Laki-laki Memasak dan Mencuci? Ah, Biasa Saja!


Oleh: Raisa Izzhaty
Sejak
pertama kali mengenal konsep kesetaraan, saya mulai melihat ketimpangan dalam
konsep keluarga saya. Ibu saya bekerja. Namun, sebelum berangkat dan sepulang
bekerja, Ibu masih harus membersihkan rumah, menyiapkan segala kebutuhan ayah,
dan segala pekerjaan rumah tangga lainnya. Meski keluarga saya rukun-rukun
saja, tak jarang ibu mengeluh karena pekerjaan di kantor dan di rumah tidak
kunjung selesai dan menumpuk di waktu yang bersamaan. Tapi, tak pernah
sekalipun ibu mengeluh kepada ayah. “Tugase wong wadon, Nduk”, jawab Ibu ketika
saya sedang di rumah dan protes mengapa Ibu tidak meminta ayah membantunya.
Pada
akhirnya, hal tersebut memengaruhi saya dalam membentuk kriteria pasangan. Saya
ingin mencari laki-laki yang tidak canggung membantu pekerjaan rumah tangga.
Sebagaimana tipikal ‘pembaca baru’, saya masih sangat idealis kala itu. Saya
sangat menggilai chef laki-laki, bapak rumah tangga, laki-laki yang bisa
mencuci, laki-laki yang bisa menjahit, dekat dengan anak, dan sebagainya. Buat
saya, hal itu sangat ‘wah’. Saya tidak sadar bahwa dengan meromantisasi
pekerjaan rumah tangga yang dilakukan laki-laki, saya ikut masuk ke dalam arus
patriarkis. Kita semua tahu bahwa patriarki mengatur pekerjaan domestik harus
dan wajib dilakukan oleh perempuan. Sehingga ketika ada laki-laki yang
mengerjakan hal domestik, mereka tampak bagai malaikat. Padahal sebenarnya
tidak ada yang istimewa juga.
Begini,
sesungguhnya, memasak, membersihkan rumah, menjemur, menjahit, dan
pekerjaan-pekerjaan yang dalam sistem sosial kita biasa dilekatkan dengan
perempuan, sebenarnya merupakan kemampuan-kemampuan dasar yang harus dimiliki
oleh semua orang, laki-laki maupun perempuan. Pekerjaan-pekerjaan tadi membantumu
bertahan hidup. Bayangkan saja, ketika kamu tidak bisa memasak dan dihadapkan
dengan situasi yang mengharuskan kamu memasak, bagaimana?
Jadi,
ketika suami saya pada akhirnya membantu saya mengerjakan pekerjaan rumah
tangga, semacam menjemur pakaian, membersihkan tempat tidur, saya tidak lantas overproud
meski saya tentu saja, menghargainya. Sebaliknya, ketika kami bepergian dan
suami saya mengantuk atau sedang sakit kemudian saya menggantikannya menyetir,
kami biasa saja.
Kami
meyakini bahwa hal-hal demikian biarlah berjalan sesuai kebutuhan. Tidak perlu
membagi ‘tugasmu ini’ dan ‘tugasku itu’. Bukankah berumah tangga merupakan
gotong royong?
Barangkali,
tidak semua orang dalam sistem sosial kita memahami dan masih menganggap apa
yang kami lakukan sangat aneh. Ibu sering protes ketika pagi hari saya tidak
menyuguhkan kopi untuk suami saya. Ibu terbiasa menyediakan kopi untuk Ayah
setiap pagi di meja makan. Sedangkan Suami saya tidak pernah rewel meminta kopi
pada pagi hari. Kalau dia mau, dia akan membuatnya sendiri. Ibu juga sering
menegur saya ketika suami menjemur pakaian setelah saya mencuci. Hal-hal
demikian pada suatu waktu membuat kami sedikit berpikir, “serumit itukah aturan
berumah tangga?”.

Tidak perlu membaca buku macam-macam untuk
memahami pasangan, untuk memahami bahwa pasangan  butuh bantuan. Sebab lagi-lagi, kita tidak
sedang menikahi asisten rumah tangga. Maka, gotong royong perlu, bukan?

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa

Tirtho Adhi Soerjo, Detik.com dan Berita Hoax

Apacapa

Begitulah Moh. Imron

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Memaknai Segitiga Cinta

Apacapa Uwan Urwan Wisata Situbondo

Bukit Pecaron

Baiq Cynthia Cerpen

Cerpen – Ketika Tertidur Wajahmu Terlihat Menawan

Apacapa mohammad rozi

Tore Maca: Mengisi Situbondo dengan Literasi yang Menyenangkan

Ahmad Maghroby Rahman Apacapa

Sepotong Surat Suara untuk Mantanku

alif diska Mored Moret

Puisi Mored: Kepada Bumi dan Manusia

Puisi Tjahjono Widarmanto

Ayat Nostalgia dan Puisi Lainnya Karya Tjahjono Widarmanto

Buday AD Puisi Sastra Minggu

Puisi: Melepas Air Mata

Cerpen Yudik Wergiyanto

Cerpen : Geger Karang Gegger Karya Yudik Wergiyanto

Fikri Mored Moret

Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 3)

Kriselda Dwi Ghisela Resensi

Resensi: Perempuan yang Menangis kepada Bulan Hitam

Apacapa Moh. Imron

Ahmad Muzadi: Selamat Jalan Kawan, Karyamu Abadi

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen – Hari Libur

Achmad Faizal Buku Resensi Ulas

Resensi Ada Apa dengan China?

Kakanda Redi Puisi

Puisi – Aviory

Moh. Imron prosa

Tamu Kenangan

Cerpen Imam Sofyan

Negeri Kocar-Kacir

Nurillah Achmad Puisi

Puisi : Nafsu Pohon Surga dan Puisi Lainnya Karya Nurillah Achmad