Selimut Air Mata

Sejak 10 tahun terakhir, Ibu belum lagi menyentuh tanah Bali, tanah yang melahirkannya ke dunia. Namun waktu panjang itu akan segera tiada, dan seminggu lagi Ibu akan kembali berada di sana.

Begitu mendengar kabar ada keluarga Bali yang mau melangsungkan pernikahan, Ibu bertekad untuk datang dan meminta salah seorang saudaranya untuk bisa menjemputnya ke Situbondo. Ibu bukan manja. Bukan karena ia tidak mau menaiki kendaraan umum seperti bis ataupun travel. Melainkan Ibu sudah renta usia—sudah agak sedikit susah menggerakkan kaki dan bagian tubuh lainnya tanpa bantuan orang lain.

Aku akan ikut, dan itu pasti. Sebab di banding saudaraku yang lain, Ibu lebih sering meminta aku yang menemaninya saat berpergian jauh. Dan berpergian jauh bersama Ibu adalah hal yang selalu aku tunggu-tunggu.

Seminggu sebelum keberangkatan kami, tepat hari sabtu pukul 04.00 WIB sebelum subuh, kami berdua duduk bersama di ruang tamu. Akibat saling menunggu karena sama-sama kebelet pipis, sedang masih ada Ayah di kamar mandi. Kami berbincang, Ibu mengingatkan beberapa hal. Sebaliknya, aku menanyakan beberapa hal.

“10 tahun sudah cong, Ibu ga ke bali.” kata Ibu, dengan suara sendu dan sedikit berat.

“Iya, Bu. Waktu yang sangat lama.”

“Tapi kali ini, perjalanan kita akan sedikit lebih menyenangkan. Lebih lengkap. Sebab, Ayahmu akan ikut dalam perjalanan kali ini”

Belum aku respon, Ibu melanjutkan omongannya, ”Entah, apakah ini akan menjadi perjumpaan terakhir antara Ayah-Ibu dengan Nenekmu, atau, Tuhan masih mau memberikan kesempatan sekali lagi setelah pertemuan Sabtu depan nanti.”

Sejak Ibu mulai sakit-sakitan, Ibu seringkali berbicara seolah di dalamnya mengandung bawang: mengundang air mata. Apakah semua orang tua yang sudah rentan usia seperti Ibu, selalu membahas topik-topik yang dapat mendatangkan kaca es pada mata? Aku bertanya-tanya. Sebagai anak yang belum menikah, tentu aku tidak siap kehilangan mereka. Karena pada siapa lagi aku bersandar kalau bukan pada kedua orang tuaku yang selalu ada. Dunia kerapkali mendatangkan gelisah, rasa sakit, kecewa, yang semua itu hanya pada mereka aku berani bercerita. Mendengar ucapan yang berulangkali sama dari Ibu, hatiku terasa rapuh, bibirku terasa getir untuk menjawab, dan lagi-lagi aku dipaksa untuk menahannya.

Aku menghela nafas panjang, sebelum merespon perkataan Ibu. “Sebaiknya Ibu mengingat hal-hal yang dapat mengundang harapan, dan yakinlah bahwa Tuhan masih mau memberikan kalian umur panjang” ucapku pada Ibu.

Ibu tidak menanggapi, justru ia berbicara diluar dari topik ini, tanpa aku duga. “kamu harus mencari pasangan yang kasihan sama kamu dan juga orangtuamu. Kamu ….”

Belum selesai ia meneruskan, aku potong cepat-cepat omongannya, khawatir omongannya merambah kemana-mana. Ibu tahu, dua bulan terakhir, aku baru saja selesai menjalin hubungan dengan tunanganku. Dan itu bukanlah masalah. Aku menganggapnya sebagai takdir yang telah ditentukan oleh Tuhan, dan harus diterima dengan lapang dada. Ibu terlalu prihatin dan khawatir, hingga di setiap kesempatan sedang berdua denganku, Ibu selalu menyelipkan pembahasan tentang itu. Aku muak! Karena aku merasa itu bukanlah masalah. Sekali lagi, bukanlah masalah.

