
Generasi Z tumbuh di tengah arus teknologi yang luar biasa deras. Sejak kecil, mereka sudah mengenal internet, gawai, media sosial, dan berbagai platform digital yang memudahkan mereka berinteraksi serta memperoleh informasi. Dunia mereka tidak bisa dilepaskan dari layar, jaringan, dan konektivitas. Namun, di balik kemudahan dan kecanggihan itu, muncul pertanyaan penting: apakah kedekatan mereka dengan teknologi secara otomatis membuat mereka benar-benar melek digital? Jawabannya belum tentu. Literasi digital tidak hanya tentang kemampuan menggunakan perangkat, tetapi juga tentang kecerdasan berpikir, kemampuan menganalisis informasi, serta tanggung jawab dalam menggunakan teknologi.
Penelitian “Kerapuhan Literasi: Paradoks Transformasi Digital di Kalangan Generasi Z” (2025) menunjukkan fakta yang menarik sekaligus mengkhawatirkan. Generasi Z, meski sangat terbiasa dengan teknologi, ternyata masih lemah dalam mengelola informasi secara kritis dan analitis. Mereka mampu mencari data dengan cepat, tetapi sering kali gagal menilai kebenaran, sumber, dan tujuan dari informasi yang mereka konsumsi. Fenomena ini memperlihatkan paradoks besar: semakin mudah informasi diakses, semakin sulit membedakan mana yang benar dan mana yang palsu. Banyak dari mereka yang terjebak dalam arus berita viral tanpa sempat melakukan verifikasi, sehingga ikut menyebarkan informasi yang belum tentu benar.
Hal ini sejalan dengan temuan dalam “Literasi Media dan Digital di Indonesia: Sebuah Tinjauan Sistematis”, yang menyebutkan bahwa sebagian besar penelitian literasi digital di Indonesia lebih banyak berfokus pada aspek akses dan pemahaman, bukan pada kemampuan evaluasi kritis. Artinya, masyarakat termasuk Generasi Z lebih sering diajarkan cara menggunakan teknologi dibandingkan cara berpikir kritis dalam menghadapi informasi digital. Padahal, tanpa kemampuan kritis, seseorang mudah terjebak pada bias, hoaks, dan manipulasi informasi.
Kedua temuan ini memperkuat bahwa literasi digital sangat penting bagi Generasi Z untuk menghadapi tantangan informasi di era teknologi. Sebab, penguasaan teknologi tidak otomatis menjamin kemampuan seseorang untuk menilai kebenaran, menolak hoaks, dan berpikir kritis. Literasi digital yang sejati bukan hanya kemampuan teknis, melainkan juga kemampuan etis dan reflektif. Namun menuntut kesadaran bahwa setiap informasi memiliki konteks, kepentingan, dan dampak. Tanpa kemampuan berpikir kritis, Generasi Z akan menjadi pengguna pasif yang hanya mengonsumsi informasi, bukan mengelolanya secara bijak.
Husaeni dan rekan-rekan dalam penelitian mereka terhadap siswa kelas V Madrasah Ibtidaiyah (MI) menemukan bahwa kemampuan berpikir kritis siswa masih bervariasi. Ada yang sudah mencapai kategori sangat baik atau baik, tetapi banyak pula yang berada pada kategori cukup dan kurang. Temuan ini memberi gambaran bahwa kemampuan berpikir kritis belum merata di kalangan pelajar, bahkan di jenjang dasar. Padahal, berpikir kritis merupakan salah satu dimensi penting dalam literasi digital. Melalui kemampuan ini, seseorang bisa menilai informasi secara objektif, memeriksa sumber data, dan memahami konteks sosial dari konten digital yang ia temui setiap hari. Tanpa hal itu, kemampuan literasi digital menjadi timpang kuat di sisi teknis, tetapi rapuh di sisi kognitif.
Namun, tidak semua orang setuju dengan pandangan ini. Ada yang berargumen bahwa Generasi Z tidak perlu terlalu dikhawatirkan. Mereka dianggap sudah terpapar teknologi sejak dini, sehingga kemampuan literasi digital akan terbentuk secara alami melalui pengalaman. Selain itu, beberapa pihak juga menilai bahwa aspek berpikir kritis dan evaluatif sudah menjadi bagian dari kurikulum sekolah di berbagai tempat. Maka, ungkapan bahwa Generasi Z lemah dalam berpikir kritis dianggap tidak sepenuhnya berlaku di semua konteks.
