Berperan Tanpa Perasaan

Oleh:
Hayyi Tislanga*

Jangan
menelan mentah-mentah
judul
di atas.
Karena hal
yang terbesit di benak
Anda
pasti tentang cinta. Padahal, perasaan tak
selamanya tentang hati
(baca: cinta).
Sebelum
memulai bercerita, saya ingin mengutip beberapa pengertian tentang peran
dan perasaan. Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI)
mengartikan peran sebagai
pemain sandiwara.
Sedangkan
perasaan
adalah
kata yang berasal dari mufrodat
‘rasa’
yang berarti tanggapan indra terhadap keadaan
. Izinkan saya menyambungkan kedua pengertian tersebut ke dalam
kehidupan sehari-hari. Khususnya terhadap orang-orang di organisasi yang saya
nilai
 tidak tanggap terhadap instansi
yang diemban.
Lebih-lebih tidak berperasaan. Tidak merasa memiliki.
Sudah
banyak siswa yang mengikuti tes seleksi masuk atau rekrutmen Organisasi Siswa
Intra Madrasah (OSIM) yang merupakan induk dari segala organisasi di sebuah sekolah
berbasis pesantren.
Pada
tes seleksi tersebut, seluruh peserta tes mengagung-agungkan OSIM, tidak lain
hanya bertujuan mengambil muka di hadapan penyeleksi.
Itu sah saja. Tapi, bagaimana kalau hanya soal
mengambil hati tanpa punya rasa memiliki? Memangnya Anda mau kalau hanya
didekati tanpa dicintai dan dimiliki? Ha?
Ini lagi. Penyeleksi pun harusnya seorang yang punya objektifivitas. Bukan karena OSIM berlagak
sok suci.
Tapi,
anggota-anggota baru OSIM haruslah dari orang
-orang yang memiliki komitmen kuat serta
semangat juang yang
tekun. Jika OSIM beranggotakan
siswa-siswa receh atau bahasa kasarnya “mental sampah”, maka sebuah
keniscayaan kantor OSIM akan menjadi sarang-sarang kemalasan.
Hal itu dikarenakan
mereka masuk OSIM tapi tidak memiliki rasa
dan totalitas terhadap OSIM.
Penyeleksi
punya peran yang vital.
Karena dari
sana semua kualitas ditentukan. Maka laku semacam mendahulukan orang yang
dikenal dan dekat harusnya diminimalisasi.
Kita
contohkan seorang penyeleksi berasal dari kota A dan para peserta tes juga
kebanyakan orang kota A.
Kelihatan
sekali banyak
keberadaan orang kota A mendominasi.
Peserta yang lulus
adalah peserta yang berasal dari kota A.
Sedangkan,
kader organisasi yang sanguinis banyak diacuhkan. Alhasil eksistensi OSIM kian
hari kian memudar. Entah, kantor digunakan sebagai tempat berbuat yang tidak
produktif, hingga tempat tidur saja.
Mereka ibarat “tong kosong
nyaring bunyinya, hati kosong nyaring tangisnya”,
Eh. Hehe.
Cerita
ini adalah contoh yang sudah kaprah di Nurul Jadid.
Jika kita telisik ke
perangkat negara, pasti 1 lembar koran tak akan cukup untuk menarasikannya.
Disini penulis akan
menyingkat contoh dari sekian banyak orang yang berperan tanpa perasaan. Koruptor
. Bagaimana reaksi Anda ketika mendengar
kata tersebut? Benci
atau malah jijik? Ya, koruptor adalah salah
satu contoh
manusia yang
berperan tanpa perasaan.
Tingkah
laku tengiknya sudah terlihat sejak awal berkampanye.
Misal, di daerah A, Simin mencalonkan
diri sebagai anggota
legislatif.
Buncah kata indah dilontarkan di hadapan rakyat. Sialnya, rakyat yang menelan
mentah-mentah perkataan Simin pasti akan langsung terbawa arus. Singkat cerita,
Simin sudah menduduki kursi kehormatan legislatif. Memang pada awal menjabat
Simin tidak banyak bertingkah. Akan tetapi, setelah dua tahun menjabat, ia
langsung menggencarkan akal bulusnya.
Ia terlena dan lupa akan tugas
utamanya.
Beberapa
contoh di atas adalah salah satu dari sekian banyak contoh berperan tanpa
perasaan. Jadi, haruslah kita sadar terutama bagi organisatoris tentang
pentingnya sebuah rasa kepemilikan terhadap Instansi yang diemban. Berperan
tanpa rasa ibarat raga tanpa jiwa yang hanya berjalan tanpa tahu arah yang akan
ditempuh. Kesimpulan dari basa-basi di atas, kita harus memiliki perasaan untuk
menjalani sebuah peran. Entah, di dalam organisasi maupun di kehidupan
sehari-hari.
Jika
masih belum memiliki rasa, mari kita bangun sebuah rasa bersama-sama demi nama
instansi yang kita emban
menjadi
lingkungan belajar yang baik dan bermanfaat
. []
______________________

*) penulis merupakan santri Nurul Jadid, Probolinggo. Ia manusia seperti
biasanya yang juga bisa patah hati dan terluka. Baru belajar menul

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Haryo Pamungkas

Cerpen : Kota dan Hujan di Pagi Hari Karya Haryo Pamungkas

Apacapa Moh. Imron

Udeng Jengger, Odheng Khas Situbondo

Apacapa Panakajaya Hidayatullah

Masih Pentingkah Festival Kampung Langai?

Apacapa Rusdi Mathari

Bahasa Puasa dan Ramadan

Cerpen Fahrul Rozi

Cerpen: Marsinah

Apacapa Kampung Langai Mei Artanto

Festival Kampung Langai: Mengabdi pada Masyarakat atau Artistik

Apacapa Baiq Cynthia

Memvisualkan Literasi Menjadi Budaya

Musyafa Asyari Resensi

Rendezvous!: Sebuah Pertemuan yang Memancarkan Keindahan

Apacapa Kampung Langai Panakajaya Hidayatullah

Dangdut Madura: Upaya Orang Madura ‘Swasta’ Mengartikulasikan Modernitas

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen : Generasi Tik Tok Karya Gusti Trisno

Buku Indra Nasution Ulas

Kritik Terhadap Demokrasi

Apacapa Bayu Dewo Ismadevi

Menyiapkan Generasi yang Hebat

Apacapa Imam Sofyan

Geliat Literasi dan Harapan yang Takkan Mati

Apacapa Rusdi Mathari

Ramadan: Korban Keisengan Saat Tidur di Langgar

Apacapa Mohammad Farhan takanta

Takanta: Dua Tahun (Semoga) Menjadi Diri Sendiri

Apacapa matrais

Jangan Gagal Paham Soal Kecamatan Baluran

Nanik Puji Astutik Puisi

Yang Muda Berkarya

fulitik

Kronologi Batalnya Debat Ketiga Pilbup Situbondo: Dugaan Sabotase dan Status Hukum Karna Suswandi Jadi Sorotan

Madura Raden Ajeng Afifah Maharani Totor

Manisan Cupcup: Manis Rassana Ate

Apacapa Jamilatul Hasanah

Ngopi Bareng: Dari Aspirasi Menuju Aksi