Igauan yang Mungkin Puisi atau Semacam Puisi

  
Akankah
puisi hanya sebuah igauan, semacam ceracau, atau sesuatu yang tiba tanpa
disadari?
Sepilihan puisi berjudul Igauan Seismograf karya Halim Bahriz ini
menawarkan suatu ketaksaan (kekaburan) suatu identitas puisi. Laiknya jalan,
puisi ini berada di antara banyak persimpangan. Tidak memilih salah satunya,
bahkan cenderung ingin menerabas menemukan jalan lain.  Jalan yang mungkin ini puisi atau ini semacam
puisi.
Pada judul: sebuah cara
menceritakan diri sendiri – aku lirik menarasikan amatan indrawi tentang
lajur-lajur kabel PLN dan Telkom; rangka layang-layang yang nyangkut; angin
lewat yang sedikit menggoyangkan rangka layangan; hujan turun hampir setiap bulan;
bocah-bocah berangkat dan pulang sekolah.
Menarasikan ingatan tentang
burung-burung yang tak lagi bertengger di lajur-lajur kabel; kemarau tahun lalu;
rangka layang-layang yang sudah diabaikan bocah pemiliknya; sudah setahun penuh
hanya si aku lirik yang memperhatikan gerak-gerik rangka layang-layang.
Menarasikan bayangan tentang
orang-orang yang tak menghiraukan rangka layang-layang; apakah rangka
layang-layang juga memperhatikan si aku lirik; tidak adanya perubahan dan
pergerakan di lingkungan sekitar aku lirik; upaya perhatian si aku lirik
laiknya cara matahari melihat urat-urat daun dan rambut manusia.
Kemudian ditutup dengan narasi
perasaan kesepian si aku lirik dan kepeduliannya pada kesepian rangka
layang-layang yang nyangkut di lajur kabel.
Narasi-narasi yang dibangun dalam
tulisan dikesankan begitu sederhana. Pesan ditampilkan secara gamblang tentang
kesepian. Antara judul yang menautkan sebuah cara menceritakan diri sendiri,
dan isi yang menampilkan narasi-narasi sepi, sendiri dalam igauan.
Kembali pada pertanyaan di atas, akankah
puisi hanya sebuah igauan, semacam ceracau, atau sesuatu yang tiba tanpa
disadari? Ya.
Bagi saya, puisi Halim Bahriz ini telah
melampaui apa yang ingin dicapai oleh puisi.
Lalu, apa yang sebenarnya ingin
dicapai oleh puisi?
Kesederhanaan, sesederhana
menuliskan igauan. []
Sebuah pembacaan atas Buku
Sepilihan Puisi Halim Bahriz “Igauan Seismograf”
Disampaikan dalam acara APACAPA #2:
semacam bedah buku
Di Gazebo Dinas Perpusatakaan dan
Kearsipan Kabupaten Situbondo
Sabtu, 6 April 2019
Marlutfi Yoandinas

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Aris Setiyanto Puisi

Puisi: Pendaki

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Bupati-Bupati Situbondo, Sudah Ya!

Guru Mored Moret Puisi Ririn Anggarini

Rindu dan Puisi Lainnya

Moh. Rofqil Bazikh Puisi

Kasidah Petani dan Puisi Lainnya Karya Moh. Rofqil Bazikh

Hardiana Mored Moret Puisi

Puisi Mored: Ayah, Cinta, dan Nasihat

Cerpen Eko Setyawan

Cerpen Pledoi Jagung

Fahris A. W. Puisi

Puisi – Lagu Masa lalu

Apacapa

Saya Sudah Berhenti Membaca Berita, dan Mungkin Kalian Juga Harus Melakukannya

Cerpen Layla Shallma Putri Pracia

Cerpen: Di Bawah Langit Biru

Uncategorized

Puisi – Elegi Nasib Kami

Pantun Papparekan Madura Sastra Situbondo Totor

Pantun Madura Situbondo (Edisi 5)

Cerpen Ian Hasan

Cerpen: Tiga Nisan

Buku Ulas

Senyum Karyamin: Perihal Kesederhanaan

Agus Widiey Puisi

Puisi: Amsal Sunyi

Apacapa Buku Hat Pujiati Ulas

Sejarah, Tubuh, Dosa dan Diri dalam Merupa Tanah di Ujung Timur Jawa

Agus Hiplunudin Puisi

Pendulum Rindu dan Puisi Lainnya Karya Agus Hiplunudin

Mustain Romli Puisi

Puisi-puisi Mustain Romli: Pesona Kota dan Sepasang Mata

Cerpen

Cerpen Gulistan

Apacapa

Bendera One Piece: Semangat Kemerdekaan

Apacapa Rahman Kamal

Menghidupkan Kembali Semangat Ki Hadjar Dewantara