Tahun Baru? Why Not?

Di saat semua orang
sibuk berbelanja di pusat perbelanjaan, Karim dan Karjo malah asik ngopi di Kedai
yang terletak tidak jauh dari rumah mereka. Sepiring pisang goreng dan 2 gelas
kopi hitam berbaris rapi di hadapan mereka. Kopinya masih baru diseduh. Hangat
dan ngeb
hul.
Oleh : Muhaimin
Tidak
seperti biasanya, malam itu hanya ada mereka berdua. Biasanya kedai tersebut ramai
oleh pengunjung. Karena hamp
ir
semua orang yang ada di kampong itu pada keluar kota , berkumpul di alun-alun
kota. Semua berangkat dengan satu tujuan, memeriahkan tahun baru. “Amunisi”
mereka lengkap, terompet dan seperangkat petasan dan kembang api. Sudah siap.
Semuanya sudah digenggam, kecuali oleh Karim dan Karjo.
Di
tengah menikmati hidangan pisang sambil menyeruput kopi, sebuah perbincangan
kecil terjadi.
“Jo. Kamu kok gak
tahun baruan?” Tanya Karim sambil menyeruput kopinya.
“Ngapain,
Rim. Lah wong sama saja. Aku tahun
baruan atau tidak, tahun baru akan tetap terjadi. Iya
toh?”
Ujarnya sambil mengunyah pisang gor
eng di depannya.
“Iya
sih. Tapi kan nanti kamu gak kekinian
seperti kata anak-anak zaman sekarang”.
Karjo
tertawa terbahak-bahak mendengar perkataan
Karim.
“Rim,
Rim! Kamu ini ada-ada saja. Yang kekinian itu kalau kamu memperbaharui dirimu.
Dirimu yang sekarang harus menjadi lebih baik untuk esok. Kalau dirimu yang
sekarang dan besok sama saja, ya mau tahun baru berapa kalipun tidak ada nilainya.
Tapi, ingatlah bahwa setiap manusia punya hak. Dan hak itu boleh mereka gunakan
selama tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, kalau orang mau
tahun baruan atau tidak, aku tidak boleh mengomentariya. Wong itu hak mereka kok!”
“Ah.
Kamu sok ngasih motivasi, Jo. Kayak
orang-orang di tipi saja” Karim
tertawa cekikikan mendengar Karjo berkata bijak. Biasanya dia selalu berkata
agak ngawur.
“Haha…
Benar katamu, Rim. Aku memang sok ngasih
kamu motivasi. Karena aku ingin belajar merefleksikan diriku melalui orang
lain. Jadi, kamu itu aku anggap sebagai diriku. Dan saat aku member
itahumu sesuatu,
hakikatnya aku sedang memberitahukan hal itu pada diriku sendiri.”
“Benar
juga sih katamu. Ah, malam ini aku kalah bicara sama kamu, Jo. Sudah seruput
lagi kopinya”

Mereka berdua tertawa lepas sambil menggenggam
segelas kopi yang mulai dingin. Tapi rasanya tetaplah kopi. Dan ternyata,
keakraban mereka berdua timbul karena memiliki selera kopi yang sama. Kopi
pahit. Aneh, bukan? So, this is the power
of coffe
. Masalah yang dibicarakan ngawur atau tidak itu adalah hak mereka
berdua. Karena yang terpenting saat mereka mengobrol di warung itu adalah,
membayar jumlah pisang goreng yang telah dilahap lengkap dengan gelas kopi yang
tinggal ampasnya saja.




Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa

Dadang Wigiarto; Bupati Religius itu Berpulang

M Firdaus Rahmatullah Mored Moret Puisi

Gunung Ringgit dan Puisi Lainnya

Apacapa

Ketika Jurnalisme Tidak Harus Selalu Bergegas

Ahmad Zaidi Buku Telembuk Ulas

Membaca Telembuk; Membaca Cinta yang Keparat

Apacapa Kampung Langai Situbondo Wilda Zakiyah

Festival Kampung Langai 6: Pertemuan dengan Sosok yang Lain

Apacapa Moh. Imron

Ali Gardy Bertiga: Tirakat Bunyi

Apacapa

Dilema PRT : Antara Musim Hajatan Dan Profesionalisme Kerja

Yopie EA

Harapan Baru bagi Warner Bros?

Apacapa Rahman Kamal

Petani itu Pekerjaan Paling Enak di Dunia, Tapi Kenapa Gak Diminati Gen Z?

Resensi

Resensi: My Magic Keys

Apacapa

Muscab DPC PKB Situbondo Angkat Tema Partai Advokasi

Ahmad Maghroby Rahman Esai

Bejo, Suhaden, Kopi, Senja dan Rendra

Apacapa Iip Supriatna

Tantangan Pendidikan di Era Millenial

Puisi

Kemerdekaan Sebatas Kalender dan Puisi Lainnya

Apacapa Imam Sofyan

Kabar Duka itu Datang

Nanik Puji Astutik Prosa Mini

Laksana Putih Salju

Moh. Rofqil Bazikh Puisi

Puisi : Orang Bukit Karya Moh. Rofqil Bazikh

Cerpen Heru Mulyanto

Cerpen: Pertemuan

Advertorial

Tips Memilih Celana Boxer Agar Nyaman Digunakan

Cerpen Levana Azalika

Kutu dan Monyet