
Pagi itu, Kamis 31 Juli 2025, sekitar pukul tujuh, saya sedang dalam perjalanan mengantar anak-anak ke sekolah. Saat tiba di lampu merah alun-alun, saya bersiap berbelok ke arah pegadaian, tetapi jalan sudah ditutup. Beberapa petugas kepolisian dan kelompok berpakaian hitam terlihat berkumpul di ujung jalan. Informasi yang saya ketahui saat itu hanyalah bahwa pagi itu akan digelar penutupan rangkaian Hari Anak Nasional di Pendopo Situbondo. Namun, siang harinya, lini masa media sosial saya dipenuhi kabar bahwa sekelompok aktivis melakukan demonstrasi terhadap Bupati Situbondo. Potongan video pernyataan bupati yang beredar luas di media sosial telah memicu kemarahan sebagian kalangan LSM dan jurnalis lokal.
Keesokan harinya, muncul kabar bahwa salah seorang wartawan mengalami kekerasan fisik dan verbal saat meliput aksi tersebut. Pemberitaan tentang kejadian itu pun langsung tayang, sebagian dengan judul yang provokatif dan isi yang cenderung reaktif. Saya mengikuti beritanya secara saksama, tidak hanya karena peristiwa tersebut menyangkut dinamika ruang publik, tetapi juga karena media yang menerbitkannya bukan media asing bagi saya. Sejak kecil, saya terbiasa melihat koran Radar Situbondo hadir setiap pagi di meja rumah kami, saat ayah saya masih bekerja di salah satu Organisasi Perangkat Daerah (OPD) Kabupaten Situbondo. Media ini adalah bagian dari rutinitas birokrasi daerah, karena sudah dilanggan oleh pemerintah kabupaten sejak 26 tahun lalu. Dalam ingatan saya, Radar Situbondo bukan hanya sumber informasi, melainkan bagian dari suasana pagi. Tim Redaksi Radar Situbondo juga pernah menjadi pembicara saat pelatihan jurnalistik di sekolah saya, sekitar 14 tahun yang lalu.
Kini, saat saya kembali mengakses berita dari media yang sama, perasaan yang muncul bukan nostalgia, melainkan kegelisahan. Banyak berita disusun dengan struktur yang lemah, informasi yang tidak lengkap, dan bahasa yang cenderung menghakimi. Beberapa tulisan bahkan terasa seperti unggahan pribadi, bukan karya atau produk jurnalistik. Saya membaca satu per satu dengan harapan menemukan analisis atau konteks yang mencerahkan, namun justru menemukan alinea-alinea yang terburu-buru, tendensius, dan miskin verifikasi.
Fenomena ini tentu tidak berdiri sendiri. Ia merupakan bagian dari lanskap krisis yang lebih luas dalam dunia jurnalisme, di mana logika kecepatan, klik, dan algoritma semakin mendikte isi dan bentuk berita. Khususnya di media lokal, tekanan untuk menghasilkan banyak berita dalam waktu singkat, keterbatasan sumber daya manusia, serta afiliasi politik yang tidak transparan, telah melahirkan kondisi kerja yang jauh dari ideal. Dalam situasi seperti ini, jurnalisme tidak lagi mampu menjalankan fungsinya sebagai penafsir realitas, melainkan hanya menjadi pengirim kabar. Tentu saja, sering kali kabar yang kabur.
