Oleh
: Nur Faiza
h
Pagi
itu, aku diajak mbakku jalan – jalan ke wisata yang terletak di Desa Bantal Kecamatan
Asembagus, Gunung panc
eng namanya. Waktu itu aku hampir
lupa, karena kami berencana jalan – jalan ke gunung panc
eng itu sudah
beberapa hari yang lalu. Awalnya aku merasa mbak itu bergurau saja, makanya aku
tidak terlalu memikirkan kapan akan berkunjung kesana. Untung saja bajuku sudah
di cuci semua, kalau tidak, aku bisa gak ikut karena harus menyelesaikan tugas
rumah mencuci pakaian.
Sebelum
aku berangkat ke tempat tujuan, jarum penanda bahan bakar berada tepat di huruf
‘E’, kata kakak, itu artinya bensin mulai menipis. Mbak berhenti di Pom
Sukorejo untuk mengisi bensin. Mulanya kami mau berhenti di tempat pengisian
bensin premium, tapi karena yang antre cukup banyak, terpaksa kami mendekat ke
pengisian bensin Pertalite, harganya lebih mahal sedikit daripada premium.
Setelah mengisi bensin kami melanjutkan perjalanan melewati jalan yang rusak,
aspalnya berlubang. Sesekali ban motor jatuh ke lubang yang mengakibatkan tubuh
tersentak. Sebelumnya aku belum pernah ke Gunung Panc
eng, begitu juga
mbakku. Kami sempat kebingungan dan hampir saja tersesat menuju ke gunung panc
eng, untung saja
ada ancer-ancernya. Adik perempuanku sebenarnya dulu sudah pernah datang kesana
bersama teman-temennya, tapi katanya lupa jalan. Soalnya hanya satu kali saja
berkunjung ke Gunung Panceng.
Perjalanan
ke Gunung Panceng cukup lama, jauh sekali dan cuaca saat itu sangatlah panas.
Setelah melewati jalan yang rusak, angin yang kencang, panas yang menyengat dan
awan yang tak bersahabat, akhirnya kami pun sampai ditempat tujuan. Kami pun
bergegas menuju pintu masuk dengan keadaan tidak sabar ingin melihat apa sih
yang namanya Gunung Panc
eng itu dan  bagaimana rupanya. Rasa penasaran kami semakin
menjadi-jadi saat melihat pemandangan alam yang sangat menarik dari luar
gerbang. Setelah melewati gerbang, Kami bersantai di sebuah Gazebo tepat di
atas bukit tempat pengunjung bermain Panah. Kata mbakku, cuaca panas enaknya
ruja
kan.
Tanpa malu dengan pengunjung lain, kami makan rujak. Mbakku membuat Palappa, adik mengupas mangga,
kedongdong dan pepaya, sementara aku mencicipi Palappa yang dibuat oleh mbak. Pedas sungguh pedas. Mangga,
kedongdong dan pepaya habis. Kami merasa sangat puas ruja
kan di gunung panceng sambil
menikmati panasnya sengatan matahari.
Habis
itu maka kami langsung ke sesi berikutnya, berfoto, suatu tradisi yang lumrah
dilakukan saat kami berkunjung ke tempat wisata. Kami berfoto bersama dulu,
setelah itu aku berselfie pake
k gaya muka jelek.
Adikku yang penikmat kamera, tidak ketinggalan ber
swafoto pakek gaya manja.
Kadang mulut dimonyongin. Awalnya kami mengira semua tempat foto itu gratis, eh
ternyata tidak semuanya gratis. Ada beberapa lokasi berfoto yang juga bayar.
Karena harus berbayar, yah kami terpaksa bayar, padahal uang saku dari ibu
tipis banget guys. Tapi tidak apa-apalah demi mengabadikan pemandangan indah Gunung
Panceng.
Terdapat
beberapa spot foto yang unik dan menarik, diantaranya
; sarang burung, ayunan gantung dan ada
lagi spot lain yang tidak kalah menariknya, tidak tahu apa nama tempat itu. Aku
berfoto menggunakan topi bulu-bulu atau topi kayak punya orang papua, mirip
gambar depan rokok Apache. Kalau memakai topi ini harus bayar juga. Pokoknya di
sana serba bayar
deh tapi dijamin puas dan sangat menyenangkan. Kalau ada kesempatan, aku akan
kesana lagi mengajak semua keluarga. Kalau boleh mau pinjam mobilnya kakak.
Yang penting kakak bisa melewati jalannya, soalnya rusak dan agak sempit.
Semoga saja kakak dan keluarga yang lain mau aku ajak berwisata ke Gunung
Panceng.
Matahari
sudah mulai meninggi pas di atas kepalaku, panasnya membakar kulit, kami duduk
bersantai karena capek habis foto-foto, tidak terasa suara azan sudah berkumandang
menandakan bahwa waktu Zuhur sudah tiba. Karena sudah puas jalan-jalannya,
adikku yang paling bungsu mengajak kami semua untuk bertolak ke dari Gunung
Panc
eng.
Dia sudah merasa lelah, ingin segera merebahkan tubuhnya di
rumah. Adik
perempuanku juga demikian, dia tidak sabar ingin segera pulang. Bat
erai hapenya sudah
mulai menipis. Ditambah lagi sengatan matahari sangat tidak bersahabat. Akhirnya
kami sepakat untuk balik kanan, pulang dengan membawa kenangan foto-foto
keindahan alam yang ada di Gunung Panceng.
Ditengah
perjalan pulang, mbak memberhentikanku, ia memberi tahu bahwa sepeda motor yang
aku kendarai rodanya sedikit gewar
(Goyang), mungkin karena kelebihan muatan. Kami bertukar Sepeda. Kami pulang
tidak melewati jalan yang pertama kali lewat, melainkan lewat jalan tikus alias
jalan pintas. Kami pulang dengan keadaan gerah dan sangat capek karena perjalanan
jauh sekali. sesampainya dirumah, aku langsung mem-posting hasil aku foto di Gunung Panceng. Kami bahagia bisa mengetahui
apa itu wisata Gunung Panc
eng, walau ada sedikit rasa capek
yang membuat kami lemes. Kami bahagia. Dipostingan itu, aku menceritakan
seperti apa Gunung Panceng, bagaimana cara untuk sampai kesana dan apa saja
yang harus dipersiapkan biar tidak kecewa saat berada di
sana. Saranku,
pada teman-teman yang akan berkunjung ke Gunung Panceng, jangan lupa bawa
kamera yang bagus, dan jangan lupa, pastikan bat
erai hape full,
biar tidak kecewa. Okeee.
BIODATA PENULIS
Nur
Faiza
h siswi
kelas XI Madrasah Aliyah Nurul Jadid Sumberwaru Kec. Banyuputih.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Nanik Puji Astutik

