Cerpen : Sepotong Kue Kekuasaan

Oleh:
Agus Hiplunudin
Dari
catatan kuno yang berhasil kutemukan, tercatat di sana; pernah berdiri sebuah
neg
eri.
Namun, catatatan usang tersebut tidak menyebutkan nama neg
erinya. Tetapi,
aku dapat mengilustrasikan tipologi para warga dan para penguasanya; penduduk
negri itu memiliki kebiasaan yang unik—yakni suka ikut-ikutan atau gemar
mengikuti trend,  kuambil misal, bila neg
eri sebelah
memiliki budaya pop boy band dan girl band maka seluruh penduduk neg
eri tersebut
berbon
dong-bondong
menggemari hingga membentuk boy band
dan girl b
and sebagaimana negeri sebelah.
Begitu pula dengan para penguasanya, sama halnya dengan para rakyatnya— mereka
pun suka ikut-ikutan; bila negeri sebelah memakai sistem kenegaraan demokrasi
liberal, makan sistem pemerintahan negeri itu pun berubah, dari fasisme menjadi
demokrasi liberal, sebagaimana negeri sebelah.
Demikianlah
sekilas gambarannya, dan demi kepentingan imajiner, alangkah baiknya kunamai
saja negeri tersebut, dengan nama; Negeri Bebek—sebab penduduk dan penguasanya
suka ikut-ikutan—membebek.