Sebuah pertanyaan muncul dalam benak saya. Mungkinkah media harian lokal, yang tentu saja, dengan segala keterbatasannya, mempraktikkan jurnalisme yang lebih lambat, lebih dalam, dan lebih bermakna? Barangkali, gagasan tentang slow journalism sebagai pendekatan etis dan praktis, layak dipertimbangkan untuk menjawab krisis jurnalisme hari ini, terutama di level lokal. Barangkali tulisan ini akan sedikit lebih panjang, daripada sekadar mengkritisi kesalahan penulisan (seperti INOFASI yang harusnya INOVASI, atau INFESTOR yang harusnya INVESTOR) dalam berita-berita Radar Situbondo. Saya mencoba menawarkan solusi bagi meja redaksi. Mungkin, sedikit membantu menaikkan oplah, setelah terputus kontraknya dengan Pemerintah Daerah, setidaknya empat tahun ke depan ~
Slow Journalism sebagai Ultraman dalam Era Clickbait
Dalam beberapa tahun terakhir, muncul keresahan global terhadap arah praktik jurnalisme yang semakin dikendalikan oleh algoritma, impresi klik, dan kecepatan viralitas. Berita diproduksi dengan irama tinggi, siklusnya semakin pendek, dan wartawan diharapkan untuk mengirimkan liputan dalam hitungan menit, bukan hari. Dalam konteks ini, muncul satu pendekatan kritis yang dikenal dengan istilah slow journalism yakni sebuah cara berpikir ulang terhadap praktik jurnalistik yang terlalu cepat namun dangkal.
Megan Le Masurier (2016), akademisi asal Australia yang banyak menulis tentang slow journalism, mendefinisikan pendekatan ini sebagai a critical orientation to the effects of speed on the practice of journalism. Artinya, ia bukan semata-mata gaya menulis atau genre berita, melainkan sebuah kerangka etis dan epistemologis yang mempertanyakan dampak buruk dari kecepatan terhadap mutu, akurasi, dan kedalaman jurnalisme. Dalam kerangka ini, yang dikritik bukan hanya kecepatan fisik, tetapi ketergesaan dalam berpikir, menulis, dan memahami. Barangkali, ini juga penyebab penyelia atau editor media massa tidak sempat melakukan tugasnya, setidaknya melihat kamus PUEBI ~
Le Masurier menegaskan bahwa slow journalism bukan tentang kembali ke masa lalu atau menolak kemajuan teknologi. Sebaliknya, ia justru mengintegrasikan praktik digital modern dengan nilai-nilai dasar jurnalistik seperti verifikasi, kehadiran, empati, dan refleksi.
“This journalism does not require a checklist of key characteristics to qualify as Slow. The term, like the Slow movement itself, is more a critical orientation to the effects of speed on the practice of journalism.” (Le Masurier, 2016, hal. 405)
Geoffrey Craig (2016), dalam artikelnya di Journalism Practice, menambahkan bahwa slow journalism adalah cara jurnalis untuk menjawab kompleksitas dunia sosial dengan pendekatan yang penuh perhatian, atau yang ia sebut sebagai ethic of care. Baginya, jurnalisme yang lambat adalah jurnalisme yang mau mendengar, tidak tergesa dalam menyimpulkan, dan bersedia memberi ruang kepada narasi yang selama ini tidak mendapat tempat.
“To respond thoughtfully to these social and cultural changes, journalists require time to explore other perspectives, to listen and to embrace an ethic of care.” (Craig, 2016, hal. 548)
Sementara itu, Erik Neveu (2016) menyebut slow journalism sebagai ideal type. Sebuah konsep yang membantu kita membayangkan kemungkinan praktik jurnalistik alternatif, bukan sebagai model yang harus diikuti secara kaku. Dalam pandangannya, slow journalism bisa muncul dalam banyak bentuk seperti reportase mendalam, cerita naratif, liputan kolaboratif, bahkan eksperimen-eksperimen jurnalisme komunitas. Yang terpenting adalah niat untuk membawa pembaca lebih dekat pada pemahaman, bukan sekadar konsumsi informasi.
Slow journalism bukan sekadar bentuk perlawanan terhadap jurnalisme clickbait, melainkan sebuah pendekatan yang menyentuh esensi dari jurnalisme itu sendiri. Apa itu? Menjadi penghubung yang jujur antara warga dan kenyataan sosial mereka, melalui tulisan yang tidak hanya akurat dan faktual, tetapi juga peduli dan reflektif. Nggak kaya anu~
Emang Memungkinkan untuk Diterapkan Pada Media Harian Lokal/Daerah?
