Dunia Penyair dan Puisi-Puisinya

“Pengalaman itu tidak bermakna
bila tidak
menemukan rumahnya dalam bahasa. Sebaliknya,
tanpa pengalaman nyata, bahasa adalah ibarat kerang kosong tanpa kehidupan,” I.
Bambang Sugiharto.
Setiap manusia pasti memiliki pandangan tersendiri
atas kehidupannya. Mereka mengejawantahkan pengalamannya masing-masing untuk
memaknai dunia. Sejauh ini, cara paling ampuh untuk memaknai kehidupan di dunia
adalah menggunakan bahasa. Dengan bahasa manusia bisa memperoleh dan saling
berbagi pengetahuan antar satu sama lain. Sehingga kehidupan menjadi semakin
menarik dan penuh tantangan dalam upaya mencari makna hidup. 
Dunia penyair berhubungan erat dengan
penggunaan bahasa. Bukan hanya sebatas bahasa lisan laiknya para politisi atau
penggosip, tapi bahasa tertulis yang biasa dibuat oleh pujangga atau cerdik
pandai. Semua berlandaskan pada satu kepercayaan, setiap yang tertulis takkan
lekang oleh zaman.
Kehidupan penyair terbiasa menuntut dirinya
untuk menghayati pengalaman dan pandangan atas dunianya dalam sebuah tulisan.
Seringkali dalam tulisan mereka terdapat unsur-unsur kebahasaan yang baru.
Tersimpan maksud-maksud tertentu di balik rentetan kata-katanya. 
Penyair senantiasa menggali setiap jengkal
kemungkinan-kemungkinan dalam bahasa sehingga tercipta kata-kata puitis. Puitis
dalam hal ini bukan semata bahasa keseharian. Selalu ada kreasi dalam memilih
diksi, renyah dalam menyusun bait-bait, dan menawarkan makna-makna
metaforis  yang penuh penghayatan. 
Namun, adakalanya penyair mengalami masa-masa
sulit. Merasa sekarat apabila kata-kata enggan menghampirinya. Larik-larik tak
segera terangkai sesuai yang diinginkan. Menjadi makin parah ketika makna kian
tak lejas meskipun untuk dipahami sendiri.
Ya, begitulah dunia penyair dan keintimannya
bersetubuh dengan bahasa.
###
“Bahasa lebih dari sekedar teks, struktur, dan
makna. Bahasa adalah pengalaman yang dihayati.Jadi, tidak bisa kita melihat
bahasa hanya sebagai medium atau representasi kenyataan,  karena bahasa
adalah pikiran dan tak ada cara lain untuk berpikir tentang kenyataan itu
 selain melalui bahasa.” I. Bambang Sugiharto
Puisi adalah bagian dari bahasa, lebih dari
sekedar teks, struktur, dan makna. Setiap penyair tentunya adalah penutur
bahasa. Kelebihannya mereka lebih bisa menghayati dan mengejawantahkan
pengalamannya dalam bahasa berbentuk puisi. 
Lantas, apakah bisa setiap orang membuat
puisi? Tentu saja, senyampang mereka masih menggunakan bahasa. Dan satu hal
lagi, seperti pada puisi karya Saut Sitompul, “tak usah dipusingkan bagaimana
cara menulis puisi, cukup dengan pena di tangan, berjongkok di taman, ada daun
jatuh tulis, ada rumput menghijau tulis…tulis, tulis, tulis!
Namun, mengapa tak banyak orang yang bisa
memahami puisi? Mereka menganggap puisi terlalu sulit untuk dipahami secara
gamblang. Sampai-sampai ada pernyataan “yang bisa memahami puisi, hanyalah si
pembuatnya.” Pernyataan tersebut ada benar dan tidaknya. 
Apabila kita kembali pada kutipan di atas,
“bahasa adalah pengalaman yang dihayati sebagai sebentuk pikiran yang dimiliki
setiap manusia.” Jadi, pada dasarnya memahami bahasa sama halnya mencoba
memahami isi pikiran orang lain. Tentu nampaknya sulit, bukan!? 
Namun, tidak mustahil untuk kita belajar
memahami isi pikiran orang lain. Karena salah satu unsur terbentuknya bahasa
diperlukan sebuah konvensi atau kesepakatan. Asal bahasa yang dipakai sesuai
dengan bahasa kita, tentu akan lebih mudah untuk memahaminya. Meskipun kadang
hanya sebatas perkiraan atau interpretasi saja. Itu sudah cukup. 
Bagaimana kalau perkiraan kita berbeda dengan
apa yang dimaksud oleh penyair? Ada dua hal untuk menjawabnya, pertama, maksud
penyair tidak harus dipahami secara gamblang karena pengalaman dan pandangan
antar manusia satu dan yang lain berbeda; kedua, setiap perbedaan pengalaman
akan menemukan satu titik kesepakatannya dalam bahasa (unsur konvensi). Setiap
kesepakatan diperlukan kesetaraan pengetahuan. Oleh karena itu, pengetahuan
sangatlah penting untuk memahami maksud dari puisi. Selebihnya, ingatlah bahwa
puisi hanyalah cara seorang penyair menuangkan pikiran atas pengalamannya dalam
memandang kehidupan dunia. 
Mengenai puisi, seorang pembaca hanya perlu
menikmatinya, kalau mau lebih, coba kaji bentuk, struktur, dan kelindan makna
di dalamnya, sekaligus apa maksud dari si penyair. Tentu dengan syarat
janganlah berpikir bahwa penulis atau pembaca adalah yang paling benar dalam
memahami puisi. Karena kebenaran puisi hanya terletak pada puisi itu sendiri.
[]
Biodata
Penulis
Marlutfi Yoandinas, pengelola Rumah Baca
Damar Aksara, Situbondo.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Pertunjukan Teater, Setelah Sekian Lama

alif diska Mored Moret

Puisi Mored: Sepotong Puisi untuk Bunda dan Puisi Lainnya

Apacapa Irwant

Situbondo Digilir…, Cinta

Apacapa Esai Yogi Dwi Pradana

Resepsi Sastra: Membandingkan Mundinglaya Di Kusumah dari Ajip Rosidi dan Abah Yoyok

Review Film Yopie EA

FLOW: Sebuah Mahakarya dari Sutradara Asal Latvia

Puisi S. Mandah Syakiroh

Puisi-puisi S. Mandah Syakiroh: Mata

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Situbondo Dik, Patennang!

Apacapa Imam Sofyan

Membaca atau Merayakan Kebodohan

Ahmad Zainul Khofi Apacapa

Mengenal Situbondo dari Puisi

Cerpen Uwan Urwan

Cerpen Seratus Perak

fulitik hari wibowo

Gugah Mental Pemuda Situbondo, Mas Rio: Bisnis yang Bagus Itu Dijalankan, Bukan Dipikirkan

Apacapa

Film Pendek Lastarè: Sebuah Perjalanan Batin Korban Perundungan

Apacapa Fadhel Fikri

Revolusi Digital dan Keterasingan Sosial: Siapa yang Diuntungkan?

Buku Kholil Rohman Resensi Ulas

Resensi: Kambing dan Hujan

Uncategorized

Puisi – Elegi Nasib Kami

Pantun Papparekan Madura Sastra Situbondo

Pantun Madura Situbondo (Edisi 4)

Puisi Raeditya Andung Susanto Sastra Minggu

Puisi: Sabda Hujan

Apacapa Novi Dina

AMDAL dalam Sebuah Percakapan

Moh. Imron Puisi

Langai; Selimut Duri

Apacapa Moh. Imron

Situbondo Ghumighil: Nèmor Sudah Tiba