Cerpen : 7 Tanda Kematian Waliyem

Oleh : Yolanda Agnes Aldema
Segala
kejadian yang ada di dunia selalu diawali dengan pertanda. Jika kalian belajar
agama, peristiwa seperti kiamat besar, memiliki tanda-tanda yang membuntutinya.
Pertanda serupa tanda seru. Sebuah peringatan yang lebih sering diabaikan
daripada diperhatikan. Kepekaan manusia akan menjadi busur utama untuk
menangkapnya. Peristiwa tercabutnya nyawa memiliki tanda-tanda yang
membuntutinya. Tanda-tanda kematian. Tanda yang muncul bukan bertujuan untuk
mencegah kematian. Tentu saja, kematian tidak dapat dicegah, itu telah menjadi
ketetapan Tuhan.
***

Berkat
pelajaran berhitung selama enam tahun di sekolah dasar, jadilah Waliyem seorang
saudagar di satu-satunya pasar tempatnya tinggal. Baginya, pasar merupakan
tempat serupa surga. Sekaligus, menjadi tempat yang sering dikunjungi manusia, tentu
saja kedua setelah rumah. Seorang murid mengunjungi sekolah dari
Senin sampai Sabtu, sedang Minggu, tempat itu
hanya bangunan mlompong. Seorang
pegawai, akan absen dari kantor tempatnya bekerja satu minggu sekali. Pasar
selalu buka di hari apapun, tak peduli tanggal merah atau hitam. Hari-hari
besar atau peringatan nasional.
Keuangan
tak pernah jadi topik krusial di keluarga Waliyem dan Surahman beserta keempat
putrinya, namun manusia tak akan berhenti berkeinginan. Waliyem ingin memiliki
cucu, anak yang dapat memenuhi harapannya adalah si sulung yang saat ini tengah
bekerja di pabrik buku tak jauh dari rumah. Sri nampaknya mewarisi sifat rajin
dari Waliyem, ia mampu menghasilkan uang cukup melimpah. Uang yang diperoleh, Sri
gunakan untuk bertamasya dengan kawan-kawannya. Sri pun kerap bergonta-ganti
laki-laki, ya, siapa yang tak kepincut, wajahnya rupawan, gelang dan kalung
menghiasi tangan dan lehernya.
Jika
tak ada aral, ia sering menonton film di Solo Baru bersama kekasihnya tiap
malam minggu. Tapi malam itu lain, ia sedang putus cinta dan kawan baiknya
mengajak nonton film bersama kekasihnya dan seorang lagi yang tak Sri kenal,
laki-laki. Bertolak dari malam itu, Sri dan Hari dengan mudah menjadi sepasang
kekasih. Singkatnya, Waliyem memanggil laki-laki yang kerap mengajak Sri pergi
tiap malam minggu, meminta Hari agar segera menikahi Sri, ia tak mau anaknya
jadi gunjingan tetangga, walaupun alasan utamanya ia ingin segera mengendong
cucu. Sri dan Hari menikah. Waliyem semakin bahagia, lahirlah Ayu. Cucu pertama
Waliyem.
Hari
bekerja di pabrik motor kenamaan di ibu kota. Setelah menikah, keluarga kecil
itu tinggal di Jakarta dan menyewa sebuah rumah kontrakan. Minggu lalu, Sri dan
Ayu menengok Waliyem di kampung dan sore ini akan kembali menuju Jakarta.
Mereka akan naik kereta, kali ini Waliyem ikut, sekalian berkunjung ke rumah
saudara.
[1]
“Itu
keretanya sudah datang. Sri, segera naik!” Waliyem berteriak kepada rombongan
keluarga yang ikut mengantar ke stasiun.
Sri
naik lebih dulu dengan membawa tas serta Ayu digendongan, disusul Waliyem yang menahan
diri di pintu gerbong, ia berdiri, melambaikan tangan. Tangannya bergerak ke
kiri dan ke kanan dengan perlahan, matanya menerawang dengan senyuman tipis. Sebuah
tanda perpisahan yang lazim. Kereta melaju perlahan-lahan, Waliyem masih saja memandang
dan melambaikan tangan kepada suami dan ketiga anak. Lambat, hingga keluarganya
tak nampak. Waliyem berbalik badan dan naik menuju tempat duduk di samping Sri.
[2]
Sepanjang
perjalanan, Ayu tak henti-hentinya menangis. Mungkin, anak usia satu tahun akan
melakukan ini di perjalanan jauh. Walaupun, kejadian berbeda terjadi ketika
mereka berangkat minggu lalu, Ayu lebih sering tertidur dan lebih riang. Sri
dan Waliyem bergantian menenangkan; mengendong, mengusap-usap rambut,
menepuk-nepuk kecil bokongnya, sampai menawarinya susu dan buah jeruk.
“Cup,
cup, cup, jangan nangis!” Ucap seorang penumpang di samping kursinya, ikut
merasa sedih. Waliyem mengendong sambil menyanyikan lagu dolanan, Ayu berhenti
menangis dan tertidur pulas. Menangis, sebuah tanda perpisahan yang lazim.
***
[3]
Waliyem
adalah saudagar yang terkenal akan kebaikan hatinya. Orang-orang datang ke kios
hanya untuk menyapanya atau mampir dengan maksud lain; berhutang sembako, uang
atau meminjam perhiasan.
“Yu
Wal, besok Nining nikah. Aku besok njagong
tapi tak ada kalung. Besok pinjam ya, Yu? Kalungmu yang mana saja boleh. Ya?”
Darsini memasang wajah paling memelas.
“Yang
mana? Ambil saja. Besok aku akan pergi jauh.” Waliyem membuka tempat
