Laki-laki Memasak dan Mencuci? Ah, Biasa Saja!

Sejak pertama kali mengenal konsep kesetaraan, saya mulai melihat ketimpangan dalam konsep keluarga saya. Ibu saya bekerja. Namun, sebelum berangkat dan sepulang bekerja, Ibu masih harus membersihkan rumah, menyiapkan segala kebutuhan ayah, dan segala pekerjaan rumah tangga lainnya. Meski keluarga saya rukun-rukun saja, tak jarang ibu mengeluh karena pekerjaan di kantor dan di rumah tidak kunjung selesai dan menumpuk di waktu yang bersamaan. Tapi, tak pernah sekalipun ibu mengeluh kepada ayah. “Tugase wong wadon, Nduk,” jawab Ibu ketika saya sedang di rumah dan protes mengapa Ibu tidak meminta ayah membantunya.

Pada akhirnya, hal tersebut memengaruhi saya dalam membentuk kriteria pasangan. Saya ingin mencari laki-laki yang tidak canggung membantu pekerjaan rumah tangga. Sebagaimana tipikal ‘pembaca baru’, saya masih sangat idealis kala itu. Saya sangat menggilai chef laki-laki, bapak rumah tangga, laki-laki yang bisa mencuci, laki-laki yang bisa menjahit, dekat dengan anak, dan sebagainya. Buat saya, hal itu sangat ‘wah’. Saya tidak sadar bahwa dengan meromantisasi pekerjaan rumah tangga yang dilakukan laki-laki, saya ikut masuk ke dalam arus patriarkis. Kita semua tahu bahwa patriarki mengatur pekerjaan domestik harus dan wajib dilakukan oleh perempuan. Sehingga ketika ada laki-laki yang mengerjakan hal domestik, mereka tampak bagai malaikat. Padahal sebenarnya tidak ada yang istimewa juga.

Begini, sesungguhnya, memasak, membersihkan rumah, menjemur, menjahit, dan pekerjaan-pekerjaan yang dalam sistem sosial kita biasa dilekatkan dengan perempuan, sebenarnya merupakan kemampuan-kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh semua orang, laki-laki maupun perempuan. Pekerjaan-pekerjaan tadi membantumu bertahan hidup. Bayangkan saja, ketika kamu tidak bisa memasak dan dihadapkan dengan situasi yang mengharuskan kamu memasak, bagaimana?

Jadi, ketika suami saya pada akhirnya membantu saya mengerjakan pekerjaan rumah tangga, semacam menjemur pakaian, membersihkan tempat tidur, saya tidak lantas overproud meski saya tentu saja, menghargainya. Sebaliknya, ketika kami bepergian dan suami saya mengantuk atau sedang sakit kemudian saya menggantikannya menyetir, kami biasa saja.

Kami meyakini bahwa hal-hal demikian biarlah berjalan sesuai kebutuhan. Tidak perlu membagi ‘tugasmu ini’ dan ‘tugasku itu’. Bukankah berumah tangga merupakan gotong royong?

Barangkali, tidak semua orang dalam sistem sosial kita memahami dan masih menganggap apa yang kami lakukan sangat aneh. Ibu sering protes ketika pagi hari saya tidak menyuguhkan kopi untuk suami saya. Ibu terbiasa menyediakan kopi untuk Ayah setiap pagi di meja makan. Sedangkan Suami saya tidak pernah rewel meminta kopi pada pagi hari. Kalau dia mau, dia akan membuatnya sendiri. Ibu juga sering menegur saya ketika suami menjemur pakaian setelah saya mencuci. Hal-hal demikian pada suatu waktu membuat kami sedikit berpikir, “serumit itukah aturan berumah tangga?”.

Tidak perlu membaca buku macam-macam untuk memahami pasangan, untuk memahami bahwa pasangan  butuh bantuan. Sebab lagi-lagi, kita tidak sedang menikahi asisten rumah tangga. Maka, gotong royong perlu, bukan?

Penulis

  • Raisa Izzhaty

    Raisa Izzhaty mengawali kecintaannya terhadap dunia tulis menulis sejak menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah SWARA SMASA. Ia melanjutkan studi di Fakultas Sastra di Universitas Negeri Malang serta Language Faculty Chiang Mai University, Thailand. Sempat menjadi tutor BIPA untuk mahasiswa asing, beriringan dengan aktivitasnya belajar menulis di Pelangi Sastra Malang dan Komunitas Penulis Muda Situbondo. Beberapa tulisan nya beredar di beberapa media massa, antologi, serta buku tunggal yang diterbitkan secara indie.


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Sainur Rasyid

Surat dari Akhirat

Advertorial

Rekomendasi Popok Bayi Terbaik Sesuai Usia

Buku

Buku: Pesona Potensi Pariwisata Kabupaten Jember

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Terima Kasih Situbondo

Apacapa Nanik Puji Astutik

Aku Bukan Pejuang Love Cyber

Cahaya Fadillah Puisi

Puisi-puisi Cahaya Fadillah: Setelah Engkau Pergi

hafid yusik

Surat Terbuka untuk Kiai Muhyiddin

Nurillah Achmad Puisi

Puisi: Mata Air Kehidupan

Buku Toni Al-Munawwar Ulas

Bahaya Dengki dan Solusinya

Anwarfi Nandy Pratama Puisi

Puisi-puisi Nandy Pratama: Merayakan Kepergian

Nur Akidahtul Jhannah Penerbit

Buku Warna Keraguan

Apresiasi

Sajak Sebatang Lisong – WS. Rendra | Cak Bob

Ilham Wiji Pradana Puisi

Puisi-puisi Ilham Wiji Pradana: Rumah Pak RT

Apacapa fulitik

Tenang! Ini Solusi Mas Rio Buat Teman-teman Honorer Situbondo yang Dirumahkan

Diandra Tsaqib Puisi

Puisi: Stratocumulus

Puisi Rudi Santoso

Setan Rindu dan Puisi Lainnya Karya Rudi Santoso

Cerpen Fahrus Refendi

Cerpen: Tahun Baru Terakhir

Apacapa

Pewaris Budaya Desa

Alexong Cerpen Hana Yuki Tassha Aira

Cerpen: Waktu yang Pecah di Balik Pintu

Apacapa Kampung Langai Situbondo Wilda Zakiyah

Festival Kampung Langai 6: Pertemuan dengan Sosok yang Lain