Puisi: Pakaian Dari Bayang-Bayang Maut


Merogoh
Kardus
Dalam sebuah kotak gelap

di bagian bumi yang lain
aku mencari jejak yang tertulis
di seutas tali penjerat orang sinting
Tak ada yang mampu
bersembunyi
di sehelai baju pembuat boneka
yang jarang mengucapkan
selamat malam
Undurlah usaha bunuh
diri
sebab napas masih terlalu dini
untuk meniupkan sunyi
Pada ruang ini
sebelum sayap kata-kata beku, di bawah
titah tuhan yang keras, aku memang ingin
segala yang tak terucap, perlahan-lahan
menjadi tajam untuk mengiris tragedi
paling mengerikan.
2020
Cogito
Beranjaklah ia dari
kepala
sedetik kemudian
ia pun memekik ngeri
di antara larik-larik puisi
Setelah itu
tiap akhir kalimatmu
menguap jadi gas di puncak bulan
yang melingkar
Demikianlah kisah,
di luar definisi yang meluncurkan
sesuatu yang mungkin tak ada
Barangkali titik
kelabu
di ujung belati jatuh
saat waktu,
tak menemukan apa-apa
2020
Penidur
Ketika kamar istana
yang katamu melengkung
kadang sesekali memanjang
sampai tidak bisa diucap
oleh satu patah kata pun
Benar, kini ranjang-ranjangnya
telah menjadi jembatan
bagi debu dan nafsu paling laknat
pada tanah purbanya sendiri
Jujur suaraku masih
serak
untuk teriak merdeka
namun sebagai tukang tidur
biarkan aku terbaring
dalam pikiranku sendiri
2020
Pakaian
Dari Bayang-Bayang Maut
Antarkan mantel bulu
yang panjang
dan hitam itu ke langit sore!
kini di mana-mana tuhan telah menjelma
segenggam api dari jagat yang dieja
sebagai kupu-kupu penuh warna
Memburu arti dengan
tubuh
ketika cahaya lembut semakin terbata-bata
memanggil sepasang burung yang terlelap
di ranting-ranting kemboja
Waktu menjadi ajaib,
saat berjalan
ke pintu yang tak perlu rasa hormat
kepada siapa pun
Dan lewat rongga
dada yang rampung
menghirup-hembuskan sebuah lagu,
tak ada potongan-potongan teks tersisa,
di balik resah tepian ranjang.
2020
 
Misantropia
Bersama warna air di
suatu malam
bulan mengambang dan menjauh
menuju waktu
Tinggalah sebentar
saja
dalam tatapan seorang pengiman
yang tak terwakili tanda baca
Tetapi, “mengapa kau
membikin
ciptaan itu abadi ketika kelam
merapat ke sisi kita?”
Siapa pun dan atas
nama apa pun
mereka sama-sama tak berkepala
2020
BIODATA PENULIS

Yuris Julian lahir
di Pelabuhan Ratu, Sukabumi, Jawa Barat, 16 Agustus  
 1995. Alumnus Universitas Islam Negeri (UIN)
Sunan Gunung Djati
 Bandung. Kini bergiat di Lesehan Sastra
Kutub Yogyakarta (LSKY)
Julianyuris1995@gmail.com

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Ahmad Zaidi Buku Telembuk Ulas

Membaca Telembuk; Membaca Cinta yang Keparat

Apacapa Moh. Imron

Udeng Jengger, Odheng Khas Situbondo

Nurul Fatta Sentilan Fatta

Menolak Sesat Pikir Pendidikan Cuma Cari Ijazah

Aris Setiyanto Puisi

Puisi: Pendaki

Apacapa Sutrisno

KH. A. Wahid Hasyim; Perjuangan dan Pemikiran tentang Pendidikan, Politik dan Agama

Anwarfi Citta Mandala Puisi

Puisi-puisi Citta Mandala

Cerpen Sungging Raga

Cerpen: Harimau dan Gadis Kecil

Puisi Riepe

Puisi – Ratapan Sunyi

Apacapa Moh. Imron takanta

Kumpul Komunitas: Merdeka Belajar dan Belajar Merdeka

Agus Yulianto Cerpen

Cerpen : Cinta Semusim Karya Agus Yulians

Ahmad Radhitya Alam Buku Ulas

Resensi Buku Dialog Hati Anak Negeri : Menggali Esensi Berkarya dari Sebuah Cerita

Apacapa Esai Marlutfi Yoandinas

Jika Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan*

Apacapa apokpak N. Fata

Ketika Elit Oligarki Berkuasa, Kemerdekaan Bukan Lagi Milik Kita

Cerpen Layla Shallma Putri Pracia

Cerpen: Di Bawah Langit Biru

Moh. Yusran Moret

Puisi Mored: Madu Empedu dan Puisi Lainnya

Cahaya Fadillah Puisi

Puisi-puisi Cahaya Fadillah: Setelah Engkau Pergi

Halim Bahriz Puisi

Puisi: Rutinitas Berkenalan dengan Diri Sendiri

Puisi Ratna Kuatiningsari

Puisi: Doa-Doa Semak Belukar

Musik Supriyadi Ulas

Desember dan Musik yang Sendu

Apacapa Kampung Langai

Langai: Bersuara Ataukah Dibungkam?