Dengan cepat aku mengganti obrolan itu dengan menyodorkan pertanyaan yang ada kaitannya dengan pemberangkatan kita ke Bali. “Apakah nanti bila tiba di kapal Ibu akan beristirahat di tempat biasa kita makan pop mie?”

“Cong… Lihatlah kondisi Ibu sekarang, apakah menurutmu Ibu masih kuat menaiki tangga-tangga di kapal?”

Sontak, aku terdiam. sedikit kecewa, tapi kalimat itu seolah meminta pemakluman. Sebab, untuk berjalan saja Ibu harus mengenakan tongkat. Dan aku rasa, harapan disuapi oleh Ibu di kapal, sambil menikmati debur ombak serta pemandangan bertemunya dua pulau, sirna begitu saja. “Kita bisa menikmati pop mie itu di kabin bawah, Cong. Di bawah, Aroma laut akan tercium lebih semerbak, meski sedikit bercampur dengan asap knalpot kendaraan.” katanya.

“Benarkah Ibu akan keluar mobil dan mau melihat laut bersama lagi?” aku bertanya, berusaha meyakinkan diriku sendiri.

“Mengapa tidak? Toh, repotnya tidak seberapa dibanding Ibu naik ke kabin atas. Hanya ketika saat turun dari mobil, dan saat mengantar Ibu ke kamar mandi bila kebelet pipis. Tapi kamu harus siap direpotkan dengan urusan itu.”

”Sama sekali itu tidak merepotkan, Bu. Karena itulah yang aku mau.” Jawabku.

Setelah hampir 30 menit aku mengobrol dengan Ibu, Ayah tiba-tiba muncul. Ia baru selesai mandi. Ia menyapa, seolah tidak tahu kalau kita berdua sudah lama menantikan dirinya keluar dari kamar mandi. Ayahku, adalah seorang yang was-wasan. Mandi saja hampir menguras waktu hampir sejam. Mengalahkan waktu mandi besarku. Bahkan jika disatukan dengan waktu keramas Ibu, waktu mandi Ayah masih lebih lama dibanding itu. Tanpa lama, Ibu lebih dulu masuk ke kamar mandi, dan aku kembali menunggu. Setelah Ibu selesai, aku bergegas menggantikannya sebelum melangsungkan ibadah subuh.

Jam telah menunjukkan pukul 04.45 WIB. Aku termangu di sudut kamar seorang diri, memikirkan sinyal baik yang sudah Ibu berikan. Bahwa, momen di mana aku dan Ibu dapat berdiri lama di atas kapal dengan memegang satu cup pop mie, serta menatap lautan biru nan luas juga pemandangan dua gunung yang senantiasa mengitari perjalanan kami akan kembali terjadi. Ada keluh yang tiba-tiba muncul, datang dengan sendirinya ketika aku menatap sebuah foto saat sedang berada di Bedugul—wisata di Bali yang kerapkali di datangi oleh penikmat wisata dari penjuru dunia. Di foto itu, hanya ada aku dan keluarga kakak keduaku. Aku menyayangkan, mengapa aku dilahirkan ketika Ibu dan Ayah sudah tidak bergairah lagi mengunjungi tempat-tempat wisata. Mereka terlalu disibukkan dengan urusan rumah, seolah lupa bahwa anak terakhirnya juga butuh mengabadikan momen indah bersamanya di tempat-tempat seperti itu. “Aah! apa guna aku mengeluh hal semacam ini.”

Aku disadarkan dengan pikiran yang muncul, juga secara tiba-tiba. Menganggap keluhan sebagai tindakan yang sia-sia, tidak bisa menjadikan sesuatu berubah dan menjadikannya lebih baik. Aku merasa sulit memejamkan mata, belum puas dengan perkataan Ibu. Berkali-kali menghidup-mematikan lampu agar bisa tidur, tapi nyatanya tidak bisa.

Aku keluar kamar, sekedar ingin mencari angin segar, agar bisa membelai mata-mataku supaya bisa bertambah kadar kantukku. Tapi lagi-lagi, tidak bisa. Sebelum kembali ke kamar, Ibu memanggilku dari dapur, dan menyuruhku untuk datang kepadanya. Aku pun menuruti panggilannya. Setelah tiba di dapur, Ibu melanjutkan percakapan yang tadi.

