
Meski aku baru muncul dan belum berwujud, tetapi aku langsung bisa tahu banyak hal. Aku berada di tubuh perempuan muda, yang telah hidup selama dua puluh tujuh tahun. Aku muncul di dalam kepalanya, menyerap pengalaman dan perasaannya. Perempuan ini memiliki rambut hitam lebat yang jatuh hingga sepunggung. Dia mengenakan kerudung marun dan baju long dress berwarna dongker dengan motif bunga-bunga kecil berwarna kuning, serta memakai sepatu kets putih.
Saat ini, aku tahu dia sedang berada di sebuah kereta, tepat di gerbong paling depan, persis di belakang lokomotif. Kereta melaju cepat, tetapi di dalam gerbong rasanya tenang, seperti tidak ada gerakan. Di luar jendela, hanya kegelapan yang menyelimuti, sesekali terpecah oleh kerlip lampu-lampu kota yang dilintasi.
Aku mulai mengenali detail wajah perempuan ini—agak bulat dengan pipi sedikit tembam, matanya kecil namun sembab, seperti habis menangis. Meski begitu, setelah kehadiranku di kepalanya, bibirnya mulai tersenyum perlahan. Sesekali, dia memegang ponselnya, berbalas pesan dengan seseorang. Aku tidak tahu siapa yang ada di seberang layar, tetapi dari pesan-pesan yang dia kirim, aku merasa ada kedekatan emosional. Aneh, padahal aku belum mengenal orang itu, bahkan yang kutahu baru sebatas perempuan ini.
Di sela-sela perempuan ini membalas pesan, kadang ia menangis tersedu, tanpa memedulikan situasi di sekitarnya. Dia tidak malu dengan air matanya yang mengalir. Kurasa, kesedihan yang dia rasakan begitu dalam hingga tidak acuh dengan pandangan orang lain. Lirih, ia bergumam, “Akankah kau jadi lelaki kesekian yang akan menolakku?”
Waktu berlalu begitu cepat. Kereta akhirnya tiba di stasiun terakhir, dan perempuan ini keluar dengan mata yang masih basah. Dia berjalan menjauh dari stasiun, masuk ke dalam keramaian malam kota. Kadang dia berlari kecil, lalu berjalan mondar-mandir tanpa tujuan jelas. Matanya sering melirik ke arah ponsel, seolah menunggu sesuatu. Setelah beberapa saat, ia duduk di bawah lampu merkuri yang menyinari trotoar, dan kembali menangis.
“Aku hanya ingin mencintaimu. Apa itu salah?” gumamnya lagi. “Dan kau tak perlu membalas cintaku,” tambahnya.
Perempuan ini lantas menelepon seseorang. Ketika sambungan telepon terhubung, dia hanya mengatakan satu kalimat, “Aku tidak bisa pulang dalam kondisi seperti ini. Temani aku sebentar, tolong.”
Tak lama kemudian, seorang wanita muncul. Wajahnya tampak marah, dan dia langsung memperingatkan perempuan ini agar tidak mengulangi kebiasaan lamanya—keluyuran malam saat hatinya sedang kacau.
“Ada apa?” tanya wanita itu, dengan nada khawatir namun tegas.
Perempuan ini menggeleng, tidak mau menjelaskan apa yang telah terjadi. “Jika kau masih menganggapku sahabat, temani saja aku. Jangan banyak tanya.”
Wanita itu menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi aku tidak bisa sampai pagi. Sebelum subuh, aku harus pulang.”
***
Sebuah pesan dibaca: Aku ingin memiliki anak darimu. Dan kau tidak harus mencintaiku. Detik itu aku muncul. Meski tak berwujud, tapi aku langsung bisa cepat tahu banyak hal dari tubuh lelaki yang telah hidup selama empat puluh satu tahun ini. Di kepalanya, kini aku hadir. Penampilan lelaki ini sedikit berantakan. Rambutnya panjang, digelung asal-asalan. Ada tato gambar naga melingkar di pergelangan tangan kirinya. Dia mengenakan kaos hitam polos dan celana pendek batik cokelat yang warnanya agak memudar.
Lelaki ini sedang berada di studionya, di sebuah kota yang dingin. Aku pun bisa merasakan dingin udaranya. Dia terus menatap ponselnya, membaca berulang kali pesan terakhir yang baru saja diterima itu.
