Media Sosial, Jalinan atau Jerat?

Dalam era digital yang semakin cepat, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia modern. Bagi generasi Z, dunia digital bukan sekadar sarana hiburan, melainkan ruang utama yang membentuk cara berpikir, berinteraksi, bahkan menilai diri sendiri. Mereka lahir dan tumbuh bersama teknologi, terbiasa dengan notifikasi yang tiada henti membuat mereka merasa perlu terus โ€˜hadirโ€™ di ruang maya agar tetap diakui keberadaannya. Namun, di balik jalinan konektivitas yang seolah memudahkan segalanya, ada sisi lain yang sering terabaikan, media sosial perlahan bisa mengganggu keseimbangan mental dan sosial penggunanya.

Menurut laporan World Health Organization (WHO, 2024), penggunaan media sosial yang berlebihan telah menjadi faktor pemicu meningkatnya gangguan kesehatan mental pada remaja. WHO mencatat bahwa 1 dari 7 remaja berusia 10-19 tahun mengalami gangguan mental seperti depresi atau kecemasan, yang salah satunya berkaitan dengan problematic social media use. Bahkan, survei terbaru WHO Eropa menunjukkan bahwa sekitar 11% remaja mengaku tidak bisa mengendalikan penggunaan media sosial dan mengalami penarikan diri saat tidak menggunakannya. Fakta ini memandakan bahwa hubungan antara remaja dan dunia digital telah melewati batas keseimbangan.

Rata-rata, Generasi Z menghabiskan waktu 7 hingga 9 jam per hari di platform digital seperti TikTok, Instagram, dan X (Twitter). Sebagian besar waktu itu dihabiskan bukan untuk belajar melainkan untuk hiburan dan interaksi sosial. Akibatnya, banyak pelajar kehilangan fokus karena terdistraksi notifikasi dan godaan untuk membuka media sosial. Tak jarang mereka mengalami kesulitan tidur akibat kebiasaan scrolling hingga larut malam. Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) ketakutan tertinggal dari trend menjadi salah satu penyebab meningkatnya stress dan kecemasan di kalangan remaja. Lebih jauh lagi, perbandingan sosial yang terus-menerus terjadi di media sosial menimbulkan tekanan psikologis, seperti merasa kurang cantik, kurang sukses, atau kurang populer dibandingkan orang lain yang ditampilkan dalam unggahan penuh pencitraan.

Kecanduan media sosial ini bukan sekadar persoalan kebiasaan, melainkan sudah mengarah pada krisis kesejahteraan mental. Hasil temuan American Psychological Association (APA, 2023) menyebutkan bahwa remaja yang aktif menggunakan media sosial lebih dari lima jam per hari memiliki tingkat kesepian dan isolasi emosional yang jauh lebih tinggi dibandingkan pengguna yang moderat. Fakta ini menegaskan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan tidak selalu membawa kebahagiaan. Sebaliknya, koneksi digital yang terlalu intens justru dapat menimbulkan perasaan keterasingan emosional yang mendalam.  

Di sisi lain, kita tidak dapat menafikan sisi positif media sosial. Platform digital telah membuka ruang kolaborasi, bisnis kreatif, serta peluang belajar tanpa batas. Banyak anak muda yang berhasil membangun karier, mengembangkan usaha, bahkan menemukan jati diri melalui jejaring digital. Dalam konteks ini, media sosial jelas merupakan jalinan yang membuka kesempatan dan memperluas wawasan. Ia dapat menjadi alat pemberdayaan yang luar biasa ketika digunakan dengan kesadaran dan tujuan positif.

Namun, di sinilah letak paradoksnya, ketika media sosial mulai menguasai waktu dan pikiran penggunanya. Algoritma yang dirancang untuk membuat orang betah berlama-lama membuat banyak pengguna kehilangan kendali. Rasa senang ketika mendapat likes atau komentar positif bisa berubah menjadi kebutuhan akan pengakuan. Lambat laun, hal ini memengaruhi cara seseorang melihat dirinya dan orang lain.