Pertanyaan ini hanya bisa dijawab dengan melihat realitas struktural dan kultural yang melingkupi praktik media harian di daerah. Sebagaimana sebuah permasalahan, tentu ada solusi. Namun, sebagaimana sebuah solusi, tentu ada tantangan yang menyertai. Oke, saya akan mencoba memetakan tantangan terkait hal ini, didasarkan pengamatan serta wawancara beberapa kawan yang bergelut di media lokal/daerah.
Tekanan Ritme Produksi
Tantangan pertama adalah ritme kerja jurnalistik yang menuntut kecepatan tinggi dalam produksi berita. Sebagai bagian dari jaringan media besar seperti Jawa Pos Group, Radar Situbondo berada dalam ekosistem kerja yang dibentuk oleh logika klik, impresi pembaca, dan standar volume tayang. Hal ini membuat jurnalis dan editor lebih terdorong untuk menghasilkan berita sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya. Praktik liputan cenderung berhenti pada tahap mengutip dan mencatat, bukan menggali dan memahami. Dalam situasi seperti ini, hampir tidak ada ruang untuk melakukan verifikasi mendalam, observasi sosial, atau eksplorasi naratif yang utuh. Hasilnya, berita ditulis secara tergesa, berisi kutipan instan, dan disusun dengan struktur yang minim pemikiran.
Keterbatasan Kapasitas SDM
Tantangan berikutnya adalah minimnya pelatihan dan kapasitas profesional jurnalis lokal, terutama dalam hal penulisan naratif, kerja lapangan mendalam, dan pendekatan etnografis. Dalam banyak kasus, wartawan bekerja berdasarkan intuisi dan pengalaman lapangan, tanpa landasan konseptual yang kuat dalam jurnalisme naratif. Hal ini menyebabkan berita menjadi teknis, kering, dan tidak memberi pengalaman membaca yang reflektif bagi publik.
Padahal, slow journalism membutuhkan kemampuan menulis yang tidak hanya faktual, tetapi juga naratif dan puitis. Ia membutuhkan sensitivitas sosial, ketajaman dalam melihat detail, serta kesediaan untuk mendengar lebih lama dari biasanya. Tanpa pelatihan yang mendukung, tantangan ini akan terus menjadi penghambat utama.
Budaya Redaksi yang Oposisional
Tantangan ini bersifat lebih kultural, yakni kecenderungan beberapa media lokal untuk memosisikan diri secara oposisional terhadap kekuasaan lokal secara emosional, bukan kritis secara substansial. Dalam banyak kasus, kritik yang diarahkan kepada pemerintah tidak disusun dengan data atau analisis, melainkan dalam bentuk opini terselubung atau narasi destruktif. Media lokal kerap berada dalam posisi ambigu. Di satu sisi mengklaim sebagai watchdog namun di sisi lain tak jarang menjadi alat negosiasi kekuasaan itu sendiri. Dalam kasus Radar Situbondo, misalnya, kecenderungan editorial yang konfrontatif terhadap pemerintah daerah (terutama dalam era kepemimpinan yang baru) lebih sering dibalut oleh narasi perlawanan moral atau pembelaan publik.
Paradoksnya, klaim sebagai media kontrol tidak selalu berbanding lurus dengan kedalaman kerja jurnalistik. Alih-alih menghadirkan laporan investigatif yang membongkar kebijakan bermasalah, yang muncul justru artikel-artikel reaktif, penuh opini terselubung, dan minim narasi yang utuh. Kritik menjadi alat balas dendam, bukan upaya menjernihkan. Dalam kerangka slow journalism, pendekatan seperti ini tidak hanya bermasalah secara etis, tetapi juga gagal membangun ruang publik yang sehat. Tenang, Slow journalism tidak melarang kritik (bukan produk orba~). Namun, kritik yang baik tidak dilandaskan pada posisi berseberangan semata, tetapi pada data, analisis, dan empati terhadap dampak kebijakan pada masyarakat.
Contohin, dong~
Untuk memahami bagaimana pendekatan slow journalism dapat diterapkan di tingkat lokal, mari menelaah tiga berita dari Radar Situbondo yang terbit dalam kurun waktu antara 31 Juli hingga 1 Agustus 2025, menyangkut isu demonstrasi warga terhadap pernyataan Bupati, kasus kekerasan terhadap wartawan, dan kecelakaan anak di lingkungan rumah.