Lelaki ini tidak membalas. Dia hanya terdiam, seolah terjebak dalam pikirannya sendiri. Aku ikut terhanyut dalam perasaannya yang penuh kebingungan. Lelaki ini tampaknya berada dalam dilema besar. Aku bisa merasakan kegelisahannya, dan sesekali pikirannya melayang, kembali ke masa-masa ketika dia pertama kali bertemu dengan seorang perempuan. Sebuah perasaan terpendam muncul dalam dirinya, sebuah perasaan yang tak mudah diungkapkan.
***
Sekarang si perempuan kembali berada di kereta dalam perjalanan menuju sebuah kota. Meski aku belum sempat mengerti kota mana yang sebelumnya disinggahi, tetapi jika merujuk pada arahnya, bisa jadi tempat itu sama dengan saat pertama kali aku hadir dalam kepalanya, yaitu stasiun terakhir.
Bedanya, kali ini di sepanjang perjalanan, dia hanya tidur. Bahkan, ketika kereta tiba di ujung perjalanan, petugas harus membangunkannya. Begitu terjaga, dia keluar dari gerbong dengan tergesa-gesa, sedikit berlari. Di depan stasiun, seorang lelaki sedang menunggunya, tersenyum manis.
“Aku selalu penasaran dengan bibirmu,” ucap si perempuan ketika mereka mendekat.
“Ingin kau apakan?” tanya si lelaki sambil terkekeh.
“Cium.”
“Silakan kalau berani.”
“Siapa takut.”
Mereka tertawa kecil sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil yang telah menunggu. Mereka melaju menuju suatu tempat yang terasa romantis. Si perempuan tampak senang. Wajahnya bercahaya, penuh kebahagiaan.
Di tengah keheningan perjalanan, si perempuan tiba-tiba memecah kebisuan. “Aku ingin mengajukan satu permintaan terakhir. Jika kamu tidak setuju, baiklah, kita tidak perlu berhubungan lagi.”
Si lelaki menoleh dengan penasaran. “Apa itu?”
“Sama dengan pesan yang telah kukirim terakhir. Aku ingin memiliki anak darimu.”
Si lelaki terkejut. “Kau sungguh-sungguh? Gila! Aku sudah punya istri!”
“Tunggu dulu. Aku hanya ingin meminta anak. Kau tidak harus menikahiku. Kau tidak perlu mencintaiku. Bahkan kau tidak perlu bertanggungjawab dengan bayi itu.”
“Kau benar-benar gila!” seru si lelaki lagi, tak percaya dengan apa yang didengarnya.
“Memang!” sahut si perempuan dengan nada tegas. Ia kemudian melanjutkan, menjelaskan bahwa permintaannya bukan tanpa alasan. Berkali-kali dia ditolak lelaki yang dicintainya, dan kini dia sadar bahwa untuk kali ini pun mungkin tidak akan pernah bisa juga mendapatkannya sebagai pasangan hidup. Jadi, ia hanya ingin memiliki bagian dari lelaki yang ia cintai, setidaknya seorang anak.
“Kau akan hamil tanpa suami?” tanya si lelaki, bingung.
“Tak masalah bagiku,” jawab si perempuan dengan yakin.
Si lelaki terdiam. Suasana di antara mereka seolah membeku. Namun, si perempuan melanjutkan, “Aku tidak akan pernah mengganggu keluargamu. Aku hanya butuh anak, tidak lebih. Kau tidak perlu khawatir.”
Si lelaki menarik napas dalam, masih berusaha mencerna permintaan yang baginya aneh.
“Apa kau setuju?” tanya si perempuan lagi, menunggu jawaban.
Setelah beberapa detik yang bagi si perempuan terasa seperti seumur hidup, si lelaki mengangguk perlahan. “Baiklah.”
Mulai detik itu juga, aku yang semula hanya sebuah ide samar, sedikit demi sedikit berubah menjadi rencana. Meski belum sepenuhnya ada tapi aku mulai merasakan wujudku. Perlahan, keberadaanku tumbuh menjadi lebih nyata. Hingga datang waktunya, kesepakatan gila itu, akan membuatku benar-benar menjadi janin.***
Tinggalkan Balasan