Cerpen: Sebuah Kisah Patah Hati yang Kelak Tertulis dalam Headline Berita

freepik

Tahun-tahun berlalu. Tapi aku merasa semuanya terjadi begitu tiba-tiba. Kemarau tiba- tiba hujan, siang tiba-tiba malam, basah tiba-tiba kering. Lalu kekasihmu, tiba-tiba menjadi istrimu. Barangkali aku hidup terlalu lama dalam sebuah ruang yang kedap waktu. Atau, merujuk istilah yang dikemukakan Bhre, sahabatku, ruang itu bernama masa lalu.

Aku tertawa mendengarnya, sekaligus sebal dan merasa payah. Cukup payah untuk menyadari bahwa aku tumbuh dan menua. Ingatan-ingatan itu seperti terdiam dan jalan di tempat. Diam di kursi bioskop tempat pertama kali kau mencium tanganku. Diam di gang kecil samping sekolah tempat kita diam diam mencuri waktu bertemu. Diam di teras depan rumah tempat undangan pernikahanmu kau sampaikan tanpa rasa bersalah.

“Dia memang brengsek,” Bhre mencoba menyadarkan diriku dari lamunan-lamunan tentang kisah romansa kita dahulu.

Entah mengapa aku merasa ‘brengsek’ terlalu jahat untuk disematkan padamu. Sebab pada dasarnya aku yang jahat, aku yang cukup brengsek karena berkali kali menolak beranjak dari romansa-romansa itu.

“Aku merasa aku seperti penguntit,” kataku suatu waktu pada Bhre.

“Kenapa?”

“Setiap hari aku mencari tahu tentangnya. Meski dia sudah berkali kali bilang, kami sudah bukan sepasang kekasih lagi,”

Bhre tertegun, mungkin sedikit setuju dengan pernyataanku.

Sesungguhnya, aku memang seperti penguntit. Aku sering mengirimimu pesan-pesan yang meski tak pernah terbalas, tetap kulakukan dengan konsisten, di waktu yang sama. Serta, dengan sengaja aku kerap mengirim paket berisi makanan-makanan kesukaanmu, meski hampir selalu tertulis ‘ditolak oleh penerima’ pada laporan pengirimannya.

Anehnya, aku sama sekali tidak merasa sebal. Tidak merasa sedih. Biasa saja. Namun, ketika aku tidak melakukannya, aku merasa hampa, uring-uringan, dan tekanan darahku naik.

Seperti hari ini, hari peringatan satu tahun pernikahanmu, ya, aku mengingatnya, tanganku seperti gatal ingin mengirimimu pesan.

Aku mengetik dengan tergesa, seperti diburu sesuatu.

“Apakah kamu berbahagia? Bukankah kita berjanji akan berbahagia bersama? Jika aku tidak berbahagia, maka kau pun,” ketikku.

Mungkin terdengar seperti ancaman. Tidak, tidak. Aku tidak pernah ingin membuatmu tidak bahagia. Aku merasa kalimat itu mampu menggambarkan perasaanku padamu dengan gamblang.

Perasaan ingin memilikimu yang sangat.

Meski aku ditinggalkan.

Meski kau meninggalkan.

Setahun lalu, aku memberanikan diri datang ke pesta pernikahanmu. Pesta yang cukup meriah dengan vendor-vendor pernikahan yang dulu pernah kita berdua impikan. Barangkali begini suasana pernikahan kita jika itu terjadi. Namun aku tidak suka dengan gaun pengantin wanita. Aku tidak suka warna putih. Rasanya terlalu suci, tidak manusiawi. Bukankah manusia tidak sesuci itu? Bukankah manusia terdiri atas dosa dosa, yang terlihat ataupun mencoba disembunyikan? Jika aku yang di sana, aku akan memilih warna hitam atau merah. Rasanya lebih indah. Apalagi dipadu dengan bunga-bunga cantik yang kupilih dan kurangkai sendiri.

Untuk itu aku datang dengan gaun pengantin warna hitam.

Bhre bilang aku gila. Tidak. Aku hanya ingin menunjukkan pada kekasihmu bagaimana caranya berdampingan denganmu dengan cantik.