Belum
pernah terjadi sebelumnya, perkara sepotong kue begitu menggemparkan, ini
bermula dari komentar Syekh Abdullah terhadap sepotong kue yang tiba-tiba
berada dalam istana. “Sungguh tak masuk akal. Pastinya sepotong kue itu,
bukanlah kue sembarangan,” komentar Syekh Abdullah di hadapan para j
amaahnya. “Coba
kalian bayangkan, tiba-tiba kue itu berada saja di meja makan Baginda Presiden,
sedangkan para juru masak istana, tidak seorang pun yang mengaku telah membuat
kue tersebut. Dan aku sarankan pada Baginda Presiden tuk tidak memakannya—nanti
harus melakukan kajian mendalam terhadap kue misterius tersebu—untuk sementara
kue itu kuberi nama; Sepotong Kue Kekuasaan,” ujar Syekh Abdullah, semenjak
itulah baik para penguasa maupun para warga menyebutnya kue sepotong kue
kekuasaan, dasar negeri Bebek.
Atas
komentar Syekh Abdullah—terhadap Sepotong Kue Kekusaan, terjadilah polemik
dalam masyarakat, masyarakat pun terpecah menjadi dua golongan—golongan pertama
mendukung pernyataan Syekh Abdullah, menganjurkan pada Baginda Presiden tuk
tidak terburu-buru memakan Sepotong Kue Kekusaan itu.
Sedangkan
golongan kedua; menganjurkan pada Baginda Presiden tuk segera Memakan Sepotong
Kue Kekusaan itu. Karena gunjang-ganjing dalam masyarakat kian
meruncing—Baginda Presiden pun resah, dan akhirnya beliau memanggil Syekh
Abdullah ke istana, berikut para cendikiawan, para penasehat, dan segenap
menteri kabinet tuk membahas perkara; Sepotong Kue Kekuasaan.
 Tampak Baginda Presiden duduk di kursi gading
emasnya, kemudian ia berujar membuka rapat, setelah menyampaikan sepatah dua
kata, Baginda Presiden menyilahkan Syekh Abdullah tuk membuka pembahasan
mengenai Sepotong Kue Kekusaan yang kini menuai pro dan kontra dalam
masyarakat.
“Sungguh
aneh, sepotong kue tiba-tiba berada di meja makan Baginda—saran hamba; Baginda
jangan lekas memakan kue tersebut,” suara Syekh Abdullah, begitu halus dan
merdu.
“Kenapa?”
tanya Baginda.
“Hamba
kuatir. Sepotong Kue Kekuasaan itu,” tukas Syekh Abdullah, seraya menghentikan
pembicaraannya dan melirik Sepotong Kue Kekuasaan yang teronggok di meja
Baginda Presiden, selanjutnya Syekh Abdullah melanjutkan kata-katanya; “Hamba
kuatir, kue itu berbuah petaka. Coba perhatikan secara seksama—kue itu nampak
lezatnya, siapa saja yang melihatnya, pasti akan tergiur tuk melahapnya, dan
hamba yakin Baginda sendiri, secara naluriah sudah tak sabar tuk memakannya.
Dalam hal ini, hamba hanya mampu memberi saran—Baginda jangan terburu nafsu,
lakukanlah penelaahan secara mendalam terhadap kue itu,” ujar Syekh Abdullah.
Mendengar
penjelasan dari Syekh Abdullah, Baginda Presiden manggut-manggut seperti
mengerti. Namun, sesungguhnya hati dan pikirannya tengah dilanda bingung tiada
berketepian.
“Menurut
hamba, Baginda,” salah-seorang penasehat istana berkomentar. “Silahkan,” tukas
Baginda. “Sepotong Kue Kekuasaan itu, telah dianugerahkan Tuhan pada Baginda,
saran hamba—lekaslah makan, barangkali kue itu, akan menjadikan Baginda hidup
abadi sepanjang masa, dan kue itu, dapat melanggengkan kekuasaan Baginda,”
tutur penasehat itu.
Mendengar
buah pikiran penasehatnya. Baginda Presiden tercenung, dalam hatinya;
barangkali benar apa yang dikatakan penasehatnya, dan bila benar demikian,
sungguh anug
erah yang
amat didambakannya—hidup abadi dan berkuasa sepanjang zaman—sungguh impian yang
membahagiakan. Tanpa disadarinya, Baginda Presiden senyum-senyum sendiri,
terbuai sebuah mimpi, menjadi penguasa abadi.
“Mohon
izin berpendapat Baginda, Syekh Marawis mengacungkan tangan, karena
kepandaiannya dan kedalaman ilmunya, beliau diangkat sebagai menteri pendidikan
oleh Baginda Presiden, kendati pada kenyataannya; Syekh Marawis membuat
kurikulum pendidikan, membebek pada kurikulum menteri-menteri pendidikan yang
lalu-lalu, dan tetap saja rakyat Negeri Bebek, menjadi rakyat yang dijejali
pendidikan yang mengajarkan tuk membebek. Sesungguhnya Syekh Abdullah pun
ditawari jabatan ment
eri komunikasi dan informasi oleh Baginda Presiden.
Namun, Syekh Abdullah menolaknya, dengan alasan, ia takut tak amanah dalam
menjalankan tugasnya, hingga kekuasaan yang sejatinya mendekatkan diri pada
surga, salah-salah kekuasaan akan menyeretnya ke dalam api neraka. Baginda
Presiden pun tak bisa memaksa—sebab terlanjur menganut sistem demokrasi liberal—yang
katanya menjunjung tinggi kebebasan.
Setelah
mengambil napas sejenak Syekh Marawis melanjutkan kata-katanya; “Baginda,
pendapat hamba terhadap Sepotong Kue Kekuasaan. Hamba sepakat dengan
pendapatnya tuan Syekh Abdullah—yang menyarankan pada Baginda tuk tidak
terburu-buru menikmati kue tersebut. Hamba juga sepakat dengan tuan Penasehat
Istana—yang mengatakan bahwa kue itu, sesungguhnya diperuntukan Tuhan pada
Baginda, karenya; Baginda berhak memutihkan atau pun menghitamkan kue tersebut.
Saran hamba; lakukanlah pengkajian secara mendalam terhadap kue itu. Namun,
tetap keputusan ada ditangan Baginda Presiden,” ujar sang menteri pendidikan,
dengan nada suara yang lembut, mendayu-dayu, berirama.
Seiring
waktu yang terus bergulir, rapat pun ditutup, dan Baginda Presiden memutuskan
akan mengkaji secara mendalam terhadap Sepotong Kue Kekuasaan tersebut; baik
dari persepektif kandungan gizi maupun filosofi, sebab tak tertutup kemungkinan
sepotong kue itu, disusupkan oleh seorang pemberontak, dengan tujuan membunuh
Baginda Presiden, atas pertimbangan itulah, Baginda Presidan pun, urung tuk
menikmati kue, padahal ia sungguh tak sabar ingin segera menikmatinya.
ΩΩΩ
Demi
sepotong kue kekuasaan, uang pun digelontorkan amat banyaknya, untuk pengkajian
secara mendalam terhadap kue itu, seakan Baginda Presiden tak lagi peduli pada
negerinya sendiri yang tengah dilanda krisis, dan rakyat dalam keadaan banyak
yang kelaparan.
Dua
bulan berselang—setelah rapat itu. setelah pengkajian mendalam, diambilah
simpulan; bahwa Sepotong Kue Kekuasaan merupakan hak mutlak Baginda Presiden,
adapun kandungannya amat kaya gizi, dan pastinya lezat rasanya tiada duanya.
Atas
simpulan itu; Baginda Presiden membuat keputusan, beliau membagi-bagikan
Sepotong Kue Kekuasaan pada segenap kroco-kroconya—kroni-kroninya.
“Baginda
Presiden, sungguh tak bisa bertindak adil,” tutur Syekh Abdullah pada
perkumpulan-perkumpulan masyarakat. “Coba kalian bayangkan, ditengah negeri
kita sedang dilanda krisis, terjadi inflasi—nilai mata uang kita melemah dari
nilai mata uang Negeri Atas Angin, para karyawan dipecat dari tempatnya
bekerja, rakyat kian kelaparan. Eh, Baginda Presiden malah asyik-asyikan dengan
kroni-kroninya menikmati Sepotong Kue Kekuasaan,” ujar Syekh Abdullah, diamini
segenap penduduk Negeri Bebek.
Sontak
serentak, para warga Negri Bebek pun melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan
Baginda Presiden, yang menurut mereka telah bertindak semena-mena dan tidak
adil—mengunyah sepotong kue kekuasaan ditengah negeri dilanda krisis dan rakyat
tidak sejahtera. Terjadilah sebuah revolusi berdarah. Neg
eri Bebek hancur
porak poranda. Dan setelah kejadian itu, berabad-abad selanjutnya, Negri Bebek
pupus dari peta dunia, dan para sejarawan, mengenal Negri Bebek, sebagai neg
eri antah-berantah.
Selesai
Rangkasbitung,
Banten, 27 Maret 2019
BIODATA PENULIS

