Puisi: Hikayat Sebuah Maut

 

Puisi-puisi
Ayis  A. Nafis

 

Hikayat
Sebuah Maut

 

Setelah bulan
berperak-perak menyembul dari cangkir kopi

Sepasang kuda dalam
balutan amarah berlari dari meja sebelah

Kabut pekat
mengepung, lalu gerak bibirmu mencipta bilah rindu

 

Pohon-pohon janda
yang mangkir dari pot pojok ruang

Berusaha menahan
embun sejauh mata kita memilih rabun

Lalu jarak bergegas
merangkul dada kering dengan degup pelan

 

Denting reranting
dari luar halaman berpagut dengan sepi

Mereka berpijak di
gendang telingamu, membisiki apa-apa yang mungkin

Lalu tanganmu
bergetar, kakimu ingin beranjak, matamu berkerjap

 

Siapa yang maha rindu?
Setelah maut membuntutimu?

Cuaca jatuh perlahan
dengan kilatan takbir sendu.

 

Guluk-guluk,
2020

 

  

 

 

 

Merencanakan Ingatan

 Mengenang
Almr. Pak H. Noor Hidayah

 

Ia memilih
mengapung, dipunggung sore itu.

Menelusup pada
teriakan-teriakan dari pintalan jantung,

Juga waktu-waktu
yang bergerak menyentuh murung

 

Semesta tiba-tiba
membuka pintu, garis-garis senyum

Yang kau pahat tetap
mekar pada benak, tetapi tubuhmu

Bekerja dengan
keasingan lain. Membaca peta tahun sebagai

Angka-angka
kehilangan dalam pelukan perempuan-perempuan

 penenun kehidupan.

 

Percakapan-percakapan
berhenti pada tanah

Jatuh dari timbunan
doa-doa, mekar setiap senja tiba

Memecah kebisingan
kota-kota dari pantulan nyanyian

Sebuah kematian.

 

Bukankah kita
sepakat menyusun wasiat-wasiat dari rencana

bunga-bunga dengan
putik ingatan yang di jaga sepanjang usia,

Sambil sesekali
menatap hari lalu dari balik kaca jendela?

 

Kita tak mungkin
lagi memilih jatuh, setelah senyum mengambang

Dan bisik
orang-orang, memercayai setiap uluran tangan

: ia mengkultuskan
diri pada mimpi-mimpi suci!

 

                                                     
Guluk-guluk, 2020

 

 

 

Sebelum Mengunjungi Pekuburan

 

Sore itu, kau
kembali bercakap pada cermin

Sisa rindu tergerai
dari belahan dinding pembatas

: antara rumahmu dan
genangan masa lalu

 

Kau mengenakan
busana, motif bunga-bunga

Yang mekar dari
katupan bibir menyerupai doa

Pantulannya seperti
menahan gerimis

 

Kau rangkul
sisa-sisa percakapan

Dari monolog sebuah
ingatan yang berlari dari ruang tamu

ke meja makan,
tempat kau merawat segala kehangatan

 

Sore itu, kau
membuka diri, tanpa tangis.

Menuju tempat
kembali pada Tuhan.

 

                                        Guluk-guluk,
2020
 

 

 

 

Membaca
Kepribadian Waktu

 

Jika kau berani
menatap lautan pada tepi cangkir itu

Sebuah perahu dengan
layar terkembang berarak

Melepas nasib buruk
dari rajutan rencana hidup

 

Gelombang hantam
dari satuan kekhawatiran

Memercik untuk
membasahi sebagian wajah

Yang menahan
satu-satunya harapan perjalanan

 

Ia perlahan
memungkiri perhatian kita pada dunia

Dengan godaan-godaan
perempuan, tahta, atau kemerlap harta?

Yang pasti kau akan
tenggelam sebelum awan tipis mengambang

 

Guluk-guluk,
2020

 

 

*Pengarang adalah alumnus Ponpes Annuqayah, Sumenep dan melanjutkan
studi di Universitas PGRI Yogyakarta jurusan Pend. Bahasa & Sastra
Indonesia. Menjuarai beberapa even lomba kepenulisan. Seperti : Juara l LCPN
Gapura Satra Indonesia, 2020. Juara l LCP&BP se-kabupaten, STKIP PGRI
Sumenep 2020., Juara ll LCPN Univ. Muhammadiyah 
Dr. Hamka, Jakarta 2020. Juara lll LCCN Universitas Muhammadiyah Malang,
2020. Juara lll LCPN Gen Fondation Tasikmalaya, 2020. Serta tersebar di surat
kabar seperti: Koran Harian Borneo, Sabah, Malaysia, Radar Malang, Radar
Mojokerto, Koran Harian Bhirawa, Radar Madura, Kabar Madura, Inisiator.com,
Becik.id, Kami Anak Pantai.com, Tajug.net serta Banaranmdia.com

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Alexong Cerpen Dody Widianto

Cerpen: Gelas, Pion dan Lukisan Picasso

Agus Hiplunudin Puisi

Pendulum Rindu dan Puisi Lainnya Karya Agus Hiplunudin

Cerpen Putri Oktaviani

Cerpen: Lelaki Berpayung Putih

Puisi Sinta Nuria

Puisi: Mailaikat Berbisik

Pantun Papparekan Madura Sastra Situbondo Totor

Pantun Madura Situbondo (Edisi 5)

Cerpen Irfan Aliefandi Nugroho

Cerpen: Tubuh Berkarat

Ahmad Zainul Khofi Apacapa

Memaknai Situbondo “Naik Kelas”

Andi Fajar Wangsa Puisi

Kendari Selepas Hujan dan Puisi Lainnya Karya Andi Fajar Wangsa

fulitik

Kronologi Batalnya Debat Ketiga Pilbup Situbondo: Dugaan Sabotase dan Status Hukum Karna Suswandi Jadi Sorotan

Buku Rudi Agus Hartanto Ulas

Resensi: Tugasmu Hanya Mengizinkan

Fendy Sa’is Nayogi

Memahami Pepatah Madura: Gherrâ Ta’ Bisa Èangghuy Pèkolan, Lemmes Ta’ Bisa Èangghuy Panalèan

Ahmad Zaidi Apacapa

Tentang Kita yang Terlalu Banyak Bicara Omong Kosong

Apacapa fulitik ichsan kenalmasrio

Mas Rio di Mata Anak Muda Situbondo

fulitik

Diserbu Peserta Jalan Santai Bareng Mas Rio, Bakso Agung Talkandang Raup Omzet Jutaan

Agus Hiplunudin Buku Feminis Ulas

Ulas Buku – Politik Gender karya Agus Hiplunudin

Hamidah Puisi

Terima Kasih Cinta dan Puisi Lainnya

Apacapa Denny Ardiansyah

Menjelajah Selawat Nariyah di Situbondo

Cerpen M Firdaus Rahmatullah

Cerpen: Ingatan tentang Sepasang Mata

Puisi Puisi WF Romadhani

Puisi: Kembalikan Tawaku

Apacapa

5 Alasan Kenapa Kalian Harus Ngefans sama Harli