Untuk menekan dampak buruk tersebut, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) meluncurkan program Gerakan Nasional Literasi Digital sebagai bentuk eduksi terhadap masyarakat, terutama generasi muda. Program ini menekankan pentingnya kesadaran digital (digital awarness) dan kemampuan mengatur waktu layar (screen time management). Kampanye ini mendorong masyarakat agar tidak hanya pandai menggunakan teknologi, tetapi juga memahami dampak psikologis dan sosialnya.

Keseimbangan adalah kunci. Media sosial tidak perlu dijauhi, tetapi harus dikendalikan. Ketika seseorang mampu mengatur waktu penggunaan dan memilah konten yang dikonsumsi, media sosial bisa menjadi alat yang produktif. Di sinilah pentingnya setiap pengguna mengembangkan kemampuan self-regulation digital, mengetahui kapan harus berhenti dan kapan perlu memberi jeda. Pembatasan waktu bermain media sosial hingga 30 menit per hari dapat menurunkan tigkat depresi dan kesepian secara signifikan dalam waktu tiga minggu. Artinya, pengendalian diri bukan hanya soal kedisiplinan, tapi juga bentuk perawatan diri yang nyata.

Dalam jangka panjang, literasi digital perlu dimaknai lebih luas. Tidak cukup hanya paham soal keamanan data atau cara menggunakan aplikasi, tapi juga mencakup kemampuan memahami diri sendiri di tengah tekanan dunia maya. Sekolah dan keluarga berperan besar dalam mengajarkan empati, disiplin waktu, dan kesadaran emosional agar generasi muda tidak kehilangan arah di tengah derasnya arus digital.

Akhirnya, pertanyaan yang patut kita renungkan, apakah media sosial masih menjadi jalinan yang mempererat hubungan manusia, atau justru telah berubah menjadi jerat yang mengekang kebebasan psikologis kita? Jawabannya tergantung pada bagaimana kita menggunakannya. Media sosial bisa menjadi ruang tumbuh yang positif jika kita mampu mengatur diri dan memanfaatkan teknologi dengan bijak. Namun tanpa kesadaran itu, ia bisa berubah menjadi ruang yang melelahkan dan memisahkan kita dari dunia nyata.

Oleh karena itu, tantangan terbesar kita saat ini bukanlah menolak media sosial, melainkan membiasakan generasi muda untuk hidup berdampingan dengan teknologi secara sehat, seimbang, dan manusiawi. Media sosial bisa menjadi jalinan penghubung, atau bisa juga menjadi jeratan yang mengganggu psikologi penggunanya, dan pilihan itu sepenuhnya ada di tangan kita.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Irwant

Rindi Rindu

Cerpen Sholikhin Mubarok

Cerpen : Asti Karya Sholikhin Mubarok

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Mengembangkan Didik Anak di Era Milenial

Apacapa fulitik Rasyuhdi

GOR BK Itu Narsisme Politik Saja Sih

Apacapa fulitik melqy mochammad marhaen

“Karpet Merah” Rakyat Situbondo

Alex Cerpen

Cerpen: Dia Bukan Gatot Kaca

Apacapa

Solois dan Gejala Sosial

Buku Ulas

Senyum Karyamin: Perihal Kesederhanaan

Politik sukandi

Bukan Kolosal Karmapala: Habis Gelap, Terbitlah Perubahan

Cerpen Gusti Trisno

Cerpen – Joe dan Dua Orang Gila

Apacapa Imam Sofyan

Kenapa Gerakan Situbondo Membaca Lahir?

Cerpen Ulfa Maulana

Cerpen: Peri dan Kekuatan Kenangan

Mored Moret Puisi RM. Maulana Khoeru

Puisi: Proposal Rindu Karya RM. Maulana Khoerun

Ayis A. Nafis Puisi

Puisi: Hikayat Sebuah Maut

Uncategorized

Hari Raya Kurban dan Penghutbah yang Setia

Agus Hiplunudin Apacapa Feminis

Waria dan Kemenangan Kaum Feminis

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Bahagia Mencintai Diri Sendiri

Apacapa

Apacapa #3 Literasi Komunitas Situbondo

Puisi Tjahjaning Afraah Hasan S. A.

Puisi Ruah Alam Waras

Apacapa

Muscab DPC PKB Situbondo Angkat Tema Partai Advokasi