Puisi: Alkisah Mawar Berdarah

 

freepik

PUISI-PUISI Nuriel
Haramain*

 

Ajari
Aku Cara Bersyukur

 

Tuhan,

Ajari aku cara
bersyukur

Dari segala harap
yang purna

Dan duka yang masih
kueja

 

Tuhan,

Ajari aku cara
bersyukur dari segala rupa warna cerita

Yang belum sempat
kuberi nama

 

Tuhan,

Ajari aku cara
bersyukur

Tentang segala yang
tersemoga

Dari sujudku yang
sementara

 

Kebundadap
Barat, 2021

 

 

 

Sebuah
kado dari kayangan

 

Terimakasih,

teruntuk yang Maha
Pengasih. Tentang kasihnya yang mengalir tanpa pamrih

 

Puji syukur,

pada Dia yang maha
luhur

tersebab rahimnya
pada umur yang menjamur

 

Terimakasih tuhan.

Tentang hujan yang
membasahi ingatan dan aroma tanah yang

menguburkan kenangan

 

Terimakasih dik..

Denganmu adalah
jawaban paling segala. Dari tanyaku pada setia.

 

Kebundadap
Barat, 2021

 

 

 

Di
Peluk Sunyi

 

Masih tentang
ceracau hari

Di tanah seberang

Kala puisi dipeluk
sunyi

Dan aku yang menelan
waktu seorang diri

 

Sementara bara masih
setia membelai tembakau yang kian tiada

 

Saat itu, aku,
rokok, dan kopi

Saling bercengkrama.

 

Kebundadap
Barat, 2021

 

 

 

Alkisah
Mawar Berdarah

 

Aku pun termangu

memaknai luka di
teras rumah

menerka amtsal duri
duri

Yang merobek
kenangan kemarin

malam

 

Dan kau

adalah mawar
berdarah

mewangi serupa bius
penolak lupa

 

Sementara bau anyir
darahku

menyeruak di
pangkuan rindu

 

Membekas prahara

tentang anganku yang
abadi tentangmu.

 

Kebundadap
Barat, 2021

 

 

 

Di
Lorong Desaku

 

Di lorong desaku
yang permai

Barisan anak semen
merimba

Menjelma lamat-lamat
gedung

Menyesaki pelataran
rumah

 

Di lorong desaku
yang permai

Anak-anak tetap
dalam khusyuk

Jari-jemarinya
mencumbu gawai

Tanpa sadar waktu
bergerak melambai

 

Sementara di tengah
pematang sawah yang hampir musnah

para ibu menyemai
padi

Dan para lelaki
menggopong jerami

 

Di lorong desaku
yang permai Barangkali hujan darah tumpah

Pada bidak zaman
yang melangkah

Menyaksikan hari,
dimana desaku kehilangan marwah.

 

Kebundadap
Barat, 2021

 

 

 

Teman
Tak Kasat Mata

 

mungkin sedikit
mistis

Tapi mengapa ini
terlalu realistis.

Dia dan aku yang tak
satu maya

Saling tatap begitu
saja

 

Kebundadap
Barat, 2021

 

 

 

Siklus
Hujan

 

Tengadahku di pagi
itu

Mengamini langit
yang tetap sama

Senyumnya masih
tulus

Seumpama bibir
mariam yang kudus

 

Sementara awan
adalah kehidupan

Yang terkadang pupus
dihembus angan

Lalu kembali dalam
wujud rintik hujan.

 

Kebundadap
Barat, 2021

 

 

*Santri Ponpes Annuqayah Lubangsa utara Guluk-guluk Sumenep. Sekarang
masih menjalani masa abdi di Mushalla at-Thahiriyah Kebundadap Barat kec.
Saronggi.

 

 

 

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Esai rizki pristiwanto

Raffasya dan Keramaian yang Sunyi

Buku Indra Nasution Ulas

Kisah Cinta Soekarno

Kuliner Situbondo

Nasi Karak, Takar dan Ghesseng

dinda ayu lestari Mored Moret

Cerpen Mored: Prahara Ojung

Baiq Cynthia Puisi

Puisi Niaga Bersama Tuhan Karya Baiq Cynthia

Ahmad Zaidi Cerpen

Randu Agung

Musik Ulas

Manifestasi Ilahi dalam Lirik Lagu Tujh Me Rab Dikhta Hai

Cerpen

Cerpen: Bunga-Bunga Berwajah Ibu

Buku Muhamad Bintang Ulas

Resensi Buku: Francisco Ferrer, Asal-Usul dan Cita-cita Sekolah Modern

M Firdaus Rahmatullah Puisi

Puisi-puisi M Firdaus Rahmatullah: Dermaga Panarukan

Azinuddin Ikram Hakim Cerpen

Cerpen: Pada Suatu Dermaga

Futihah Qudrotin Puisi

Patung Kekasih dan Puisi Lainnya Karya Futihah Qudrotin

Apacapa Esai Marlutfi Yoandinas

Dunia Penyair dan Puisi-Puisinya

Apacapa Imam Sofyan

Geliat Literasi dan Harapan yang Takkan Mati

Fani Haryadi Puisi

Puisi : Pesona Keheningan Karya Fani Haryadi

Puisi Wiviano Rizky Tantowi

Puisi: Kayu Layu

Apacapa Esai Imam Sofyan

Harjakasi: Memaknai Situbondo dari Alun-Alun

Buku Rudi Agus Hartanto Ulas

Resensi: Tugasmu Hanya Mengizinkan

Apacapa Marlutfi Yoandinas Situbondo

Refleksi September Hitam

Apacapa

Mas Rio Buronan: Dari Wano Menuju Situbondo