“Lima tahun terakhir, kamu seorang diri pernah mengunjungi Nenekmu di Bali. Ibu hanya ingin dengar sekelumit cerita darimu saat kau ada di sana. Boleh?”

Sebetulnya aku paham betul mengapa Ibu menanyakan hal semacam itu. Ia hanya ingin menguatkan kerinduannya pada kampung halamannya dengan cerita-cerita bahwa kehadirannya sangat ditunggu-tunggu oleh keluarga Bali. Dari apa yang aku ingat, aku mulai bercerita.

“Saat pertama tiba di Bali, hal yang mereka tanyakan adalah kabar Ibu, kondisi Ibu, dan bagaimana hari-hari yang dilalui Ibu. Bukan bertanya jam berapa aku berangkat, apakah aku sudah makan atau belum. Mereka sangat merindukan kehadiranmu, Bu, sama seperti Ibu merindukannya. Bahkan, di hari-hari aku mengunjungi satu persatu rumah keluarga Ibu, mereka sama saja menanyakan apa yang ditanyakan Nenek. Mereka menghargai kehadiranku karena menganggap ada separuh di dirimu yang juga hadir bersamaku, Bu.”

Ibu terlihat sedang memalingkan wajahnya, dan menyeka sedikit air yang meluncur dari matanya. Ibu hanya diam, tanpa memberikan sedikit respon dari ceritaku. Aku melanjutkan, dengan cerita yang berbeda. Cerita yang mengingatkan rekaman aku dan Ibu saat melakukan perjalan ke Bali. Cerita yang kejadiannya selalu sama. Berulangkali.

”Bu, sejujurnya bukan hanya makan pop mie saja yang aku rindukan, aku juga rindu ketika Ibu bercerita tentang orang-orang Jawa saat berada di perairan selat Bali. Dan ketika kembali pulang, Ibu akan menceritakan juga setiap laku yang terjadi di Bali ketika kapal sudah tiba di perairan Ketapang. Di mana, di sela-sela bercerita, Ibu akan merapikan rambutku, menghapus butir-butir mie yang singgah di arena bibirku.”

Dengan penuh harap, aku yakin Ibu mau melakukannya sekali lagi. Sebab, dari cerita-cerita Ibu lah aku bisa menjadi dua pribadi, pertama seperti orang Bali—berani dan rendah hati. Kedua seperti orang Jawa campuran Madura— lembut dan berhati-hati.

“Permintaanmu itu, hanya 60% dari keseluruhan yang kita lakukan, Cong. Kamu melupakan saat-saat kita berada di Bis. Saat kamu mabuk, Ibu menyediakan kresek. Saat kamu menunjuk-nunjuk ke luar, seperti hutan Baluran, Ibu memberitahumu beberapa hal. Bahkan saat kamu tak kuat menahan kencing ketika bis masih jauh dari tempat pemberhentian, Ibu selalu menyiapkan sebotol air kosong, agar kamu bisa lega menumpahkan air kencingmu itu.” kata Ibu, dengan sedikit senyuman, dan sisa hamparan air mata di pipinya.

“Bukan hanya itu, Cong. Saat kamu kebelet berak di kapal, kamu akan mengeluh karena susah mengeluarkannya akibat derasnya ombak yang menggoyang-goyangkan kapal. Di saat itu, Ibu masih bersetia menunggu, dan menenangkanmu agar lebih rileks mengeluarkan hajat besar.” tambahnya, dengan senyuman yang lebih merekah.

Kali ini, aku yang merasa sedikit malu ketika Ibu selesai bercerita. Mataku dibuat berkaca-kaca. Penglihatanku aku alihkan ke wajan tempat telor yang sedang Ibu bikin. Telor sudah matang, lalu Ibu pindahkan ke piring kecil dan dipotong-potong. Sebelum bergegas membawanya ke meja makan, Ibu kembali mengeluarkan kata sembari memegang pundakku.

“Nanti ketika kita sudah berangkat, apakah kamu sanggup menggantikan posisi Ibu?”

“Posisi Ibu yang mana?” aku bertanya, agar bisa memahaminya secara utuh.