Aku Bukan Pejuang Love Cyber

Film/Series Hendri Krisdiyanto Ulas

Review Film: Si Bongkok

Penerbit

Buku: Negeri Keabadian

M. Kholilur Rohman Resensi

Resensi: Anjing Mengeong, Kucing Menggonggong

Apacapa

Nonton Film di Bioskop Lama Situbondo

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Heterogenitas Rasa dan Memandukan Cerita Romance

Apacapa

11 Rekomendasi dalam Kegiatan Temu Inklusi ke 5

Kriselda Dwi Ghisela Resensi

Resensi Ronggeng Dukuh Paruk

Apacapa Kampung Langai Situbondo Wilda Zakiyah

Festival Kampung Langai 6: Pertemuan dengan Sosok yang Lain

Uncategorized

Resume Buku Amba Kisah Dibalik Perang Besar Baratayudha

Anjrah Lelono Broto Apacapa Esai

Kabar Kematian Kawan Seniman; In Memoriam Cak Bakir

Cerpen Rahman Kamal

Cerpen : Tukang Sarang

Nur Akidahtul Jhannah Penerbit

Buku Warna Keraguan

Apacapa Novi Dina

AMDAL dalam Sebuah Percakapan

Fathur Rahman Prosa Mini

Menanti Sebuah Tulisan

Apacapa Nanik Puji Astutik

Mencari Teman Hidup

BJ. Akid Puisi

Puisi : Tanah Luka Karya BJ. Akid

Apacapa Opini

Bagaimana Jika Situbondo Menjadi Kota yang Ramah Bahasa Indonesia?

Apacapa Nafisah Misgiarti

Ali Gardy, Jefri Bagus, dan Kritik Sosial dalam Karyanya

Apacapa Cerbung Moh. Imron

Cerbung: Farhan dan Perjalanan ke Barat (Part 1)