Selamat Hari (Tidak) Jadi Kabupaten Situbondo

@hazan_

Oleh: Ahmad Zaidi*


Belakangan,
saya sering bertanya kepada kawan-kawan, kapan hari jadi Kabupaten Situbondo?
Kawan yang sedang sial ditanya begitu kebanyakan hanya menjawab dengan menyebut
tanggal: hari ini. Apakah cukup sampai di situ urusan selesai? Tidak…
tidak… tidak. Bisa jadi. Tidak segampang itu. Kawan saya akan balik bertanya,
memangnya ada apa dengan hari jadi Kabupaten Situbondo? Apa yang membuatnya
penting sehingga saya menanyakannya dan apa yang akan saya lakukan?
Kalau
saya punya uang, tentu saja saya akan membuat perayaan kecil nan sederhana
meskipun akan agak membosankan. Saya akan melatih teman-teman saya dalam grup
paduan suara. Saya akan melatih teman-teman saya baris-berbaris melakukan
upacara. Saya akan mengundang orang-orang sekampung dan membagi-bagikan hadiah.
Saya akan memasang banner besar jauh hari sebelumnya di pojok-pojok perempatan
jalan agar terlihat lebih meriah dan wow! Puncaknya, di sebuah tempat yang
lapang lagi luas, di bawah tenda yang dihias dengan aneka warna-warni semua
orang yang ada di tempat itu akan mengunggah foto di akun-akun media sosial
seperti anak-anak yang mengucapkan selamat ulang tahun. Di
tengah-kemeriahan-perayaan-saya-akan berharap dan berdoa semoga kesenangan
kecil semacam itu akan berumur panjang dan dilestarikan hingga anak cucu.
Tetapi
saya tidak punya uang, sama seperti kota ini yang tidak punya banyak lapangan
pekerjaan bagi pengangguran sedikit kerja banyak mengkritik macam saya ini.
Saya hanya punya satu hal, yang dihadapannya uang menjadi tidak penting-penting
amat: cinta~
Ya,
cinta terhadap kota inilah, yang membuat saya betah dengan segala kesemrawutan
dan kekonyoloan dan keselobangetan yang ada di sini. Jika kota ini ibarat
perempuan, saya cintai ia atas segala ketidaksempurnaannya. Dan hari ini, ia
sedang berulang tahun. Usia yang masih terlampau menggemaskan
dan imut-imut bagi sebuah kota.
Di
usianya yang belia, tak banyak yang saya ketahui tentangnya. Kota ini bukannya
tidak ada dalam catatan sejarah. Ada. Tetapi masih teramat panjang untuk
dipelajari dan terlalu seksi untuk tidak diperdebatkan. Tapi biarlah. Mau jadi
atau tidak, itu bukan lagi soal penting dalam persoalan mencintai. Yang
terpenting adalah saya nyaman. Itu saja dulu. Ya, kan?
Kota
ini, Situbondo yang kecil dan lucu, akan tetap saya cintai. Walau ia tidak
sedang menjadi dirinya sendiri. Anggaplah ia umpama seorang remaja yang gemar
ikut-ikutan. Sedang trend apa hari ini, ia ikut. Besok trend apa, ia ikut. Itu
sah-sah saja.
Dan
ia sudah mulai mendandani dirinya pada setiap lekuk geografis. Ia bersolek
diri. Menjadikan banyak tempat sebagai  destinasi wisata. Ke timur
sedikit, wisata. Ke barat sedikit, wisata. Di mana pun saya berada, hampir bisa
dipastikan akan ada tempat wisata walaupun dengan nama-nama konyol dan masih
sepi pengunjung.
Tidak
hanya itu, kota ini juga banyak menyulap spot-spot–yang sebetulnya akan
bernilai lebih jika saja ditangani oleh orang pandai–menjadi taman. Di
taman-taman itu saya bisa menyaksikan dedek-dedek gemes berpacaran. Di
taman-taman itu, biasanya akan ada satu-dua keluarga bahagia sedang tamasya dan
mengisi waktu luang. Dan sebagai bonus, kota ini juga mengganti warna polos
gedung-gedungnya dengan motif batik, dan itu mungkin saja adalah yang pertama
di dunia. Norak sih, tapi mau bagaimana lagi toh saya sudah kadung cinta. Tidak
masalah. Saya masih tetap cinta. Kan katanya cinta itu buta. Tahi kucing rasa
cokelat. Situbondo rasa Jogja.

Selamat
ulang tahun, Situbondo. Selamat hari menjadi apa pun yang kamu mau. 


*) Penulis merupakan seorang petani.

Penulis

  • Ach. Zaidi

    Bapaknya Ayesha. Penulis buku kumpulan cerpen Mata Ingatan (2024)


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Madura Totor

Bâbitthèl

Bulan Nurguna Cerpen

Cerpen: Kirana dan Ibunya

Buku Ulas

Koruptor, Pramoedya Ananta Toer

Atika Rohmawati Puisi

Puisi: Percaya

Apacapa Nanik Puji Astutik

Menikah Tanpa Sepeser Uang

Apacapa covid 19 Darul Mubarok

Vaksinisasi Covid-19 di Indonesia

Apacapa Esai Imam Sofyan

Harjakasi: Memaknai Situbondo dari Alun-Alun

Apacapa

Yusuf and Beny Siap Menyambut Tour Manca Negara Pertama di Malaysia

Apacapa apokpak fulitik N. Fata Politik

Melawan Pandemi dengan Sains, Bukan Arogansi Aparat dan Mati Lampu

Apacapa Setiya Eka Puspitasari

Potret Kemiskinan Di Balik Gemerlap Ibu kota

Opini

Hancur oleh Kata

Cerpen Fahrus Refendi

Cerpen: Tahun Baru Terakhir

Puisi Reni Putri Yanti

Puisi: Terbiasa

Uncategorized

Semarak Hari Kartini, Emak-emak dan Tim Patennang Gelar Diskusi Publik

Cerpen Iffah Nurul Hidayah Mored Moret

Cerpen Mored: Percaya

Puisi Rizqi Mahbubi

Puisi: Kota Melankoli

Aditya Ardi N Anwarfi Puisi

Puisi-puisi Aditya Ardi N: Memorabilia Wartel

Puisi Uwan Urwan

Bersama Pariopo

Buku Toni Al-Munawwar Ulas

Ulas Buku : Renungan Tasawuf

abdul wahab Apacapa fulitik

Tentang Anggota DPRD dan Aspirasi Rakyat