Ahmad Sufiatur Rahman
di depan Primkopad Kodim 0823 di Jalan PB. Sudirman, Situbondo, itu berdiri
gagah melawan panas matahari, hujan dan angin. Dari saking lamanya kadang
catnya yang luntur dipoles ulang agar lebih mengilap. Apalagi saat Agustusan.
Letnan Nidin hanya menatap kosong ke arah langit, dan Letnan Soenardi yang
memakai kaca mata hanya menatap tanpa makna ke arah kendaraan yang berlalu
lalang melewatinya setiap siang dan malam. Para pengendara yang berseliweran di
depan Kodim pun sudah terbiasa dengan pemandangan itu. Kadang pejalan kaki
mengedarkan pandangan ke arah patung itu, sebagian melamun sebagian lagi
bertanya-tanya, siapa tokoh pejuang yang sampai dijadikan monumen sejarah itu?
masih kecil saya juga sering bertanya kepada ayah. “Ayah, siapa patung itu?”
itu Pak Nidin,” jawab ayah. Berhenti di situ tak dilanjutkan lagi.
yang masih kecil terus bertanya-tanya. “Siapa Pak Nidin?” Dalam benak terbayang
Pak Nidin pastilah orang hebat sehingga dijadikan patung yang gagah. Pertanyaan
itu masih tak terjawab sampai saya duduk di SMP, SMA sampai kuliah di luar
kota.
suatu ketika saya menulis novel perjuangan tokoh nasional KHR. As’ad Syamsul
Arifin, Kesatria Kuda Putih: Santri Pejuang, barulah mengenal siapa sosok
Letnan Nidin dan Letnan Soenardi. Hanya sebatas tulisan yang diukir di batu
prasasti:
situbondo yang patut kita kenang. Letnan I Soenardi (22 tahun) Perwira Siasat
Batalyon 5 Resimen 40 Gugur Tanggal 21 Juli 1947 di Wringin Anom. Letnan I
Nidin Sastro Prayitno (22 tahun) Komandan Seksi Gabungan Anggota Batalyon 5 dan
Anggota Kelaskaran Gugur Tanggal 31 Agustus 1947 di Gladak Dualem Arjasa
Situbondo.
berbekal informasi itu saya melakukan riset/penelitian secara mendalam tentang
peristiwa bulan Juli sampai Agustus tahun 1947. Dari hasil riset itu ternyata
sejarah Agresi Militer Belanda pertama yang melibatkan pejuang dari Situbondo
tidak pernah diungkap atau diceritakan dalam buku-buku sekolah muatan lokal.
Akibatnya? Tidak ada generasi muda yang mengetahui tentang sejarah pejuang di
kota mereka sendiri. Pawai-pawai dan karnaval pun tak ada yang mengungkap aksi
heroik Letnan Soenardi dan Letnan Nidin yang mempertahankan Situbondo dengan
darah dan air mata kala itu. Ditambah tidak adanya museum, buku muatan lokal,
dan teater yang menjadi agenda rutin mengakibatkan monumen itu hanyalah tinggal
monumen belaka. Hanya sebongkah batu yang membentuk patung yang tak memberikan
inspirasi kepada siapapun yang melihatnya. Tak kenal maka tak sayang. Tak
mengetahui maka tak dapat mendapat inspirasi. Karena ketidaktahuan itulah
generasi muda di Situbondo seperti tak memiliki jati diri. Mudah ikut-ikutan
arus hura-hura dan zaman yang hedonis.
para generasi mudanya tak memiliki sejarah dan jati diri kotanya, bagaimana
bisa bahu-membahu membangun kotanya dengan semangat tinggi? Dan bagaimana jika
mereka nanti ditanya oleh anak-cucu mereka? Siapa yang akan menjawab? Apalagi
peristiwa Agresi Militer Belanda 1 bukan hanya lokal namun sudah nasional.
Peristiwa sejarah tak serta merta terjadi begitu saja. Sejarah adalah mata
rantai yang saling berkaitan antara peristiwa satu dengan yang lainnya.
Mempelajari satu mata rantai sejarah berarti harus menelusuri mata rantai yang
lain yang akhirnya akan berhubungan dengan sejarah dunia.
suatu bangsa adalah ketika rakyatnya menghargai dan menghormati jasa-jasa
pahlawannya. Karena dengan mengingat sejarah, kita bisa memperoleh semangat perjuangan
para perintis negara ini. Dengan mengingat sejarah, kita memiliki jati diri
sebagai pejuang yang tak mudah berputus asa dan ikut-ikutan budaya asing. Dengan
mempelajari sejarah kita bisa lebih menyukuri zaman kemerdekaan yang harus
diisi dengan kegiatan positif dan inspiratif.
nanti saya ditanya tentang patung di depan Kodim itu, setidaknya saya memiliki
kisah sejarah dan kisah heroik yang bisa diceritakan.
bagaimana dengan yang lain?
hanya beberapa saja yang mengetahui sejarah kotanya, sedangkan sekitar tujuh
ribu warganya tidak mengetahui? Apa yang akan diwariskan dari kota ini?
Letnan Nidin dan Letnan Soenardi akan tetap membisu, tanpa makna, tanpa arti,
kecuali jika kita memiliki sejarah perjuangan mereka, maka monumen itu akan
lebih banyak berbicara.
14 Januari 2017. Bakda Maghrib.
Tinggalkan Balasan