HUT RI dan Kesadaran Anak Kelas 5 SD

annur.net
Oleh: Mohammad Farhan*
“Dik,
kenapa kamu ikut gerak jalan?” tanya saya penasaran.
“Biar
pahlawan senang,” jawabnya. Singkat.
Fajar,
adik saya satu-satunya tampaknya tidak mau ambil pusing dengan pertanyaan saya.
Dia menjawab sekenanya. Lalu melanjutkan main gawai. Saya lihat, dia ngotak-ngatik  aplikasi kine master. Dia mengedit foto
keikutsertaannya pada acara lomba gerak jalan, kemarin. Kumpulan foto bersama
teman dan gurunya itu dia urut bersambung lalu diberi latar backsound  lagu nasional, tanah air.
Saya
senyum-senyum sendiri di belakang dia yang khusuk mengedit. Saya tahu dia
sedang merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-74 Republik Indonesia dengan caranya
sendiri. Tapi, saya ragu apakah dia benar-benar paham kaitan lagu dengan foto
acara gerak jalan itu. Yang jelas, yang saya paham dia sangat senang dengan
pengalaman pertamanya ikut gerak jalan. Maklum, tahun lalu saya larang dia ikut
dengan alasan yang klise: kamu terlalu kurus, Dik. Hehe..
Orang-orang,
termasuk saya sering kali memang suka melakukan hal-hal yang klise, yang sudah-sudah.
Misalnya, saat Agustus. Kita terbiasa merayakan HUT RI dengan kegiatan-kegiatan
yang sudah berlangsung bertahun-tahun . Coba apa yang bisa kita lakukan selain
lomba: gerak jalan, panjat pinang, makan kerupuk? Ayo sebutkan lagi. Balap
karung, balap kelereng, tarik tambang, memasukkan paku ke dalam botol, dan…
Sudah cukup. Cukup. Anda tidak sedang wiridan.
Praktis
tidak banyak berubah. Acara-acara itu diulang dan diulang lagi hingga menjadi
tradisi agustusan yang wajib ada setiap tahunnya. Itu sebuah konsistensi yang
baik. Sekaligus sebuah edukasi yang disampaikan dengan cara yang menarik: latihan
kekompakan melalui gerak jalan dan panjat pinang, latihan kekuatan melalui balap
karung dan tarik tambang, dan latiahan sabar melalui lomba makan kerupuk dan memasukkan
paku dalam botol, serta, mencoba berbahagia dengan menyaksikan itu semua.
Saya
tidak bisa membayangkan apa jadinya Agustus tanpa lomba-lomba. Hari-hari sepanjang
bulan ke-8 itu tentu akan sangat membosankan: kerja, kerja, kerja. Sampai lupa
bercinta. Loh, bercinta itu butuh uang dan uang didapat dari kerja. Betul. Maksud
saya, bukankah perlombaan itu representasi bahwa manusia masih punya cinta? Bukankah
itu bagian dari usaha manusia mencintai kodratnya? yakni mencintai sesama, mencintai
keberagaman, dan mencintai kemanusiaan.
Kesadaran
akan pentingnya cinta seringkali hilang dalam beberapa momen perayaan HUT RI.
Misalnya dalam pidato kenegaraan. Pidato yang biasanya disampaikan oleh
presiden sehari sebelum pelaksanaan upacara bendera itu seringkali memuat
sedikit cinta. Loh, iya ta?
Pada
pidato kenegaraan tanggal 16 Agustus 2018, Presiden Jokowi berjanji akan terus
mendukung upaya KPK untuk memberantas korupsi. Sebagai langkah penguatan, Jokowi
mengeluarkan peraturan presiden (perpres) Nomor 54 tahun 2018 untuk mencegah
tindak korupsi. Bagus, kan?  
Iya,
tapi apa kabar Novel Baswedan? Mana cintanya presiden untuk Novel? Bagaimana
masyarakat bisa yakin bahwa pemerintah serius ingin memberantas korupsi sedangkan
kasus yang menimpa penegaknya tidak tuntas, bahkan terbengkalai. Kan sama halnya
kamu bilang cinta-cinta pada seseorang tapi tak kunjung kamu lamar dan
disahkan. Cintamu palsu.
Yang
terbaru, pidato kenegaraan presiden tanggal 16 Agustus 2019 kemarin. Jokowi
kembali menyampaikan janjinya yang manis. Mengutip berita di detik.com, pidato Jokowi memuat beberapa
kejutan. Salah satu yang paling membuat terkejut adalah rencana pemindahan ibu
kota. Di depan anggota MPR, DPR, dan DPD, Jokowi mohon ijin untuk memindahkan
ibu kota negara ke Pulau Kalimantan.
Rencana
itu oleh beberapa pengamat dibilang langkah tepat. Langkah itu dinilai dapat
menjadi solusi atas beberapa permasalahan ibu kota saat ini. Misalnya kemacetan.
Namun, saya meragukan cintanya Jokowi sekali lagi. Lebih-lebih saya merasa
takut. Khawatir. Terutama soal pembebasan lahannya.
Saya
teringat proses pembebasan lahan di Kulon Progo. Rencana pembangunan bandara
New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) menimbulkan gesekan yang panas
antara pemerintah dan warga setempat. Warga menolak rumahnya digusur. Tetapi,
pemerintah melalui aparatnya: Satpol PP, polisi dan militer tetap memaksa warga
mengosongkan rumahnya. Bahkan, aparat sampai memakai senjata laras panjang, gas
air mata dan stik pemukul untuk melawan warga.
Bagaimana
kalau itu terulang di Kalimantan? Saya bukan suudzon. Tapi, bukankah karakteristik sebuah rezim mirip-mirip? Dan
sudah kelihatan? Lantas, bagaiamana mungkin cinta itu muncul kalau kamu hanya
bisa marah-marah dan kasar. Bukannya mencintai itu nyenengin pacar, malah
disakitin. Syedih deh.  
Kalau
sudah begitu, saya jadi teringat jawaban adik saya. Barangkali dia mengerti
bahwa segenap perayaan HUT RI yang kita lakukan hanyalah sebuah usaha
membahagiakan pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Eh, kayak gak asing dengan kalimat itu hehe.. Maka, janganlah suka membohongi,
berjanji manis tapi palsu. Berusahalah untuk tidak menyakiti orang lemah:
rakyat.
Bahwa
lomba-lomba, pengibaran bendera merah putih di depan rumah dan di jalan-jalan,
upacara, serta segala pidato yang disampaikan itu adalah wujud syukur sekaligus
kontemplasi atas segala keringat, air mata dan darah pahlawan-pahlawan yang
gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.   
Saya
berdoa, semoga perayaan HUT RI tahun ini membuat Bung Tomo yang dulu
diceritakan jarang tersenyum, bahkan di fotonya yang paling terkenal beliau
menunjuk sambil mendelik, kini tersenyum bahagia di dalam kuburnya.
Merdeka.
——————————————
*) Penulis merupakan Guru Bahasa Indonesia di SMA Negeri 1 Situbondo dan pendiri Komunitas Literasi Sumberanyar.

