
Tok… tok… bunyi pintu kamarku disengaja Mak Srini tanda permisi.
“Non, sudah ditunggu tuan di meja makan.”
“Iya, Mak.” Kusudahi riasanku, berdiri, bercermin sebentar, dan kupercepat langkah keluar segera turun menuju lantai dasar.
Sang tuan telah lebih dulu berkutik dengan peralatan makan. Bunyi sendok mengenai piring yang lirih nyaris tak terdengar, tata krama di meja makan.
Kuambil secentong nasi dan lauk pilihanku. Kusantap dengan nikmat dan sedikit tergesa-gesa, namun tetap beradab. Kupastikan selesai tepat saat sang tuan menyudahi santapannya.
“Sepulang dari ibumu, jadi ke tempat ayahmu?” selanya di tengah kunyahan terakhirku. Kujawab dengan anggukan kepala tanda mengiyakan.
Pagi ini hari Jumat bertepatan dengan primbon Legi pada kalender Jawa, hari wafat ibuku. Aku tak pernah melewatkan kunjunganku ke makam ibuku setiap bulan seperti hari ini. Sering kali lelaki paruh baya ini menemaniku, menyempatkan waktu di tengah kesibukannya sebagai pemilik hotel ternama di kawasan dataran tinggi. Beberapa perumahan elite, vila mewah, dan resor golf juga dimilikinya. Aku tak tahu pasti alasannya ikut serta denganku berkunjung ke ibu, tapi tak pernah sekalipun menawarkan diri ikut ke tempat ayah. Dalam benakku bertanya-tanya, tapi mulut ini tak pernah bersuara. Aku tak enak menanyakannya.
Tidak menentu setiap bulan aku bisa pergi ke tempat ayah. Selain karena letaknya yang lumayan jauh di bawah sana, wilayah pesisir, sedangkan aku tinggal di atas bukit, alasan lainnya ialah tak dapat izin pergi sendiri, entah Mak Srini atau Pak Seto yang tak dapat menemani. Dan hari ini kudapatkan izin untuk pergi dari keduanya.
Setelah sarapan usai, kami bergegas menuju makam ibu. Kira-kira satu jam jarak tempuhnya. Seperti biasa, kutabur bunga dan kami berdoa. Lelaki paruh baya itu kuperkenankan kupanggil Kakek. Ia langsung bertolak ke kantor setelah doa kami selesai, dijemput tangan kanannya, Pak Tito. Sedangkan aku meneruskan perjalanan ke tempat ayah, berjarak dua jam dari makam ibu.
Sengaja sedikit berlama-lama aku bersama ayah daripada saat tadi di makam ibu. Kusampaikan rinduku dan permintaan maafku karena tak sering mengunjunginya. Aku menceritakan hal-hal yang terjadi belakangan ini, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Tak lupa kuyakinkan padanya bahwa aku melanjutkan hidup dengan bahagia dan sangat baik bersama Kakek. Kali ini tidak lagi aku mengatakan akan dapat memperkenalkan Kakek pada ayah. Rasanya sudah tak mungkin. Dan batinku mulai tidak tenang. Sempat terbesit sangkaan bahwa Kakek sudah mengenal ayah dan ada sesuatu di antara mereka. Entah apa.
Hening. Tak bisa lagi ayah menanggapi semua ocehan dan pertanyaanku. Tapi aku yakin, senyuman manis di wajahnya yang tampan tak akan pernah sirna. Tersimpan selalu dalam ingatan dan menjadi penyemangatku untuk terus berusaha membanggakannya. Telapak tangannya di atas ubun-ubunku dapat kurasakan. Juga genggaman tangannya yang hangat pada tangan kecilku kala itu pun masih terasa. Kebiasaan ayah yang kukenang untuk menenangkanku dalam setiap keluh kesah dan kesedihanku. Sudah cukup aku berlarut-larut, aku undur diri setelah berdoa dan menaburkan bunga.
Aku selalu berlama-lama duduk di tepi pantai, tak jauh dari makam ayah. Pandanganku lebih terpusat pada sisi kanan, padahal deburan ombak di sebelah kiri. Gubuk biru paling dekat bibir pantai di antara gubuk-gubuk abu milik para nelayan bagiku lebih indah daripada tarian ombak yang berderu di sampingku. Memang warna gubuk itu sudah tak sebiru kala itu, mulai usang.
Aku menatap dalam gubuk itu, melihat nona kecil duduk di lincak terasnya. Pandangannya lurus pada hamparan biru, mengharapkan seseorang segera datang sambil mengayunkan kaki kecilnya. Matanya menyapu pinggiran pantai, memastikan di antara para nelayan yang mulai turun dari kapal mereka. Sesaat kemudian, si nona tersenyum kecil dan melebar sampai unjuk gigi. Suara melengking ditujukan pada lelaki gagah dengan hasil perburuan lautnya, dipanggul di pundak kanannya dan tangan kiri menyeret tuna sebesar pahanya. Langkahnya tergesa menuju si nona.
“Ayaaahhh….”
Tak ada sahutan dari teriakannya, tapi senyuman lebar balasannya. Langkah pastinya semakin mendekati gubuk biru. Tak sabar nona kecil berlari menjemput sang ayah.
“Waw, berat ya Ayah? Biar Mihu ganti menyeretnya.” Tak menunggu jawaban, tangan kecilnya langsung ganti menyeret si tuna tak kalah gagah dari ayahnya.