Agus Hiplunudin adalah sastrawan sekaligus
akademisi; kumpulan puisi terbarunya berjudul ‘Nya’ dipublikasikan oleh
Spektrum Nusantara pada 2019.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Buku Junaedi Resensi Ulas

Merekonstruksi Ulang Ketidakadilan Spasial dan Politik Kewargaan Desa

Apacapa Dwi Mustika

Mengangkat Adat Istiadat Nenek Moyang: Keunikan Jogo Tonggo di Temanggung

BJ. Akid Puisi

Puisi: Amsal Luka

Apacapa Nanik Puji Astutik

Menjadi Perempuan Cerdas di Era Milenial

Apacapa apokpak fulitik N. Fata Politik

Melawan Pandemi dengan Sains, Bukan Arogansi Aparat dan Mati Lampu

Cerpen Rahman Kamal

Cerpen : Bunga Mawar Merah Berduri

Muhammad Lutfi 2 Puisi Puisi Anak

Puisi Anak Karya Muhammad Lutfi

Muhammad Husni Puisi Tribute Sapardi

Puisi: Payung Hitam 13 Tahun

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Parabân Nyangsang

Cerpen Rahman Kamal

Cerpen : Tukang Sarang

Adithia Syahbana Puisi

Lugina dan Sajak-Sajak Lainnya Karya Adithia Syahbana

Apacapa Moh. Imron

Analisis dan Lirik Lagu Kala Benyak: Waktu yang Tepat untuk Bersedih

Alexong Cerpen Robbyan Abel Ramdhon

Cerpen: Penghiburan Kosong

Puisi Syafri Arifuddin Masser

Puisi: “Status 1: Apa yang Anda Pikirkan?”

Apacapa Syaif Zhibond

Tentang Kegagalan Usaha dan Keberanian Memulai Lagi

Apacapa Iip Supriatna

Keharmonisan yang Menghilang di 2019

Apacapa Kampung Langai Mei Artanto

Festival Kampung Langai: Mengabdi pada Masyarakat atau Artistik

Cerpen Nanda Insadani

Cerpen : Ganti Bapak Karya Nanda Insadani

Apacapa Dicky Bagus Pratama Muhammad Yoga Pratama Nadine Churnia Putri Reza Nalendra

Sasaeng: Sisi Gelap Dunia K-Pop

Apacapa Feminis Raisa Izzhaty

Body Shaming: Pelecehan, Bukan Lelucon