Puisi: Mata Air Kehidupan

 

Puisi-puisi Nurillah Achmad


Mata
Air Kehidupan I

Puan
Guru: Nyai Nazlah Hidayati Idris

 

Ada
satu hari dalam hidupku, Guru. Aku berteduh di bawah rumah tanpa dinding.  Demikian kencang angin menerjang
sampai-sampai buluh petung yang terpasang melintang di atas kasau terlepas dari
ikatan

;
serupa perasaanku yang kacau

 

Dalam
telanjang aku tinggalkan rumah tak berpintu itu. Maut bersusah payah memberiku
selimut lantaran tubuhku terbuka dan penuh luka. Tapi, sepi merebutku. Ia
mematahkan tulang belulang yang membuntal ruh dalam tubuh, hingga aku terkubur
di bawah tumpukan debu-debu

 

Di
padang yang penuh murka matahari, aku yang tak lagi bertulang kembali diterjang
angin, lalu terdampar di bawah kedua matamu yang rindang. Kau biarkan aku
meneguk mata air kehidupan. Sejak itu, aku saksikan kedua mataku tak pernah
mengering. Tiap fardhu, genangan anak sungai tak pernah rehat. Serupa rinduku
padamu yang tak pernah istirahat

 

Jember,
2024

 

 

 

Mata
Air Kehidupan II

 

Di
usia yang makin kemarau ini, Guru. Kau tunjukkan aku arah kiblat yang dulu
beri’tikaf di antara tarhim dan syi’ir i’tiraf. Kau suruh aku membasuh ruh.
Gemetar aku membelah dada di bawah kucuran air mata, lantaran aku alpa bacaan
apa yang mesti dibaca

“Bacalah!
Bacalah dengan menyebut nama Tuhan Yang Satu. Bacalah dengan menanggalkan
kalender tua yang jatuh satu per satu,” bisikmu saat temaram senja

Lewat
kening yang hening, kau hamparkan sajadah panjang bertarikh janin hingga hisab.
Di atas sajadah itu, kau tahu, Guru, aku tersedu di antara kalimat basmalah dan
syahadat. Tersebab tempat sujud itu, telah memangkas jarak antara hidup dan
mati, nasib anak manusia yang tak tergapai akal, serta keinginan untuk kembali.

“Kau
benar, Guru. Aku terlalu lama mendaki empat mata angin. Sampai lupa arah shirâthal
mustaq
ȋm.”

 

Jember,
2024

 

 

 

Perih
dalam Mencintai

;
Syams Tabrizi (Guru Jalaluddin Rumi)

 

Muasal
perih dalam mencintai

adalah
perihal kemelekatan

berpakaian
hanyalah

kata
ganti dari telanjang

 

di
Konya, hari itu,

aroma
kepergianmu

dalam
meninggalkan al-hā kumut-takātsur

agar
tak terbawa sampai kubur

memenangkan
Persia

yang
dilucuti amis darah

 

Kau
ulurkan Rumi

jubah
perpisahan

ia
yang belum siap melepas

berputar-putar

di
bawah simfoni pesakitan

sampai-sampai
ia tahu

bagaimana
caranya ruh berjalan

dan
bagaimana tubuh mestinya

bertingkah
sebagai badan

 

kini,
Tabriz

ribuan
tahun dari kepergian itu

orang-orang
yang dalam dadanya

telah
retak akan cinta

berebut
mengamini nisanmu:

 

“Ketika
kau melihat jenazahku diusung

jangan
kau tangisi kepergianku

aku
bukannya pergi

aku
baru tiba

menemui
cinta yang abadi**”

 

**
potongan puisi Shabe Arust berjudul Sang Kekasih Hati

 

Jember,
2024

 

 

 

Kepada
Rumi

 

 

dari
Tanah Tenggara ini

aku
bertamu dari Fihi Ma Fihi menuju Matsnawi

sembari
memanggul carut marut tanya perihal

di
manakah kiranya tanda keterasingan

tapi,
yang kutemui justru keraguan

 

Kau
tahu, Rumi

aku
menjadi bahan tertawaan Iblis

lantaran
resah dalam hati

diam-diam
mengintai daun keimanan

sampai-sampai
aku berkata:

“Silakan,
Tuhan. Hantamkan kepalaku ke lautan

jika
sekiranya nafsu terus menerus

berkawan
karib dengan kesombongan.”

