Jika Tidak Mampu Menjadi Pandai, Setidaknya Jangan Pandir

Oleh: Raisa Izzaty
Akhir
minggu lalu salah seorang kawan lama menelepon saya. Ia bercerita sambil
sesenggukan. Kantor tempatnya bekerja gagal menindak tegas teman kantornya yang
lain yang melakukan pelecehan seksual kepadanya. Lebih menyebalkan lagi, si bos
menyalahkan teman saya, menyuruh teman saya untuk berjilbab saja supaya tidak
mengundang syahwat. Mungkin masih segar di ingatan tentang sebuah kampus
berlabel agama yang masih membiarkan pengajarnya yang pemerkosa berkeliaran di
kampus. Entah, barangkali menjadi sebuah institusi pendidikan tidak diperlukan
integritas. Beberapa waktu yang lalu, lini masa juga ramai dengan
ketidakbecusan sebuah lembaga antikorupsi yang justru membela salah seorang pekerjanya
yang menjadi pelaku kekerasan seksual.
Mencari
keadilan bagi korban pelecehan dan kekerasan seksual di negara ini hampir sama
sulitnya dengan mencari kambing berkaki tujuh. Hampir mustahil. Tidak hanya satu
atau dua kasus yang berakhir begitu saja tanpa penyelesaian apa-apa. Ribuan
lainnya bahkan tertahan di mulut korban, tidak berani diungkapkan.
Budaya
memperkosa atau rape culture serta victim blaming yang masih mendarah
daging barangkali menjadi salah satu penyebabnya. Penyelesaian kasus-kasus
pelecehan dan kekerasan seksual pada akhirnya akan menambah luka kepada korban.
Hukum kita yang tidak berperspektif korban juga merupakan asal muasal depresi
yang berkepanjangan bagi korban.
Memang
susah menjadi pandai dengan memahami kasus demi kasus pelecehan seksual bagi
mereka yang patriarkis. Tapi setidaknya, bisa untuk tidak menjadi pandir.
Pengalaman hidupmu barangkali tidak membawamu menjadi korban kekerasan dan
pelecehan seksual. Namun, tidak ada ruginya jika kamu memosisikan diri di pihak
korban. Bagaimanapun, dalam penanganan kasus kekerasan dan pelecehan seksual, perspektif
korban adalah yang utama.
Bahkan,
dalam pendampingan korban, para pendamping harus selalu melihat kondisi
psikologis korban. Jika mereka dalam trauma cukup mendalam dan tidak ingin
melanjutkan prosesnya, pendamping tidak berhak untuk memaksa. Sedangkan, dalam
banyak kasus, justru pelaku dipertemukan dengan korbannya. Pandir sekali,
bukan?
Mempertemukan
korban dengan pelakunya akan menambah dalam trauma dan luka korban. Apalagi
jika si pelaku melakukan penyangkalan. Sebagian orang berideologi patriarkis
berkata, “Bukankah kita harus mendengar dari dua sisi? Harus adil.” Bicara
keadilan namun hak korban saja telah direnggut. Bagaimana bisa? Mengkonfrontasi
korban dengan pelaku sama halnya dengan mengulang memori korban. Sama halnya
dengan pertanyaan-pertanyaan brengsek di kantor polisi kepada korban
pemerkosaan, “apakah kamu menikmati?”. Sama tololnya.
Jika
hukum kita tidak mampu, maka setidaknya, pikiran kita harus mampu. Tempatkan
diri di sisi korban. Berempati tidak melulu harus mengalami dahulu. Tentu saja,
menjadi pandai memang sulit. Tapi lagi-lagi, setidaknya, jangan pandir. []

Penulis


Comments

3 tanggapan untuk “Jika Tidak Mampu Menjadi Pandai, Setidaknya Jangan Pandir”

  1. Avatar Lita Marjenia
    Lita Marjenia

    "Harus memiliki perspektif korban". Statemenmu terlalu naif seolah hukum dan sistemnya didikte sesuai selera pandanganmu, Is. Hukum itu punya alur, bukan semata soal dominasi lelaki atau bagaimana wanita yang lemah ditindas. Ini sistem sosial, kapan kamu mulai sadar bahwa lelaki maupun perempuan sama sama punya peluang melakukan kejahatan meskipun caranya berbeda?

  2. Sukses untuk Raisa, trs berkarya, smg lbh berpredtasi, aamiin..

  3. Kamu berkata demikian karena kamu berpikir bahwa ketika hukum yang berlaku berperspektif korban, maka status quo mu akan terancam. Kenyataannya memang begitu, perempuan mengalami kekerasan struktural. Sampai kapan kamu tidak menyadari bahwa memang, sejak dulu kala, tidak akan pernah sama laki laki dan perempuan, dalam pengalaman akan kekerasan? Mengapa ada sistem patriarkis, sudah kamu baca sejarahnya bagaimana ?

Tinggalkan Balasan ke Lita Marjenia Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ilham Wiji Pradana Puisi

Puisi-puisi Ilham Wiji Pradana: Rumah Pak RT

Aang MZ Puisi

PUISI: Antara Lidah-Api Karya Aang M,Z.

Apacapa Marlutfi Yoandinas Situbondo

Refleksi September Hitam

Fendy Sa’is Nayogi

Memahami Pepatah Madura: Gherrâ Ta’ Bisa Èangghuy Pèkolan, Lemmes Ta’ Bisa Èangghuy Panalèan

Apacapa Indra Andrianto

Menjadi Kepala Sekolah yang Inovatif

Agus Hiplunudin Apacapa

Meningkatkan Mutu Pendidikan Melalui Profesionalisme Asesor

Indra Nasution Prosa Mini

Prosa Mini – Perbincangan Kakek dengan Pemuda

Alex Cerpen

Cerpen: Dia Bukan Gatot Kaca

Nuriman N. Bayan Puisi

Puisi : Kepada Perempuan Karya Nuriman N. Bayan

Advertorial Mohammad Farhan Politik

Muscab DPC PKB Situbondo Angkat Tema Partai Advokasi

Apacapa Rahman Kamal

Besuki Membaca: Dikira Jualan Buku sampai Mendirikan Rumah Baca

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Perjalanan Melarikan Luka

Apacapa

11 Rekomendasi dalam Kegiatan Temu Inklusi ke 5

Ahmad Zainul Khofi Apacapa

Mengenal Situbondo dari Puisi

Prasetyan Ramadhan Puisi

Puisi: Malam Kota Stabat

Puisi Wilda Zakiyah

Puisi Harjakasi Karya Wilda Zakiyah

Diego Alpadani Puisi

Puisi: Rabu Malam

Apacapa Moh. Rais

Mas Rio Buronan: Dari Wano Menuju Situbondo

Pantun Papparekan Madura Sastra Situbondo

Pantun Madura Situbondo (Edisi 2)

Pantun Papparekan Madura

Pantun Madura Situbondo (Edisi 7)