“Sudah, sudah, letakkan situ saja, Nak,” tunjuk sang ayah pada papan kayu samping teras.
“Nona muda, senja hampir hilang. Mari kembali,” suara lembut Mak Srini menyudahi lamunanku. Kuterima ajakannya dan langsung berdiri, berjalan menuju mobil.
“Pak Seto, ayo pulang,” aku sedikit berteriak agar tidak kalah dengan deburan ombak.
“Siap, Non.” Tangannya cepat meraih cangkir kopi, tak kalah cepat pula dengan sruputannya, lalu meletakkan kembali cangkir dan bersigap berdiri. Tak lupa anggukan kepala dan senyum pada pemilik warung tanda pamitnya.
Harap-harap cemas kutunggu deru mesin Ferrari dan suara pintu terbuka oleh gadis kesayanganku, akhirnya tiba juga. Dia tersenyum ke arahku seperti biasa sebelum naik ke kamarnya. Tanda situasi aman. Kulirik Mbok Srini yang berjalan menuju dapur; dibalasnya dengan anggukan menegaskan tidak ada hal buruk menimpa selama seharian mereka di luar. Khawatir, marah, dan menyesal selalu berkecamuk di dadaku acap kali gadisku merengek meminta izin berkunjung ke ayahnya. Takut hal yang selama ini tak seharusnya dia tahu terkuak begitu saja.
Dua puluh tahun yang lalu putri manisku pergi untuk selamanya, meninggalkanku sendirian tanpa ucapan sayang yang tak sempat kukatakan. Kepergiannya mendadak beberapa hari setelah kudengar dia melahirkan. Aku yakin itu karena si pelaut tak sanggup membawa putriku ke rumah sakit bersalin, alih-alih ke dukun beranak kampung biasa. Tak ada penanganan khusus. Berulang kali aku melarangnya, tapi dia tetap memilih si pelaut itu dan hidup sengsara di bawah gubuk tepi pantai. Hidup jauh dariku. Andai aku mengalah dan meredam amarah kala itu, pasti dia masih berada di sisiku.
Susah payah aku meminta bayi kecil itu untuk hidup layak bersamaku sepeninggal ibunya. Si pelaut itu tetap mendekap anaknya, tak mau memberinya kepadaku. Aku tak bisa memaksa, takut si bayi terluka.
“Bagaimana kau melaut sedangkan kau merawat bayi sendirian?” tanyaku menohok pada si pelaut.
“Bagaimana kau memberinya makan? Menjamin kesehatannya?” lanjutku.
“Saya akan menitipkannya pada tetangga dan mengambilnya kembali sepulang berlayar dan menjual hasil tangkapan,” jawabnya memastikan.
“Tolong, jangan pisahkan saya dan anak saya. Saya pasti merawat dan menjaganya. Cinta saya besar terhadapnya sebesar cinta saya pada anak Bapak,” lanjutnya bersimpuh di hadapanku.
“Anakku tiada karena hidup tak layak denganmu. Aku tidak mau kehilangan cucuku karena ketidaksanggupanmu,” bentakku, tak terima mengingat putriku yang telah tiada.
Aku kalah. Benar-benar tak bisa memaksa membawa si bayi pulang. Tapi aku tetap meminta janjinya merawat dan membesarkan cucuku dengan baik dan persetujuannya mengirim Mbok Srini setiap hari ke gubuknya. Menjaga dan merawat cucuku, memastikan tak ada yang kurang ketika dia pergi melaut. Selama lima tahun kupastikan dia aman dan tumbuh menjadi gadis ceria yang pintar di bawah asuhan Mbok Srini dan ayahnya sendiri. Sampai akhirnya aku tak tahan. Kurenggut nyawa si pelaut itu dengan tangan seorang suruhan yang menusuk jantungnya, senja hari ketika kakinya baru saja menapak daratan.
Kuhampiri nona kecil yang menangis tak henti di tengah para pelayat.
“Sekarang, cantik ikut kakek, ya. Tinggal bersama kakek,” ajakku sambil membungkuk menyamai tingginya.
“Aku sama Mbok Srini saja,” jawabnya di sela sesenggukan tangisnya.
“Mbok Srini akan selalu bersama Nona Muda. Mbok Srini juga akan tinggal bersama Non di rumah tuan ini,” bujuk Mbok Srini meyakinkan.
Begitulah aku mendekap cucuku seutuhnya. Mihu Diandra. Walaupun tanpa nama belakang keluargaku yang tak bisa kuberikan padanya. Kubesarkan dia tanpa mengungkapkan jati dirinya. Biarlah yang dia tahu, aku adalah pahlawan hidupnya. Kujadikan dia Nona Muda di rumah ini menggantikan putriku tersayang, pewaris tunggalku. Aku takut jika nama itu kuberikan dan kukatakan yang sebenarnya padanya, itu akan membuka pertanyaannya tentang mengapa aku tak pernah ikut dengannya ke makam ayahnya, menantuku. Dan itu akan menjadi benang merah yang dapat mengungkap kebenaran. Pasti dia akan meninggalkanku, dan aku akan kehilangannya lagi. Aku tak akan sanggup. Hingga kini dia masih menganggap ayahnya pergi karena badai laut merenggutnya.
Tinggalkan Balasan