 

Ah,
Rumi

saat
ini

aku
bawakan sebuah puisi kerontang untukmu

terimalah
ia sebagaimana

dahan
yang ikhlas melepas dedaun kuning

yang
gugur diterpa angin

barangkali
hanya ini

yang
membawaku mabuk meneguk sunyi

 

Jember,
2024

 

 

 

Tak
Layak

Mahaguru:
Kiai M. Idris Djauhari

 

Aku
tak layak, Guru

tak
pantas menulis syair ini apalagi tentangmu

aku
bukanlah terpelajar

yang
darinya jarak antara

hayya
‘alash sholaah

menuju
hayya ‘alal falaah

hanya
sejengkal tangan

 

aku
tak layak, Guru

bahkan
menyebutmu Mahaguru

aku
amat malu

tersebab
dosaku tersandung waktu ke waktu

 

bahkan,
Guru

aku
takut tak layak untuk sekadar mengingatmu

tersebab
rinduku tak seperti bumi

yang
merunduk pada alif lam mim

tapi
rinduku

adalah
sisa takdzim

 

Jember,
2024

 


TENTANG
PENULIS

Nurillah Achmad. Seusai menyantri di
TMI Putri Al-Amien Prenduan Sumenep, ia melanjutkan pendidikan di Fakultas
Hukum Universitas Jember. Pada tahun 2019, terpilih sebagai Emerging Writer of Ubud Writers & Readers Festival.

Telah menerbitkan novel “Hijab for
Sisters: Dia Ibu yang Harus Dihormati, Fayla!
  (Elex Media Komputindo, 2024), Berapa Jarak antara Luka dan Rumahmu?
(Elex Media Komputindo, 2023), Lahbako ((Elex Media Komputindo, 2021)
dan Cara Bodoh Menertawakan Tuhan (Buku Inti, 2020). Saat ini tinggal di
Jember dan aktif di komunitas Puan Menulis.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Cerita Rakyat Asembagus

Apacapa Jamilatul Hasanah

Situbondo Kota Sederhana: Menuju Kota Istimewa

Apacapa Rahman Kamal

Petani itu Pekerjaan Paling Enak di Dunia, Tapi Kenapa Gak Diminati Gen Z?

Buku Fara Firzafalupi Ma’rufah Resensi Ulas

Resensi: Ikhlaskan Lepaskan Perjuangkan

Apacapa Nur Fajri

Padepokan Sun Tree E-Sport

fulitik

Billboard Diturunkan, Dukungan Masyarakat kepada Mas Rio Makin Meningkat

Apacapa Nanik Puji Astutik

Ada Apa Denganmu, Mantan?

Amaliya Khamdanah Buku Resensi Ulas

Resensi: Melintasi Zaman di Kudus Melalui Novel Sang Raja

Apacapa Buku Muhammad Fadhil Alfaruqi Resensi Ulas

Resensi: Si Anak Cahaya

Apacapa apokpak N. Fata

DPRD Menggonggong, Pak Karna: Ngutang PEN Jalan Terus

Apacapa Indra Nasution

Gepsos dan Kisahnya

Apacapa Madura Syaif Zhibond

Abhâkalan Sambi Ngalèncèr

Apacapa Musik Supriyadi Ulas

Senandung Kasih dari Ibu

Puisi Rahmat Akbar

Puisi : Doa Awal Tahun dan Puisi Lainnya Karya Rahmat Akbar

Apacapa Moh. Imron

Museum Balumbung: Para Pendekar Masa Lalu

Apacapa hans

Son Heung-min, Sang Kapten Drakor yang Menenggelamkan Manchester United

Ahmad Zaidi Apacapa

Merindukan Pariopo, Merindukan Hujan

Ayis A. Nafis Puisi

Puisi: Hikayat Sebuah Maut

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Bahagia Mencintai Diri Sendiri

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen – Dendam Amba