu. Aku tidak pernah mengaku nabi. Tidak akan, Cong. Naudzubillah! Cukuplah Rasulullah, Kanjeng Nabi Muhammad, sebagai Rasul terakhir, penutup kenabian.
Sebaiknya orang-orang membiarkanku membuat perahu. Urus saja urusan mereka masing-masing.
Setelah beberapa bulan kuhabiskan waktu untuk menggergaji, memasak sampai mendempul. Akhirnya perahuku selesai. Dengan katir di dua sisi. Dengan layar sebiru langit sebiru lautan.
Kini perahuku siap berlayar.
***
Sepotong Cerita buat Balu
Sebaiknya, berapa lama waktu untuk menunggu?
Teman kami jawabannya.
Adalah mimpi, alasan mengapa ia menunggu selama ini. Mimpi tentang sebuah kota yang ditelan banjir dan ia diperintahkan untuk membuat perahu. Lalu orang-orang mencibirnya, menuduhnya gila, kesurupan jin gunung, dan merebaklah sebangsa tudingan yang terus beranak-pinak.
Teman kami itu, tidak peduli dengan anggapan orang-orang. Bagaimanapun, ia harus menyelesaikan apa yang dimulainya. Berbeda dengan kebiasaan mayoritas orang di kota kami, meninggalkan begitu saja apa yang belum mereka selesaikan.
Ada sebagian yang menganggap teman kami sebagai nabi. Padahal tidak sekalipun teman kami mengaku menerima wahyu. Tak jarang pula, teman kami dianggap sakti mandraguna. Hingga mereka berduyun mengambil serbuk-serbuk kayu dan memakannya. Seolah yakin sekali bahwa ditangan orang sakti, serbuk kayu bisa disulap menjadi obat. Ajaib! Esoknya, pemakan serbuk kayu itu berakhir di ruang medis seorang dokter, bernegosiasi dengan maut.
***
Resah. Itu yang kami rasakan lantaran menunggu langit belum juga basah. Harapan kami menguap diharibaan kemarau yang gelisah. Mana banjir seperti dalam mimpi itu hingga keyakinan kami goyah. Kami galau didera gundah.
Banjir belum juga datang. Kemarau semakin gersang.
“Mana banjir yang kau mimpikan, Cong?”
“Mimpi yang mana?”
“Mimpi yang pernah kau ceritakan. Tentang banjir melanda kota, orang-orang panik, dan kau melihat cahaya dari Puncak So’onan. Tentang jimat yang kau peroleh setelah mendaki hingga puncak. Tentang perahu yang kau..”
“Sebentar, kuingat-ingat dulu.” Merupakan kebiasaan teman kami, memotong percakapan. Ia mengangguk-anguk sendiri. Sejurus kemudian menatap mata kami satu-persatu, begitu dalam, begitu kelam, seperti malam. “Aku berbohong.”
“Maksudmu?”
“Semua cerita itu. Aku bohong.”
“Bagaimana dengan perahumu?”
“Ah, ya. Kalian ingat Marni? Untuk dia lah aku membuat perahu itu.”
“Marni mantan-istri-sialan-mu itu maksudmu?”
“Ya.”
“Buat apa. Bukannya dia sudah menikah lagi?”
“Untuk itulah, aku ingin menemui Marni di masa lalu. Dengan perahu itu, mungkin aku bisa mengarungi waktu.”
Seketika, kami jatuh pingsan.
***
Suara sirine meraung-raung membelah lalu-lintas kota. Sebelum suara itu benar-benar lenyap, kami teringat ucapan seorang petugas yang membawa Balu.
“Terima kasih sudah menghubungi kami. Sesekali, jangan lupa membesuk untuk membantu proses penyembuhannya.”
Situbondo, Februari 2016
(Cerita buat Yudik dan Imron)

Ahmad Zaidi, lahir dan tinggal di Situbondo. Saat ini bergiat di Komunitas Penulis Muda Situbondo.

Penulis

  • Ach. Zaidi

    Bapaknya Ayesha. Penulis buku kumpulan cerpen Mata Ingatan (2024)


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa

Dadang Wigiarto; Bupati Religius itu Berpulang

Apacapa

Kicau PBB: Jebakan Paranoid Ala Riski

Apacapa Arif Noerfaizal

Refleksi 73 Tahun Indonesia Merdeka

populi Puisi rejeng

Puisi: Sekeping Sunyi

Dewi Sukmawati Puisi

Di Wajah Rintik Hujan dan Puisi Lainnya Karya Dewi Sukmawati

Buku Muhamad Bintang Resensi Ulas

Resensi: Pahlawan Nasional KH. Noer Alie (Singa Karawang Bekasi)

Dhafir Abdullah Puisi Syi’ir

Muharrom sè Moljâ

Apacapa Denny Ardiansyah

Ode untuk Orde Pak Dadang

M Ivan Aulia Rokhman Puisi

Puisi – Balada Sunyi

Apacapa Imam Sofyan

Aku, Polisi dan Buku

Dani Alifian Puisi

Puisi : Hujan di Tubuh Seorang Perempuan Karya Dani Alifian

Buku Ulas

Koruptor, Pramoedya Ananta Toer

Cerpen Imam Sofyan

Kitab Putih

Puisi Toni Kahar

Puisi : Aku Mengecup Hujan Karya Toni Kahar

Apacapa Novi Dina

AMDAL dalam Sebuah Percakapan

Apacapa Moh. Imron

Museum Balumbung: Para Pendekar Masa Lalu

Cerpen Yolanda Agnes Aldema

Cerpen : Mimpi Setelah Membaca

Apacapa Sururi Nurullah

Fashion dan Berbagai Dampaknya

Ahmad Jais Puisi

Puisi: Sajak Si Manusia Mesin

Agus Karyanantio Apacapa

Menanggapi Hari Jadi Kabupaten Situbondo