Cerpen: Sebuah Kisah Patah Hati yang Kelak Tertulis dalam Headline Berita

Oleh:
Raisa Izzhaty

Tahun-tahun
berlalu. Tapi aku merasa semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Kemarau tiba- tiba
hujan, siang tiba-tiba malam, basah tiba-tiba kering. Lalu kekasihmu, tiba-tiba
menjadi istrimu. Barangkali aku hidup terlalu lama dalam sebuah ruang yang
kedap waktu. Atau, merujuk istilah yang dikemukakan Bhre, sahabatku, ruang itu bernama
masa lalu.

Aku
tertawa mendengarnya, sekaligus sebal dan merasa payah. Cukup payah untuk
menyadari bahwa aku tumbuh dan menua. Ingatan-ingatan itu seperti terdiam dan
jalan di tempat. Diam di kursi bioskop tempat pertama kali kau mencium
tanganku. Diam di gang kecil samping sekolah tempat kita diam diam mencuri
waktu bertemu. Diam di teras depan rumah tempat undangan pernikahanmu kau
sampaikan tanpa rasa bersalah.

“Dia
memang brengsek,” Bhre mencoba menyadarkan diriku dari lamunan-lamunan tentang
kisah romansa kita dahulu.

Entah
mengapa aku merasa ‘brengsek’ terlalu jahat untuk disematkan padamu. Sebab pada
dasarnya aku yang jahat, aku yang cukup brengsek karena berkali kali menolak
beranjak dari romansa-romansa itu.

“Aku
merasa aku seperti penguntit,” kataku suatu waktu pada Bhre.

“Kenapa?”

“Setiap
hari aku mencari tahu tentangnya. Meski dia sudah berkali kali bilang, kami
sudah bukan sepasang kekasih lagi,”

Bhre
tertegun, mungkin sedikit setuju dengan pernyataanku.

Sesungguhnya,
aku memang seperti penguntit. Aku sering mengirimimu pesan-pesan yang meski tak
pernah terbalas, tetap kulakukan dengan konsisten, di waktu yang sama. Serta,
dengan sengaja aku kerap mengirim paket berisi makanan-makanan kesukaanmu,
meski hampir selalu tertulis ‘ditolak oleh penerima’ pada laporan
pengirimannya.

Anehnya,
aku sama sekali tidak merasa sebal. Tidak merasa sedih. Biasa saja. Namun,
ketika aku tidak melakukannya, aku merasa hampa, uring-uringan, dan tekanan
darahku naik.

Seperti
hari ini, hari peringatan satu tahun pernikahanmu, ya, aku mengingatnya,
tanganku seperti gatal ingin mengirimimu pesan.

Aku
mengetik dengan tergesa, seperti diburu sesuatu.

“Apakah
kamu berbahagia? Bukankah kita berjanji akan berbahagia bersama? Jika aku tidak
berbahagia, maka kau pun,” ketikku.

Mungkin
terdengar seperti ancaman. Tidak, tidak. Aku tidak pernah ingin membuatmu tidak
bahagia. Aku merasa kalimat itu mampu menggambarkan perasaanku padamu dengan
gamblang.

Perasaan
ingin memilikimu yang sangat.

Meski
aku ditinggalkan.

Meski
kau meninggalkan.

Setahun
lalu, aku memberanikan diri datang ke pesta pernikahanmu. Pesta yang cukup
meriah dengan vendor-vendor pernikahan yang dulu pernah kita berdua impikan.
Barangkali begini suasana pernikahan kita jika itu terjadi. Namun aku tidak
suka dengan gaun pengantin wanita. Aku tidak suka warna putih. Rasanya terlalu
suci, tidak manusiawi. Bukankah manusia tidak sesuci itu? Bukankah manusia
terdiri atas dosa dosa, yang terlihat ataupun mencoba disembunyikan? Jika aku
yang di sana, aku akan memilih warna hitam atau merah. Rasanya lebih indah.
Apalagi dipadu dengan bunga-bunga cantik yang kupilih dan kurangkai sendiri.

Untuk
itu aku datang dengan gaun pengantin warna hitam.

