Cerbung: Farhan dan Perjalanan ke Barat (Part 1)

Ilustrasi: Budayawan Zaidi

Masak,
masak sendiri

Makan,
makan sendiri

Cuci
baju sendiri

Tidur
kusendiri

Saya
turun lantai untuk membuat kopi. Di meja bar café terlihat Farhan sedang sibuk
memasak sembari bernyanyi tapi tidak disertai goyang pinggul. Saya tidak tahu
apakah Farhan bisa bergoyang atau tidak. Soalnya saya tidak pernah melihat.
Kalau pun bisa mungkin kayak itik. Farhan memasak beras dengan mejikom.
Kemudian ia membuat lauk kesukaanya, tempe goreng beserta sambalnya. Saya dan
penghuni lainnya memang sering masak dan makan-makan bareng.

Oh
ya, Farhan adalah manusia, tinggal di Situbondo timur. Tepatnya di Desa
Sumberanyar. Ia telah menyelesaikan kuliah di Jember. Tinggi badan tidak sampai
300 meter juga tidak sampai 200 meter, rambut hitam pendek dan seorang guru.
Saya mengenalnya di dunia nyata tahun 2016. Selain itu di akhir-akhir ini ia
juga ahli membuat stiker teman-temannya di whatsapp.

Farhan dihibur kawan-kawannya dengan bermain playstation

Hari
itu, tepat hari Ahad. Saya sengaja menginap di café menemani Farhan. Ia bilang
sedang kesepian. Kebetulan kawan-kawan sedang tidak ngumpul di sana. Biasanya
di kafe banyak teman-teman ramem ada yang begadang atau mengerjakan sesuatu
hingga larut. Ya, bisa jadi tempat ini cocok buat yang sedang kesepian. Saya
tahu belakangan ini Farhan sedang sedih.

Saya
sangat terpukul. Meratapi kenyataan bahwa saya dan dia harus berpisah. Saya
pulang ke rumah orang tua saya. Di kamar saya mengurung diri beberapa jam. Saya
mengingat lagi apa saja yang sudah dilewati berdua dalam durasi pernikahan yang
singkat itu. Air mata saya jatuh. Tapi saya cepat sadar, tidak ada alasan lagi
untuk saya mengeluarkan air mata itu berlaut-larut. Bahwa kesedihan ini memang
harus segera diakhiri. Meskipun sangat berat dan panjang.

(Dikutip
dalam tulisan Farhan dalam Lebaran dan Dua Kepergian pada 7 Juni 2019)

Sebelumnya
saya sedikit gak percaya dengan kejadian itu. Tapi membaca tulisan Farhan
membuat saya sedikit menyayangkan. Sebab menikah bukan untuk main-main. Tapi
kadang saya pura-pura gak tahu. Saya pastikan kabar itu, kebetulan Farhan
memulai chat whatsapp:

2
Juli 2019

Q
mau ke RB

Masih
kerja

Krja
dmn kek?

E
bengko Haha

Mantaapp
bung. Enak bgt

Mumpung
liburan. Istrinya gak ikut bro?

istri
apa bro. Pisah br0

###

Di
kafe, Farhan banyak bercerita bagaimana melewati kisah yang menyedihkan itu.
Saya sempat terharu tapi cuma sedikit. Ia bercerita dengan ekspresi sendu. Ia
benar-benar merasa tersiksa. Sakit. Bahkan lebih sakit dari siksa kubur.
Mungkin dengan alasan itu ia melakukan perjalanan ke arah barat
−seperti dalam serial
Kera Sakti. Jika Kera Sakti ke India, Farhan dari desa ke kota. Kera Sakti
mencari kitab suci, mungkin Farhan mencari cinta suci. Kera Sakti berbekal
tongkat sementara Farhan berbekal air mata.

Farhan berangkat
dari rumah sehabis subuh, ia bertekat berjalan kaki ke kota. Namun tekat itu
rupanya kandas, setelah sampai di Asembagus sudah ngos-ngosan, ia memilih naik
angkot.