”Seperti yang Ibu lakukan padamu, Cong. Menjaga Ibu beserta tambahan tugas lainnya. Menyiapkan kresek saat Ibu mabuk. Menuntun Ibu ke kamar mandi saat Ibu kebelet pipis, dan menjaganya sampai selesai. Karena tidak mungkin Ayahmu mau melakukan itu, dan mau sesabar Ibu yang pernah dilakukan padamu.” Ucap Ibu, dengan tangannya yang masih bersandar di pundakku.

“Pasti, Bu. Pasti! Dengan senang hati.”

”Terimakasih, Cong. Semoga kamu lebih sabar menghadapi Ibu yang mungkin lebih cerewet dari kamu saat itu. Kamu juga perlu memerhatikan Ayahmu, karena Ibu rasa tidak bisa sempurna melayani ia selama perjalanan nanti. Jagalah Ayahmu sebagaimana kamu bersedia menjaga Ibu.”

“Ya, Bu. Akan aku lakukan semua yang Ibu Suruh.”

Ibu pun meninggalkan dapur, dan berjalan ke ruang meja makan. Aku pun bergegas masuk kamar. Belum sempat membaringkan badan, air mataku berlinang membasahi pipi. Bantal pun ikut basah. Aku merasa ada harapan yang tak lagi mengguncang semangat. Hanya sekedar dapat membangkitkan jiwa yang rapuh.

Sebelum kesenduan usai, aku memanjatkan doa, semoga di hari-hari keberangkatan kami, Kedua orang yang aku sayangi dapat diberikan kesehatan. Agar nanti ketika sudah berangkat, mereka tidak terlalu banyak memberikan hal-hal yang merepotkan. Meski sebetulnya aku siap dengan apa yang terjadi, tapi aku berharap semuanya berjalan sesuai dengan rekaman yang telah Ibu dan aku ceritakan. Baiklah! Saatnya tidur. Aku mengucapkan selamat tidur pada diriku sendiri.

Penulis

  • Ihsan lahir pada tanggal 11 Juni 2000 di Situbondo, Jawa Timur. Menyelesaikan pendidikan formal di Fakultas Tarbiyah Universitas Ibrahimy. Dirinya memang suka menaruh perhatian pada kepenulisan. Sebab menurutnya, bertemu bersama orang yang dapat memberikan pengetahuan lebih berharga dalam hidupnya daripada bertemu dan duduk bareng dengan orang-orang yang hanya ingin menuntaskan segala bentuk kepentingan.  IG @Cchaann__


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Ira Atika Putri

Cerpen: Budak!

Buku Indra Nasution Ulas

Kritik Terhadap Demokrasi

Irham Fajar Alifi Puisi

Puisi: Kita Tak Sendiri

Apacapa

Semsem 1: Silaturahmi Seni ke Timur

Mahadir Mohammed Puisi

Puisi: Dimensi Mimpi

Apacapa Review Film Syaif Zhibond

Ketika Obat Jadi Alat Persekongkolan Menkes, Dokter, dan Pengusaha

Apacapa Esai Imam Sofyan

Wisata Perang: Gagasan Brilian Sang Bupati

Puisi Syukron MS

Puisi: Kapsul Cinta

Puisi Ratna Kuatiningsari

Puisi: Doa-Doa Semak Belukar

Cerpen Haryo Pamungkas

Cerpen : Kota dan Hujan di Pagi Hari Karya Haryo Pamungkas

Apacapa

Iduladha sebagai Perayaan Berbagi dan Menyelamatkan Sesama

Cerpen Nasrul M. Rizal

Cerpen : Perihal Tabah Karya Nasrul M. Rizal

Buku Rudi Agus Hartanto Ulas

Resensi: Tugasmu Hanya Mengizinkan

Mohammad Cholis Puisi

Puisi: Celurit yang Tergantung

Apacapa Moh. Imron

Wahyu Agus Barata dan Ipul Lestari ; Senior Kesepian

Puisi Syukur Budiharjo

Puisi: Sajak Kenangan Kota Tua

Cerpen Wilda Zakiyah

Cerpen: Siklus Selotirto

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Novel Anak Bersudut Pandang Banyak

Cerpen

Lelaki di Tepian Pantai yang Memandang Gunung

Apacapa Syarafina Khanza Digananda

Begini Serunya Training of Trainer (ToT) Menulis Cerpen