Meskipun demikian, pandangan tersebut tidak sepenuhnya dapat dijadikan alasan untuk berpuas diri. Paparan terhadap teknologi tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuan berpikir kritis. Kenyataannya, paparan yang tidak disertai pendampingan justru bisa menimbulkan masalah baru. Banyak anak muda yang mahir mengedit video, membuat konten, atau menggunakan media sosial, tetapi belum tentu mampu menilai dampak sosial dan moral dari apa yang mereka bagikan. Penelitian di berbagai sekolah juga menunjukkan bahwa tidak semua siswa memiliki kesempatan yang sama untuk mengembangkan kemampuan literasi digital, karena faktor seperti keterbatasan fasilitas, kurangnya pelatihan guru, dan perbedaan kualitas kurikulum. Dengan kata lain, kemampuan digital Generasi Z masih sangat dipengaruhi oleh konteks pendidikan dan lingkungan mereka.
Intervensi pendidikan menjadi kunci penting untuk memperkuat literasi digital. Sekolah tidak hanya berfungsi sebagai tempat belajar akademik, tetapi juga sebagai ruang untuk membangun kesadaran kritis dan tanggung jawab sosial. Guru perlu berperan aktif, bukan hanya mengajarkan cara menggunakan teknologi, tetapi juga membimbing siswa untuk memahami isi dan makna dari informasi digital yang mereka konsumsi. Pembelajaran berbasis proyek, diskusi analitis, dan penugasan yang mendorong refleksi bisa menjadi metode efektif untuk melatih kemampuan ini. Dalam pelajaran Bahasa Indonesia misalnya, siswa dapat diajak membedakan berita fakta dan opini, atau menilai keakuratan berita daring. Dalam pelajaran PPKn, mereka bisa belajar etika digital bagaimana menyampaikan pendapat di dunia maya tanpa menyakiti orang lain, dan bagaimana menjaga jejak digital secara bertanggung jawab.
Selain dari lingkungan sekolahnya, keluarga juga memegang peran sentral. Orang tua tidak cukup hanya membatasi waktu anak menggunakan ponsel atau internet, tetapi perlu mendampingi dan berdialog. Ketika anak terbiasa diajak berbicara tentang apa yang ia lihat di media sosial, tentang berita yang ia baca, atau tentang konten yang ia tonton, maka di sanalah proses berpikir kritis mulai tumbuh. Keterlibatan orang tua membantu anak untuk melihat bahwa dunia digital bukan sekadar hiburan, tetapi juga ruang belajar dan interaksi sosial yang membutuhkan kebijaksanaan.
Selain peran keluarga dan sekolah, dukungan dari pemerintah dan masyarakat juga sangat dibutuhkan. Program pelatihan literasi digital untuk guru dan siswa harus diperluas agar menjangkau daerah-daerah yang masih tertinggal secara teknologi. Pemerintah dapat bekerja sama dengan lembaga pendidikan dan platform digital untuk menyediakan materi edukatif yang mudah diakses. Di sisi lain, masyarakat juga bisa berpartisipasi dengan menciptakan lingkungan digital yang sehat misalnya dengan tidak menyebarkan hoaks, menghargai perbedaan pendapat, dan membiasakan diri untuk memeriksa sumber informasi sebelum membagikannya.
Secara umum, literasi digital sangat penting bagi Generasi Z berlaku di sebagian besar konteks di Indonesia. Namun, tentu saja ada pengecualian. Di sekolah atau komunitas yang sudah memiliki program literasi digital yang baik dan guru yang terlatih, kemampuan berpikir kritis siswa bisa jadi lebih baik. Tetapi di banyak daerah lain, tantangan literasi digital masih sangat besar.
Generasi Z adalah harapan masa depan bangsa mereka cerdas, kreatif, dan cepat beradaptasi. Namun, tanpa kemampuan literasi digital yang matang, potensi itu bisa sia-sia. Di tengah banjir informasi, mereka harus belajar menjadi navigator, bukan sekadar penumpang. Literasi digital bukan hanya soal bisa menggunakan teknologi, tetapi tentang bagaimana menjadi manusia yang sadar, kritis, dan bertanggung jawab di dunia digital. Dengan kemampuan itu, Generasi Z tidak hanya akan menjadi pengguna teknologi yang tangguh, tetapi juga pembentuk masa depan yang lebih cerdas, jujur, dan beretika.
Tinggalkan Balasan