Bhre
bilang aku gila. Tidak. Aku hanya ingin menunjukkan pada kekasihmu bagaimana
caranya berdampingan denganmu dengan cantik.

Terbukti
kedatanganku mengundang perhatian banyak orang.

Kekasihmu
mematung dan merasa terintimidasi. Aku hanya datang dan minum segelas es
Manado. Melewati pelaminanmu dan dari jauh berbisik, “Aku menunggumu,”

Terbukti
hingga hari ini, kata kataku mampu aku tepati.
 

Aku
mengetahui keberadanmu lewat unggahan-unggahan istrimu di media sosial.
Termasuk malam ini, kau menghabiskan perayaan satu tahun pernikahanmu dengannya
di sebuah rumah makan mewah. Fine dining. Aku tertawa membacanya.
Tidakkah ia tahu bahwa kau tak bisa minum wine? Kau lebih suka starbuck.
Asian Dolce Latte
ukuran grande dengan less ice.

Untuk
itu aku berada di resto yang sama denganmu, membawa minuman kesukaanmu. Menjadi
penyelamatmu dari hal-hal yang tidak kau sukai.

Aku
menemukanmu, dalam balutan setelan jas berwarna abu-abu. Rambutmu tetap seperti
itu. Disisir klimis ke belakang. Ada rambut-rambut tipis meliputi rahangmu yang
kuat. Istrimu di situ. Terdiam kaget melihatku memegang segelas strabucks.

Namun
aku menemukan dua gelas wine di situ. Hampir diteguk habis.

Saat
itu aku merasa kau menjelma sesuatu yang lain. Yang tak lagi kukenali. Dan
kotak itu, kotak bernama masa lalu itu, perlahan lahan menghilang.

***

 


TENTANG PENULIS

Raisa Izzhaty, seorang ibu rumah tangga,
penulis lepas, dan penikmat waktu senggang, Dapat ditemui di @raisaizzhaty
.

Penulis


Comments

Satu tanggapan untuk “Cerpen: Sebuah Kisah Patah Hati yang Kelak Tertulis dalam Headline Berita”

  1. Avatar Anonim

    Bagus sekali

Tinggalkan Balasan ke Anonim Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Esai Tjahjono Widarmanto

Menghikmati Sejarah

Apacapa Imam Sofyan

Rajekwesi Suatu Magrib

Nuriman N. Bayan Puisi

Puisi : Kepada Perempuan Karya Nuriman N. Bayan

AF. Qomarudin Puisi

Secangkir Kopi dan Puisi Lainnya Karya AF. Qomarudin

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Igauan yang Mungkin Puisi atau Semacam Puisi

Cerpen Haryo Pamungkas

Cerpen: Sebuah Cerita di Hari Pernikahanmu

Curhat Moh. Imron

Ramadan: Tangisan pada Suatu Malam

Apacapa Thaifur Rahman Al-Mujahidi

Regiulisitas-fundamental dari Kaum Milenial untuk Indonesia

Cerpen Yudik Wergiyanto

Sepasang Kekasih yang Berpisah Karena Hujan

Dani Alifian Puisi

Puisi: Tamadun Semu

Ahmad Zaidi Apacapa

Kepala Dusun Langai yang Peduli

Advertorial Tips/Trik

Jaga Kesehatan Tubuh dengan Mencegah Penyakit Sistem Pencernaan

Apacapa apokpak N. Fata

Ketika Elit Oligarki Berkuasa, Kemerdekaan Bukan Lagi Milik Kita

Mahadir Mohammed Puisi

Puisi: Puing Hampa

Apacapa covid 19 Marlutfi Yoandinas

Di Tengah Pandemi Kita Bisa Apa?

Moh. Imron Puisi

Langai; Selimut Duri

Apacapa Marlutfi Yoandinas

“CACAT” DI UU CIPTA KERJA

Buku Sutrisno Ulas

Kekerasan Budaya Pasca 1965

Cahaya Fadillah Puisi

Puisi-puisi Cahaya Fadillah: Setelah Engkau Pergi

Buku Putri Oktaviani Resensi Ulas

Resensi: The Murder At Shijinso