perhiasannya yang berwana merah.
“Ini,
Yu!” Darsini langsung merekah sambil menunjuk salah satu kalung dengan permata
warna hitam di tengahnya. Ia ambil dan coba kalung itu.
Lah,
padahal aku belum kembalikan cincin Yu Wal yang aku pinjam minggu lalu untuk
piknik ke Waduk Kedung Ombo. Apa Yu Wal lupa ya? Aku sudah berkali-kali pinjam
perhiasan dan dia selalu ingat. Ah ya sudah, berarti ini rejekiku to, bener,
re-je-ki, batin Darsini agak keheranan sambil pamit pergi.
[4]
Waliyem,
Sri, dan Ayu tiba di kontrakan pada pagi hari. Tak banyak istirahat, Waliyem
segera ke pasar untuk membeli kebutuhan bahan makanan, cobek dan kursi plastik
pendek untuk memasak di dapur. Sementara, Sri dan Ayu tidur sembari menunggu
Waliyem pulang. Waktu mendekati makan siang, saat itu pula Waliyem datang
diantar oleh tukang ojek yang juga membawakan belanjaan.
“Istirahatlah
dulu, Buk. Aku akan masak telur dadar.” Sri menawarkan diri sambil melihat
hasil belanja Waliyem, terdapat satu plastik telur ayam.
Sri
mengiris bawang putih, mengocok telur, memasukkan bawang dan garam lalu
mempersiapkan kompor sumbu; mengisi minyak pet, membakar sebatang lidi, memutarkan
ke seluruh sumbu kompor. Sambil memasak telur, Sri membuat sambal bawang dengan
cobek lengkap dengan ulekan.
Sambal
hampir halus dan “Kleekk” ulekan itu patah menjadi dua. Ulekan ini, kalian tentu
tahu, baru saja dibeli dan terbuat dari batu. Sri pun melanjutkan dengan cobek
yang gagang atasnya telah patah dengan hati gerundel. Telur telah matang, ia
meniriskan telur lalu mematikan kompor. “Brakk” Sri terjatuh dan terjengkang, kursi
plastik itu patah, kursi berwarna cerah itu patah, salah satu penyangganya
patah.
“Ulekan
dan kursinya patah, Buk.”
“Lah,
baru saja beli kok sudah patah. Ya nanti Ibu protes dan minta ganti.”
[5]
“Federal,
federal, federal, federal.” Kata-kata itu tertulis mengelilingi dipan kayu yang
memang mengelilingi kasur seperti pagar. Yuni, anak ketiga Waliyem sedang
gandrung sepeda keluaran terbaru. Sudah seminggu ini ia sering marah-marah
minta dibelikan sepeda federal. Hingga tepat sehari sebelum Waliyem pergi ke
Jakarta, Yuni merengek sampai mencoret-coret dipan kamarnya dengan spidol
hitam. Tembok kamar penuh dengan tulisan federal. Rahman sontak bereaksi dengan
memukuli tangan Yuni dan berjanji akan membelikan federal minggu depan. Seorang
anak sekolah dasar memang belum belajar sabar.
“Ya
sudah, Ayo pergi ke Pak Semi. Ayo beli sepeda federal!” Suara Waliyem menggema,
seisi rumah seketika hening.
[6]
“Ibumu
rajin sekali, dia bantu bersih-bersih rumah. Ada yang kotor sedikit Waliyem
bersihkan. Bahkan kaca jendela sudah bersih, dia sendiri yang bersihkan sepuluh
menit lalu, eh lima menit kemudian Wal bersihkan lagi.” Umi nyerocos pada Sri,
sambil mengendong Ayu. Sebagai cucu pertama di keluarga, semua sanak keluarga
ingin mengendongnya, semacam jadi kewajiban.
[7]
Sri
hanya tertawa. Budhe Umi memang orangnya senang berbicara. Tak heran jika ia
sewaktu muda pernah didapuk sebagai penyiar radio. Dan, bakat itu disambung
oleh Yamti, anak semata wayang Umi. Ya, sore ini Waliyem, Sri, Ayu, dan Yamti,
yang tiba-tiba ingin ikut akan kembali ke kontrakan. Hadi hari ini bekerja pagi
bertemu malam. Mereka akan naik bus, berjalan meninggalkan gang menuju jalan
raya, Ayu digendong Waliyem di jauh depan dengan payung yang dibawa Ayu.
Sebenarya mendung tidak datang, namun kata Waliyem, tidak apa-apa hanya untuk
mainan Ayu dijalan.
“Buk,
pelan-pelan saja. Tunggu.” Teriak Sri. Namun Waliyem tidak mendengar
perkataannya.
***
Suara
ambulan memenuhi jalanan sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Solo. Seluruh
desa dan seluruh sudut pasar menangis. Hari itu hari Sabtu, pasar telah tutup
untuk pertama kalinya. Tak ada pedagang. Tak ada pembeli. Waliyem jadi
penyebabnya. Sebuah kecelakaan telah menghapuskan nyawanya. Aku tak tahu pasti
apakah segala kejadian ini pertanda alam, yang pasti, pasar itu telah mati
dibawa Waliyem ke surga. Pasar merupakan tempat serupa surga.
[]
Profil Penulis
Yolanda Agnes Aldema, lahir di Boyolali, 7 Agustus 1997. Menempuh kuliah di Pendidikan Bahasa
Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret. Cerita pendeknya pernah dimuat di
Radar Bromo, Radar Banyuwangi, dan Malang Post. Dapat dihubungi melalui surel yolandaaldema28@gmail.com dan telepon 087835571378.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Aris Setiyanto Puisi