Berita-berita tersebut mewakili tiga domain penting dalam liputan jurnalistik lokal yakni politik dan relasi kuasa, kebebasan pers dan keselamatan jurnalis, serta isu sosial dan perlindungan anak. Ketiganya menyimpan potensi untuk ditulis secara lebih reflektif dan mendalam, sejalan dengan prinsip-prinsip slow journalism.
1. Puluhan Aliansi Aktivis Masyarakat Situbondo Demo Bupati Rio

Berita berjudul “Puluhan Aliansi Aktivis Masyarakat Situbondo Demo Bupati Rio” melaporkan aksi protes terhadap pernyataan Bupati Situbondo yang dianggap menyudutkan peran LSM dan media. Namun, berita tersebut hanya menyajikan informasi parsial. Identitas dan asal organisasi/ LSM yang tergabung dalam aliansi tidak dijelaskan secara konkret. Apa konteks tuntutannya juga tidak dirinci. Kutipan narasumber bersifat fragmentaris, dan tidak ada upaya penelusuran terhadap konteks pernyataan yang dipersoalkan. Selain itu, tidak ada suara dari warga terdampak atau analisis terhadap relasi antara pemerintah daerah dan kelompok sipil.
Dalam pendekatan slow journalism, peristiwa ini bisa diangkat sebagai liputan naratif mendalam mengenai relasi historis antara LSM, media, dan pemerintah daerah. Tulisan ini seharusnya tidak hanya memuat kronologi dan kutipan singkat, tetapi mengeksplorasi pertanyaan kunci: apa akar ketegangan antara LSM dan pemerintah? Apa dampaknya bagi tata kelola daerah? Siapa yang merasa tidak dilibatkan dalam proses pembangunan? Apakah ketegangan tersebut bersifat struktural atau hanya konflik pernyataan? Dalam pendekatan slow journalism, penulis dapat menelusuri dinamika sejarah relasi pemerintah dan masyarakat sipil di Situbondo, memuat narasi korban dari kebijakan investasi yang dipermasalahkan, serta menyisipkan data tentang proses izin usaha di daerah. Alih-alih terburu-buru menyimpulkan motif, berita diarahkan untuk membangun ruang pemahaman. Penulisan ulang dapat memuat testimoni warga, refleksi dari aktivis senior, serta penelusuran terhadap isi dan dampak pernyataan bupati. Dengan demikian, berita tidak hanya menjadi laporan insiden, tetapi jendela untuk memahami dinamika sipil dan demokrasi lokal. Lagi-lagi, hanya bisa dilakukan oleh media yang menyajikan berita berimbang yang cover both side.
2. Tiga Organisasi Wartawan Kawal Kasus Humaidi

Berita ini berkisar pada insiden dugaan kekerasan terhadap seorang wartawan lokal. Meskipun berangkat dari isu penting, keselamatan jurnalis, berita ini disusun secara sepihak.
Berita hanya memuat pernyataan dari tiga organisasi wartawan, tanpa menelusuri kronologi peristiwa secara menyeluruh, atau melakukan konfirmasi kepada pihak lain yang disebut dalam konflik. Berita berfungsi lebih sebagai ruang pembelaan institusional ketimbang pelaporan publik yang utuh. Tidak ada kronologi yang utuh, tidak ada klarifikasi dari aparat keamanan yang disebut sebagai pelaku, dan tidak ada investigasi terhadap peristiwa itu secara independen.
Liputan ini seharusnya diarahkan pada penyelidikan independen tentang apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Bagaimana dinamika relasi jurnalis dan aparat/pejabat selama demonstrasi? Apa persepsi publik terhadap kebebasan pers di Situbondo? Penulisan ulang dapat menggunakan pendekatan feature yang menghadirkan perspektif jurnalis, serta barangkali (jika berani) menghadirkan perspektif sebaliknya, dari sisi narasumber. Sehingga, slow journalism mendorong jurnalis untuk memberi tempat pada narasi pengalaman dan perenungan terhadap praktik kerja jurnalistik itu sendiri.