Sebelumnya
saya mendapat kabar dari Anwar kalau Farhan sedang mencari kost atau kontrakan,
kemudian Anwar menawarkan Farhan tinggal di nine café untuk sementara. Dan ia
menyetujuinya.

Maka
dari itu Farhan dan kawan-kawan lain lebih intens bertemu. Banyak hal yang ia
kerjakan selama tinggal di kota. Seperti salah satu keinginannya, berkontribusi
mengembangkan literasi di Kabupaten Situbondo. Tak heran jika ia aktif di
berbagai kegiatan-kegiatan literasi di wilayah kota sebelumnya ia juga aktivis
Literasi Sumberanyar. Selain itu, Farhan mulai mengajar di SMAN 1 Situbondo.
Dari kesibukan-kesibukan itu, ia lakukan agar segera melupakan momen pilu itu.
Meskipun itu sulit tapi akan berusaha dengan keras. Seberapa kuat ia ingin
melupakan kadang ada-ada saja sesuatu yang membuat ia ingat masa lalu. Sebenarnya
salah satu cara melupakan masa lalu ialah dengan cara tidak melupakan.

Pada
suatu waktu saya mengirim pesan ke Farhan. Mungkin ini gambar yang ia tidak
ingin lihat. Tapi saya sebagai teman memang sengaja mengirim gambar itu sembari
menulis teks, ‘maaf salah kirim’. Saya tidak menyangka Farhan langsung berdiri.
Ia menghindari kawan-kawan di sekitarnya. Barangkali gambar itu membuat ingat sesuatu
yang pilu. Farhan memilih menyendiri, naik ke lantai kafe. Di atas terdengar
gerbakan meja yang begitu keras disusul dengan suara pecahan beling. Kluntang. Tak
lama kemudian terdengar teriakan keras. Sangat keras.

Saya
dan kawan-kawan hanya saling menoleh, saling menatap heran. []

 

 

Penulis

Moh.
Imron lahir pada suatu senja di penghujung tahun. Menulis buku Putri Tidur
(Kumpulan cerpen dan esai) 2018.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Moh. Imron

Lahir: Menjadi Seorang Ayah

Apacapa Daviatul Umam Esai

Mengenang Sumur, Menatap Luka yang Curam

Ali Gardy Rukmana Apacapa

Album Stilasi: Merangkai Tradisi Nusantara

Madura Puisi Madura Sastra Situbondo

Puisi Madura: Namen Loka

Apacapa Imam Sofyan

Sastra, Buku dan Tanah Air Yang Hilang

Atika Rohmawati Puisi

Puisi: Percaya

Apacapa Regita Dwi Purnama Anggrain

Penegakan Hak Asasi Manusia Untuk Seluruh Lapisan Masyarakat Indonesia

Cerpen M Ivan Aulia Rokhman

Cerpen : Kehilangan Tas di Kota Pasundan Karya M Ivan Aulia Rokhman

Cerpen Yuditeha

Cerpen: Bo

Apacapa Panakajaya Hidayatullah

Napas Nusantara Rythm dan Petualangan Musikal Ali Gardy

Mustain Romli Puisi

Puisi-puisi Mustain Romli: Pesona Kota dan Sepasang Mata

Apacapa Nur Husna

Bullying Bukan Budaya Kita

Uncategorized

Peran Mahasiswa Sebagai Guardian of Value

Apacapa Esai Wahyu Umattulloh Al

Mulailah Sadar Akan Peduli Alam

Dhafir Abdullah Puisi Syi’ir

Ikhlas Ngajhâr

Apacapa Firdaus Al Faqih

Pecandu Buku tetapi Berkantong Tipis? Tenanglah!

Puisi Wilda Zakiyah

Puisi Harjakasi Karya Wilda Zakiyah

Ahmad Radhitya Alam Cerpen

Ritual Kopi dan Mua’llaqat dan Microsoft Word dan Kiai Agus dan Menyendiri

Kakanda Redi Puisi

Puisi – Aviory

Dani Alifian Esai

Refleksi Harjakasi: Prostitusi Mesti Lenyap dari Kota Santri