Percakapan Iwoh dan Saydi

Percakapan
dua orang sahabat ini mengingatkan saya pada kisah pertemuan antara Alexander
Agung dan seorang Guru Yoga di India.
Saat
berkeliling, Alexander melihat seseorang yang sedang telanjang duduk di atas
batu dan menatap langit.
Apa
yang kamu lakukan? Sang Guru memulai membuka percakapan.
Saya
menaklukkan dunia, Alexander menjawab dengan bangga.
Lalu
bertanya balik, Apa yang kamu lakukan? Saya menikmati kehampaan dunia, jawab
Sang Guru tak kalah bangga.
Kemudian,
keduanya tertawa pecah karena masing-masing berpikir lawan bicaranya bodoh dan
menyia-nyiakan hidupnya.
Kisah
tersebut, meskipun konteks percakapannya berbeda, tapi menurut saya ujungnya
sama. Saling menertawakan kelakuan masing-masing lawan bicaranya.
Saat
saya sedang asik ngobrol bersama Saydi, Iwoh datang. Ia tidak langsung
nimbrung, malah mlipir ke dapur.
Selang
30 menit, Saydi menengok Iwoh di dapur. Ternyata Iwoh sedang duduk di kursi
kecil, di tempat cuci piring, bersanding kopi, sedang asik telponan.
Sudah
dapat dipastikan, saat laki-laki telpon berlama-lama, di tempat yang tak
sewajarnya, dan mulai menjauh dari teman-temanya, itulah cinta, kata Saydi.
Dulu,
Imron yang paling jahil, saat Saydi telponan.
Ketika
Saydi tahu Iwoh mulai mengidap hal yang sama. Dengan gaya khas slogan di bak
truk, Gimana enak kan kalau punya cinta!? Saydi merasa menang.
Iwoh,
lempeng-lempeng saja, tidak menghiraukan Saydi. Asik dengan dunia barunya dan
tak ingin diganggu.
Sejam,
dua jam, sampai hampir tiga jam, dengan wajah datar Iwoh nimbrung sambil
menenteng kopinya yang hampir tandas. 
Lalu, Iwoh berkelakar, Cinta itu kesunyian masing-masing, Saydi.
Prek,
dulu kalau aku telponan kamu selalu ganggu, gak terima kalau temannya senang,
Saydi menimpali.
Itu
kan dulu, jawab Iwoh sekenanya.
Tapi,
kenapa sekarang kamu tidak sering telponan lagi? tanya Iwoh sambil cengengesan.
Saydi
mulai panas. Gini Iw, tahap bercintamu itu masih kelas pemula. Telponan masih
belum pake headset sudah berani nanya-nanya.

Sontak, keduanya tertawa
pecah, teringat pada cintanya masing-masing. [] 



Biodata Penulis
Marlutfi Yoandinas, pendiri Rumah Baca Damar Aksara, Situbondo.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Puisi

Seorang Santri dan Puisi Lainnya

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Perlawanan Terhadap Eksploitasi Anak

Dani Alifian Puisi

Puisi: Tamadun Semu

Gilang Sakti Ramadhan Puisi

Puisi: Semadi Bulan

Apacapa Esai rizki pristiwanto

Raffasya dan Keramaian yang Sunyi

Puisi

Pengharapan

Apacapa Fendi Febri Purnama Madura

Kèta’ Kèdhung

Buku Toni Al-Munawwar Ulas

Ulas Buku : Renungan Tasawuf

Baiq Wahyu D. Puisi

Puisi: Purnama di Bulan Januari

Cerpen

Cerpen: Apakah Rumah Perlu Dikosongkan?

Apacapa Fadhel Fikri

Revolusi Digital dan Keterasingan Sosial: Siapa yang Diuntungkan?

takanta

8 Taon Takanta

Apacapa Syaif Zhibond

Tak Perlu Memperkuat Kemanusiaan Generasi Digital

Puisi

Tanahku Bersaksi dan Puisi Lainnya

Ahmad Radhitya Alam Puisi

Puisi: Kopi Mawar

Cerpen

Cerpen: Sebelum Janin

Novy Noorhayati Syahfida Puisi

Puisi: Menggambar Kenangan Karya Novy Noorhayati Syahfida

Agus Hiplunudin Apacapa

Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Parpol Diuji pada Pemilu 2019

Cerpen Iffah Nurul Hidayah Mored Moret

Cerpen Mored: Percaya

Ahmad Radhitya Alam Puisi

Ludruk dan Puisi Lainnya Karya Ahmad Radhitya Alam