3. Balita Tiga Tahun Tewas Tenggelam di Kolam Ikan

Berita ini memuat tragedi seorang balita yang tenggelam di kolam ikan milik keluarga. Meskipun informatif secara kronologi, berita tidak menggali latar belakang sosial keluarga korban. Disebutkan bahwa sang ibu sedang menjalani proses keberangkatan sebagai pekerja migran ke Malaysia, namun potensi eksplorasi isu migrasi, pola pengasuhan, dan minimnya sistem perlindungan anak tidak dikembangkan. Jurnalis dalam berita tersebut luput mengangkat fakta yang membuka ruang diskusi lebih luas tentang pengasuhan anak dalam keluarga migran.
Dalam kerangka slow journalism, berita ini menyimpan potensi besar untuk dikembangkan menjadi liputan naratif yang menyentuh, dengan fokus pada anak-anak dari keluarga migran. Atau mengangkat fenomena yang lebih kritis tentang mengapa anak diasuh oleh kakek-nenek? Apakah ada dukungan komunitas atau layanan pemerintah untuk keluarga migran? Apa yang dirasakan para pengasuh generasi tua ketika harus mengurus balita kembali? Penulisan ulang dapat menyertakan wawancara dengan kakek-nenek sebagai pengasuh, menyusuri fenomena pengasuhan dalam keluarga yang tidak utuh, serta merujuk pada data dari BP2MI atau studi akademik tentang pekerja migran dan anak. Harusnya, tragedi seperti ini bukan hanya disampaikan sebagai berita, tetapi sebagai kisah sosial yang mencerminkan kerentanan struktural. Harusnya, jika memang bersikeras menjadi oposisi, berita ini dapat menjadi peluang kritik tajam pada perlindungan terhadap anak pekerja-pekerja migran oleh pemerintah daerah, apalagi dalam situasi peringatan Hari Anak Nasional. Keburu fokus pada visum, sih ~
Ketiga berita yang dianalisis memperlihatkan gejala umum berita yang diproduksi Radar Situbondo, yakni terburu-buru, tidak utuh, dan minim verifikasi. Radar Situbondo, sebagai media yang sudah puluhan tahun hidup berdampingan dengan birokrasi dan masyarakat lokal, sesungguhnya memiliki modal kultural yang kuat untuk menulis dengan lebih lambat, lebih reflektif, dan lebih memihak kepentingan warga.
Menata Ulang Posisi Setelah Konflik ~
“Hadapi dengan senyuman
Semua yang terjadi, biar terjadi”
Begitu kata Dewa 19 menghibur Radar Situbondo yang baru saja masuk ke dalam konflik yang berujung pada pernyataan Bupati yang memerintahkan semua instansi pemerintahan berhenti berlangganan Radar Situbondo. Barangkali di benak sebagian orang, “apakah pemerintahan kita hari ini anti kritik?”. Terlalu dini menyimpulkan demikian. Apalagi, meneropong kejadian-kejadian setelahnya, soal pelaporan, dan kejadian yang mengada-ada.
Dear Radar, fungsi pers tidak hanya sebagai pengawas, melainkan juga sebagai penghubung antarwarga dan penyampai makna sosial dari peristiwa. Jurnalisme memiliki dua fungsi utama, lho, yakni transmission dan ritual. Yang pertama mengacu pada penyampaian informasi secara linear dan faktual, sementara yang kedua berkaitan dengan penciptaan makna kolektif melalui narasi yang membangun pemahaman bersama. Fungsi yang kedua inilah yang cenderung hilang dalam praktik jurnalisme kalian saat ini. Tapi tenang, bisa dihidupkan kembali kok, melalui pendekatan slow journalism yang sudah saya sampaikan panjang kali lebar tadi.
Dear Radar, media lokal tidak harus terus-menerus mengambil peran sebagai oposisi untuk dapat menjalankan kritik, lho. Kritik yang konstruktif dan kontekstual justru lebih berharga daripada sekadar perlawanan simbolik. Dalam banyak kasus, pemberitaan yang baik bukanlah yang keras suaranya, tetapi yang kuat argumennya, yang menyajikan analisis mendalam, memetakan kepentingan yang bermain, dan menghadirkan suara warga sebagai pusat dari narasi.