Puisi: Pendaki

Banang Merah Cerpen

Cerpen : Euforia Seorang Pelancong Karya Banang Merah

Advertorial

Mengenali Gejala dan Cara Mengatasi Demam Berdarah Sejak Dini

Apacapa

11 Rekomendasi dalam Kegiatan Temu Inklusi ke 5

Apacapa Irwant

Pernak-Pernik Lebaran

Apacapa Erha Pamungkas Haryo Pamungkas

Yang Menghantui Perbukuan Kita

Cerpen Hendy Pratama

Cerpen : Siapa yang Bernyanyi di Kamar Mandi?

Alex Cerpen

Cerpen: Masalah Ketika Ingin Menjadi Dewasa

Dewi Masithoh Syarafina Khanza Digananda

Serunya Implementasi Pembelajaran Berdiferensiasi Menulis Cerpen Hasil ToT

Buku Ulas

Sunyaruri; Hantu-Hantu Kesunyian

Prosa Mini Zainul Anshori

Kepergian Seorang Ibu

Ahmad Zainul Khofi Apacapa

Memaknai Situbondo “Naik Kelas”

Apacapa Moh. Imron

Tellasan dan Ngojhungi

Apacapa Indra Andrianto

Polemik Gus Miftah dan Klarifikasi Habib Zaidan

Mahesa Asah Puisi

Puisi: Di Taman Aloska

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Terima Kasih Situbondo

Ahmad Maghroby Rahman Apacapa

Sebuah Refleksi Pengalaman: Pagi Bening dan Engko’ Reng Madhurâ

Alif Febriyantoro Cerpen

Cerpen: Untuk Seorang Perempuan yang Hanya Kepadanya Kesedihan Bertempat

Cerpen Muhtadi ZL

Cerpen: Perempuan yang Suka Melihat Hujan

Agus Widiey Puisi Madura

Puisi Madura: Dika Kodu Tao Karya Agus Widiey