Penulis

  • Moh. Farhan, pengusaha madu. Guru SMAN 1 Situbondo.


Comments

3 tanggapan untuk “HUT RI dan Kesadaran Anak Kelas 5 SD”

  1. Avatar Sugardy
    Sugardy

    esai ini standar kompetensi anak klas 5 SD… seperti pelajaran mengarang … asal nulis pokoknya penuh

  2. Terima kasih, mas. Tapi, di mana letak asal nulisnya ya?

  3. Terima kasih, mas. Tapi, dimana letak asal nulis yg sampean maksud ya?

Tinggalkan Balasan ke Mohammad Farhan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ahmad Zaidi Apacapa Liputan

GNI Indonesia 2019: Perjalanan Melepaskan Ketergesa-gesaan

Apacapa covid 19 Mirrabell Frederica Hadiwijono Vaksin

Story Telling: Masih Takut Vaksin ?

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Parabân Nyangsang

Review Film Yopie EA

FLOW: Sebuah Mahakarya dari Sutradara Asal Latvia

Buku Fatoni Prabowo Habibi Ulas

Review Buku Reinventing : Merawat Energi, Menatap Masa Depan

Dani Alifian Esai

Refleksi Harjakasi: Prostitusi Mesti Lenyap dari Kota Santri

Cerpen

Cerpen: Fragmen Ingatan

Ahmad Zaidi Apacapa

Kepala Dusun Langai yang Peduli

Puisi Zulhan Nurhathif

Puisi-puisi Zulhan Nurhathif: Tentang Saat Ini

Apacapa Esai Yogi Dwi Pradana

Resepsi Sastra: Membandingkan Mundinglaya Di Kusumah dari Ajip Rosidi dan Abah Yoyok

Apacapa Ipul Lestari

Memeluk Bayangmu di 1250 MDPL

Cerpen Yuditeha

Cerpen: Berhenti Bekerja

Apacapa Hodo Nafisah Misgiarti Situbondo

Hodo dan Perjalanan Bunyi; Sebuah Catatan

Madura Raden Ajeng Afifah Maharani Totor

Manisan Cupcup: Manis Rassana Ate

Apacapa Ramadeni

Implementasi Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia

Apacapa Esai Rahman Kamal

Laut Memanggil, Dik. Sudahkah Kau Menjawabnya?

Buku Indra Nasution Ulas

Antonio Gramci: Negara dan Hegemoni

Apacapa Ferdiansyah fulitik

Rakyat Rebutan Minyak Goreng, Partai Moncong Putih dan Partai Mercy Rebutan Kursi

Apacapa Esai Khossinah

Dari Secagkir Kopi ke Minuman Instan

Achmad Nur Apacapa

Pesantren di Tengah Cengkeraman Kapitalisme Global