Lebih jauh, Radar, kesayangan saya, juga dapat mengambil peran sebagai pengarsip sejarah sosial daerah. Narasi warga biasa, perubahan sosial yang subtil, dan dinamika kultural lokal, semuanya dapat menjadi bahan liputan yang bernilai tinggi secara jangka panjang. Ketika media mampu melihat bahwa nilai berita tidak hanya terletak pada konflik kekuasaan, tetapi juga pada proses kehidupan sehari-hari, maka jurnalisme lokal tidak hanya hidup, tetapi berakar.
Teruntuk kawan-kawan jurnalis, ingat ya, tugas jurnalis bukan hanya mengejar siapa cepat, dia terbit, tetapi juga menciptakan ruang dengar dan ruang paham bagi masyarakat. Jurnalis tidak hanya merekam suara yang paling keras, tetapi juga harus bersedia mencari suara-suara yang paling jarang terdengar. Di tengah kebisingan yang mendominasi ruang informasi, barangkali yang paling dibutuhkan masyarakat hari ini adalah jurnalisme yang bersedia diam sejenak untuk mendengar, sebelum menulis untuk menerangkan.Di situlah kekuatan slow journalism bekerja. Satu lagi, kejujuran adalah kuntji~ sebab kalian, sebelum menjadi jurnalis, tentu telah melakukan uji kompetensi, kan? Ingat ya, selain dilindungi undang-undang, kalian juga punya kewajiban untuk mematuhi kode etik jurnalis, lho ~
Epilog
Tentu saja, semua saran serta tulisan reflektif ini bisa dianggap angin lalu. Toh, di dunia media yang dikejar views dan diburu algoritma, siapa sempat baca panjang-panjang? Jurnalis dituntut nulis cepat, editor digaji untuk scroll medsos, bukan menyunting. Tapi, ya sudah, anggap saja tulisan ini seperti oret-oretan warga yang rindu membaca berita lokal tanpa typo, tanpa capslock marah-marah, dan tanpa rasa dendam. Kalau slow journalism terlalu berat, mungkin bisa mulai dari hal kecil seperti cek ulang ejaan sebelum tayang, pastikan kutipan sesuai konteks, dan sesekali, mendengar suara warga yang tidak viral. Kalau masih terlalu sulit, bolehlah rekrut AI, asal jangan pakai yang doyan ngawur juga. Pada akhirnya, saya cuma berharap, jangan sampai, yang tersisa dari Radar Situbondo tinggal radarnya, sementara kabarnya entah ke mana.
Footnote:
Carey, J. W. (1986). Communication as Culture: Essays on Media and Society. Boston: Unwin Hyman.
Craig, G. (2016). Reclaiming slowness in journalism: Critique, complexity and difference.
Journalism Practice, 10(4), 547–561. https://doi.org/10.1080/17512786.2015.1100521
Le Masurier, M. (2016). Slow journalism: An introduction to a new research paradigm. Digital Journalism, 4(4), 405–413. https://doi.org/10.1080/21670811.2016.1139904
Neveu, E. (2016). On not going too fast with slow journalism. Journalism Practice, 10(4),
449–459. https://doi.org/10.1080/17512786.2015.1114897
Project Multatuli. (n.d.). Retrieved August 1, 2025, from https://projectmultatuli.org
Radar Situbondo. (2025, July 31). Puluhan Aliansi Aktivis Masyarakat Situbondo Demo Bupati Rio. Instagram. https://www.instagram.com/p/C6l6IDfBhP6/
Radar Situbondo. (2025, August 1). Tiga Organisasi Wartawan Kawal Kasus Humaidi. Instagram. https://www.instagram.com/p/C6m5T2NhCJN/
Radar Situbondo. (2025, August 1). Balita Tiga Tahun Tewas Tenggelam di Kolam Ikan. Instagram. https://www.instagram.com/p/C6m4wOfh4QT/
Tinggalkan Balasan