Terbukti kedatanganku mengundang perhatian banyak orang.

Kekasihmu mematung dan merasa terintimidasi. Aku hanya datang dan minum segelas es Manado. Melewati pelaminanmu dan dari jauh berbisik, “Aku menunggumu,”

Terbukti hingga hari ini, kata kataku mampu aku tepati. 

Aku mengetahui keberadanmu lewat unggahan-unggahan istrimu di media sosial. Termasuk malam ini, kau menghabiskan perayaan satu tahun pernikahanmu dengannya di sebuah rumah makan mewah. Fine dining. Aku tertawa membacanya. Tidakkah ia tahu bahwa kau tak bisa minum wine? Kau lebih suka starbuck. Asian Dolce Latte ukuran grande dengan less ice.

Untuk itu aku berada di resto yang sama denganmu, membawa minuman kesukaanmu. Menjadi penyelamatmu dari hal-hal yang tidak kau sukai.

Aku menemukanmu, dalam balutan setelan jas berwarna abu-abu. Rambutmu tetap seperti itu. Disisir klimis ke belakang. Ada rambut-rambut tipis meliputi rahangmu yang kuat. Istrimu di situ. Terdiam kaget melihatku memegang segelas strabucks.

Namun aku menemukan dua gelas wine di situ. Hampir diteguk habis.

Saat itu aku merasa kau menjelma sesuatu yang lain. Yang tak lagi kukenali. Dan kotak itu, kotak bernama masa lalu itu, perlahan lahan menghilang.

***

Penulis

  • Raisa Izzhaty

    Raisa Izzhaty mengawali kecintaannya terhadap dunia tulis menulis sejak menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah SWARA SMASA. Ia melanjutkan studi di Fakultas Sastra di Universitas Negeri Malang serta Language Faculty Chiang Mai University, Thailand. Sempat menjadi tutor BIPA untuk mahasiswa asing, beriringan dengan aktivitasnya belajar menulis di Pelangi Sastra Malang dan Komunitas Penulis Muda Situbondo. Beberapa tulisan nya beredar di beberapa media massa, antologi, serta buku tunggal yang diterbitkan secara indie.


Comments

Satu tanggapan untuk “Cerpen: Sebuah Kisah Patah Hati yang Kelak Tertulis dalam Headline Berita”

  1. Avatar Anonim
    Anonim

    Bagus sekali

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Dedi Andrianto Kurniawan Kampung Langai

Festival Kampung Langai dalam Pembacaan Masyarakat

Cerpen Moh. Rofqil Bazikh

Cerpen: Matinya Penyair Bukad

Mored Rini Yulianti

Cerpen Mored: Sang Keramat Batu Pandhusa

Ienna katanny Prosa Mini

Sebuah Pilihan

Buku Resensi Thomas Utomo Ulas

Resensi: Menyemai Empati kepada Kaum Papa

Heru Mulyanto Mored Moret Puisi

Puisi Mored: Malam Monokrom

Apacapa Iip Supriatna

Tantangan Kaum Buruh di Era Moderenisasi

M.Z. Billal Puisi

Puisi: Sejarah Maaf

Cerpen

Cerpen: Lelaki Berpayung Putih

Apacapa Hodo Nafisah Misgiarti Situbondo

Hodo dan Perjalanan Bunyi; Sebuah Catatan

Buku Junaedi Resensi Ulas

Resensi: Passion Seorang Ganjar yang Gayeng Dalam Membangun Jawa Tengah

M.Z. Billal Puisi

Puisi: Hujan Pukul 12.30

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Heterogenitas Rasa dan Memandukan Cerita Romance

Fikri Mored Moret

Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 3)

Ilyana Aziziah Mored

Membuat Gulali Bersama Teman

Ilham Wiji Pradana Puisi

Puisi-puisi Ilham Wiji Pradana: Rumah Pak RT

Cerpen Eko Setyawan

Cerpen – Ada Sesuatu yang Telah Dicuri dari Tubuhku, Entah yang Mana

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen Maha Dewi

Mustain Romli Puisi

Puisi-puisi Mustain Romli: Pesona Kota dan Sepasang Mata

Uncategorized

Ini Dia Perbedaan Mas Rio dan Teh Rio