
Pertanyaan ini awalnya hanya berupa rasa penasaran kecil yang lewat begitu saja, tetapi lama-lama justru tumbuh menjadi rasa ingin tahu yang tidak bisa saya abaikan. Akar kegelisahan ini berawal dari fenomena yang sedang ramai di media sosial, terutama TikTok. Lagu-lagu Madura gaya Situbondoan dengan aransemen ala India tiba-tiba meledak seperti “Vitaaa yak lek edingaghi”, “Sumina”, “Layla Se Talka”, dan masih banyak lagi, seolah menjadi gelombang baru yang mengisi ruang digital. Gaya melodi, ritme menari, lengkingan suara, hingga hentakan musiknya membuat saya berpikir: kenapa musik Madura Situbondoan bisa sedekat ini dengan musik India?
Sebagai orang Situbondo keturunan Madura, saya tentu tidak ingin sekadar menebak-nebak. Saya mencoba bertanya kepada beberapa teman yang sama-sama berdarah Madura. Mereka tertawa ketika saya mengajukan pertanyaan “Mungkinkah kita ada keturunan India ?”, tetapi ketika saya berbincang lebih dalam, ternyata banyak hal menarik yang mulai muncul ke permukaan. Ada persamaan budaya, kesamaan tradisi, keserupaan pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang diperhatikan.
Salah satu titik kesamaan pertama yang sering disebut adalah dari aspek linguistik. Banyak teks sejarah menyebut bahwa aksara Nusantara, termasuk aksara Madura (Aksara Ghejheng), berasal dari aksara Brahmi yang dibawa para pedagang India ribuan tahun lalu. Meski sebagian orang menganggap ini sebagai pengaruh budaya semata, saya justru bertanya: bagaimana jika yang datang bukan hanya aksaranya, tetapi juga manusianya? Mungkinkah ada sekelompok orang India yang benar-benar tinggal, hidup, dan beranak-pinak di kepulauan Madura, khususnya di Sepudi ?
Pikiran itu semakin liar ketika saya membayangkan sebuah adegan dari kisah besar India kuno kisah tentang perang Baratayudha antara Pandawa melawan Kurawa. Walaupun kisah itu mitologis, saya membayangkan suasana India kuno yang penuh ketegangan, ketidakpastian, dan penderitaan. Bila melihat sejarah modern, perang selalu memicu gelombang migrasi. Orang-orang Ukraina, Palestina, atau Suriah pergi meninggalkan tanah kelahirannya karena rasa takut, dan mencari tempat baru yang lebih aman. Jika fenomena itu bisa terjadi sekarang, mengapa tidak mungkin terjadi pada masa lampau ? Mungkin saja ada penduduk India yang melarikan diri dari konflik besar, lalu berlayar mengikuti angin musim, dan akhirnya mencapai Madura.
Kecurigaan saya semakin menguat ketika saya menyadari adanya kesamaan nama wilayah: Madurai di India dan Madura di Nusantara. Nama keduanya begitu mirip hingga sulit diabaikan. Madurai adalah kota tua di Tamil Nadu yang menjadi pusat kerajaan Pandya, sebuah wilayah yang telah dikenal sejak berabad-abad lalu. Kota itu terletak di tepi Sungai Vaigai, subur, ramai, dan memiliki sejarah perdagangan laut yang panjang. Lalu bayangkan, jika sekelompok orang dari Madurai berlayar mencari tempat perlindungan, bukankah mungkin mereka singgah di sebuah pulau yang kemudian bernama Madura? Nama itu mungkin saja menjadi penanda asal-usul atau bentuk penghormatan terhadap tanah kelahiran mereka.
Jika mereka benar berlayar, tentu mereka tidak akan datang dengan tangan kosong. Mereka pasti membawa bekal untuk bertahan hidup, membawa tradisi, membawa budaya, bahkan membawa hewan ternak. Salah satu hewan yang paling mencuri perhatian saya adalah sapi. Sapi Madura memiliki ciri yang sangat mirip dengan sapi di India, ukuran sedang, tanduk kecil meruncing, dan warna bulu cokelat kemerahan. Tradisi memelihara sapi di halaman rumah bahkan menjadi kebiasaan yang tetap bertahan di Madura hingga Situbondo. Di India, sapi bukan sekadar hewan ternak ia adalah makhluk yang dihormati, simbol kesucian, bahkan kendaraan Dewa Siwa. Sapi dianggap sebagai sosok yang penuh pengabdian dan kesetiaan, sehingga dilarang untuk dimakan.
Tak disangka, sebagian orang Madura juga punya tradisi serupa. Di keluarga saya sendiri, misalnya, kakek dan seluruh saudara-saudaranya pantang memakan daging sapi. Pantangan itu bukan karena alasan agama, tetapi karena keyakinan turun-temurun. Ada cerita bahwa Joko Tole, tokoh legendaris Madura, pernah disusui oleh seekor sapi ketika dibuang dari kerajaan. Karena itu, sapi dianggap sebagai ibu susuannya, dan seluruh keturunan Joko Tole secara tidak langsung tidak bisa memakan daging sapi. Kebiasaan itu diwariskan hingga sekarang, diterima begitu saja sebagai bagian dari identitas keluarga. Yang menarik, pantangan ini punya kemiripan dengan budaya India, meskipun alasan keduanya berasal dari dua akar yang berbeda, satu mitologi, satu cerita folklore.
Semakin saya memikirkan semua ini, musik, aksara, nama wilayah, ternak, hingga pantangan makanan semakin saya merasa bahwa ada sesuatu yang jauh lebih dalam. Mungkin bukan soal “keturunan langsung” dalam arti biologis, tetapi lebih pada jejak budaya dan sejarah panjang yang terjalin antara India dan Madura. Mungkin tidak ada migrasi besar dari Madurai ke Madura, tetapi bisa saja ada kontak kecil yang kemudian membentuk identitas budaya dalam jangka waktu sangat lama. Bisa jadi pula bahwa beberapa hal yang terlihat mirip hanyalah hasil kebetulan, tetapi kebetulan-kebetulan itu tetap saja terlalu menarik untuk diabaikan.
Pada akhirnya, pertanyaan saya tetap bergema: mungkinkah orang Situbondo dan Madura memiliki garis sejarah yang terhubung dengan India? Mungkin jawabannya tidak sesederhana “iya” atau “tidak”. Tetapi rasa ingin tahu itu layak dijelajahi karena akar budaya sebuah masyarakat tidak pernah sesederhana yang terlihat di permukaan. Jika itu berpotensi benar, bisa saja saya masih ning-ngenning dengan Shakhrukh Khan atau Salman Khan. Hari raya, India bisa menjadi salah satu tujuan mudik pulang kampung, ngalencer mencari sanak saudara di India.
Huhhui….
Tinggalkan Balasan