Puisi – Elegi Nasib Kami


Puisi-puisi Ahmad Radhitya Alam
Elegi Nasib Kami
relung
gedung yang termenung mulai
merapuh
luruh di antara nasib kami yang tidak pasti
ketam
legam masa silam menggoreskan
sebuah
nanar elegi yang mendalam
nasib
kami,  orang rantau dari nusa seberang
sungguhlah
sulit untuk dikerat dan diambil
hasil
panennya pada masa mendatang
tak
maksud hati kami datang kemari
tapi
keadaanlah yang memaksa kami tunduk
kepada
keniscayaan dan kepastian,  ronarona
derita
terus
saja membayang pada huluan retina
mata
kami yang payau
tanah
secuil tak cukuplah untuk mengambil
hasil,
banting tulang sana
sini
demi seonggok
rupiah,
dan tanah ini kian tandas dicangkul
kaum
feodal yang punya banyak modal
sedangkan
kami hanya orang kecil yang
menenteng
pengharapan kesana kemari
untuk
merenda kembali jati diri
dengan
riak melebur,  serta peluh membaur
mengumpulkan
sisa
sisa asa yang kian
karam
tenggelam
pada samudera pedih kehampaan
yang
senantiasa menanam sedih,  menebar perih
Kalikebo,
2017
Menanam Subur Bangga
tumbuh
subur bangga dalam dada
ranum
bermekaran bunga asa
pada
rindang pohon sekolah
yang
mencipta rekah
pohon-pohon
asa ditanam
dikerat
dan diketam
untuk
dipanen hasilnya pada masa
ketika
kita telah beranjak dewasa
sekolah
ini telah mencipta asa
dilukis
mimpi dan harapan pada
kanvas
litera, lalu dieja kata
pada
ranting dan dahan buku-buku
serta
diktat-diktat yang mengikat
musim
panen masihlah jauh
pupuk
ilmu teruslah ditabur peluh
dialir
deras harapan dan cita
mencipta
bangga dalam dada
pada
bangunan yang melukis cerita
tembok-tembok
sekolah di mana kuberada
SMANTA,
20 Oktober 2017
Atas Nama Puisi
Atas
nama puisi di mata kekanak negeri
aksara
merupa kata
kata
bahasa
yang
dicipta dengan cinta dan ritus doa
dikerat
dan ditabur, lalu tumbuh
subur
di samudera ibu pertiwi
Dan
para kekanak masihlah mengais jati diri
yang
kian compang
camping
di selokan zaman
metropolitan; polusi
bahasa, polusi kata,
sampaipun
buih
buih riak aksara
terkoyakkoyak idiom asing
merasuk
kepala teramat pusing
Demi
puisi yang mencipta sabda perubahan
katakata diumbar
bebas; tak bertuan
tanpa
sadar telah hilang arti
lidah
kian berlari tiada henti
Dengan
nama puisi, kami berusaha menata
Rimarima jati diri, menyulam
metafora
sambil
merenda asa, menjunjung bahasa persatuan
Bahasa
Indonesia
tanpa
melupa adat dan budaya
Blitar,
27 Oktober 2017
Biodata Penulis

Ahmad Radhitya Alam, lahir di Blitar, pada tanggal 2 Maret 2001. Siswa
SMAN 1 Talun dan santri di PP Mambaul Hisan Kaweron. Penulis bergiat di FLP
Blitar, Awalita, danTeater Bara SMANTA. Karyanya termaktub dalam beberapa
antologi puisi dan dimuat pada beberapa media.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Pantun Papparekan Madura Sastra Situbondo Totor

Pantun Madura Situbondo (Edisi 5)

Atika Rohmawati Buku Resensi Ulas

Ulas Buku: Perjalanan Menuju Pulang

Apacapa Moh. Imron

Jejak Kenangan di Festival Argopuro (Bagian satu)

fulitik

Ini Poin Utama Pertemuan Mas Rio dengan Menteri Koperasi

Ahmad Zubaidi Puisi

PUISI : Penjahit Sunyi Karya Ahmad Zubaidi

Apacapa Arsip Situbondo Sastra Situbondo Totor

Zikiran Madura Situbondo Setelah Azan (Bagian 1)

Fela Dila Mai Carolin Puisi

Puisi: Undangan Baru untuk Kekasih Lama

Apacapa Thaifur Rahman Al-Mujahidi

Regiulisitas-fundamental dari Kaum Milenial untuk Indonesia

Apacapa Imam Sofyan

Andai Aku Menjadi Bupati Situbondo

Ahmad Zaidi Buku Telembuk Ulas

Membaca Telembuk; Membaca Cinta yang Keparat

Alifa Faradis Cerpen

Cerpen: Perempuan Penjaga Senja

Apacapa Imam Sofyan

Kabar Duka itu Datang

fulitik hari wibowo

Gugah Mental Pemuda Situbondo, Mas Rio: Bisnis yang Bagus Itu Dijalankan, Bukan Dipikirkan

Mored Moret Puisi Nur Akidahtul Jhannah

Puisi Mored: Jeritan Pantai Peleyan dan Puisi Lainnya

Puisi Saiful Arif Solichin

Puisi: Jalan Pulang

Uncategorized

Keindahan yang Nyata Dengan Teknologi Hexa Chroma Drive

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen – Hari Libur

Apacapa Hodo Nafisah Misgiarti Situbondo

Hodo dan Perjalanan Bunyi; Sebuah Catatan

Apacapa Muhammad Hajril takanta

Alasan Kenapa Perempuan Dipilih Sebagai Tunggu Tubang dalam Tradisi Adat Semende

Nur Akidahtul Jhannah Penerbit

Buku Warna Keraguan