Puisi-Puisi Saifir Rohman
Kenangan Sang Bapak
Bapak duduk
menghadap pintu di ruang tamu.
menghadap pintu di ruang tamu.
Lengannya
bersendekap, punggungnya
bersendekap, punggungnya
menempel ke
sandaran kayu.
sandaran kayu.
Katanya, ia
sedang memeriksa bekas tusukan paku,
sedang memeriksa bekas tusukan paku,
seraya
meraba-raba benjol ungu pukulan sang palu.
meraba-raba benjol ungu pukulan sang palu.
Ya, di masa
mudanya, Bapak adalah seorang perantau
mudanya, Bapak adalah seorang perantau
dan tukang
kayu.
kayu.
Sebagai
kenangan yang dihadiahkan masa muda,
kenangan yang dihadiahkan masa muda,
keduanya,
bagi Bapak, terlalu berharga
bagi Bapak, terlalu berharga
untuk
sekadar membingkainya
sekadar membingkainya
ke dalam
sebuah album atau figura.
sebuah album atau figura.
Kata Bapak,
“Kenangan ini lebih hebat dari ijazahmu, Nak!…”
“Kenangan ini lebih hebat dari ijazahmu, Nak!…”
“Ijazahmu
bila dibakar menjadi abu, kenangan Bapak,
bila dibakar menjadi abu, kenangan Bapak,
belum juga
dibakar, sudah sering menjadi hantu. Hebat, bukan?”
dibakar, sudah sering menjadi hantu. Hebat, bukan?”
“Hahaha,”
Bapak ketawa.
Bapak ketawa.
Tapi di
manakah sejatinya bekas dan benjolan itu?
manakah sejatinya bekas dan benjolan itu?
Di kaki,
tangan, hati, atau di matanya yang sendu?
tangan, hati, atau di matanya yang sendu?
Atau
keduanya telah bersekutu dengan kasih Ibu,
keduanya telah bersekutu dengan kasih Ibu,
yang dengan
kelembutannya,
kelembutannya,
selalu
mencegat langkahku di muka pintu.
mencegat langkahku di muka pintu.
Situbondo,
01 Februari 2019
01 Februari 2019
Kopi Allahumma
Kopi saya
kopi hitam biasa.
kopi hitam biasa.
Hanya saja,
biji kopinya,
biji kopinya,
disangrai
bunda di atas bara doa,
bunda di atas bara doa,
ditumbuk
pada lesung lapang dada,
pada lesung lapang dada,
dan airnya
direbus menggunakan api cinta.
direbus menggunakan api cinta.
Kopi saya
kopi hitam biasa;
kopi hitam biasa;
kopi Allahumma.
Situbondo,
01 Februari 2019
01 Februari 2019
Di Sunyi Jalan Ini
Bahkan
sunyi jalan ini
sunyi jalan ini
masih
mengandung suaramu;
mengandung suaramu;
suara
kanak-kanak ketika kau
kanak-kanak ketika kau
mengeja dan
memain-mainkan kata “kau”
memain-mainkan kata “kau”
menjadi
“aku.”
“aku.”
Situbondo,
01 Februari 2019
01 Februari 2019
Tikungan Berdebu
Seperti
tikungan berdebu.
tikungan berdebu.
doa kita
selalu tabah ditumbuhi rindu.
selalu tabah ditumbuhi rindu.
Kita pun
demikian,
demikian,
duduk
memandang langit di lapuk bangku waktu,
memandang langit di lapuk bangku waktu,
hingga
fajar melahirkan ribuan senja berambut ungu.
fajar melahirkan ribuan senja berambut ungu.
Seperti
tikungan berdebu,
tikungan berdebu,
bunga rindu
bermekaran di puing waktu.
bermekaran di puing waktu.
Menabur
wangi manis yang kita tunggu.
wangi manis yang kita tunggu.
Sumenep,
16 Mei 2015
16 Mei 2015
Ketika Kaki-kaki Kemarau Pergi
ketika
kaki-kaki kemarau pergi,
kaki-kaki kemarau pergi,
padi dan
bangau minum dan mandi
bangau minum dan mandi
sejuk air
yang tak perlu dibeli.
yang tak perlu dibeli.
mata air
hidup kembali.
hidup kembali.
lengan-lengan
parit dengan santun
parit dengan santun
menyalurkannya
ke sekujur sawah kami.
ke sekujur sawah kami.
ketika
kaki-kaki kemarau pergi,
kaki-kaki kemarau pergi,
riang bocah
mandi di pinggir perigi.
mandi di pinggir perigi.
suara timba
dan airnya terdengar
dan airnya terdengar
mengajak
kami menari.
kami menari.
syahdu
seperti bunyi arus menabuh-nabuh batu kali.
seperti bunyi arus menabuh-nabuh batu kali.
tetapi
ketika itu juga,
ketika itu juga,
ketika
kaki-kaki kemarau pergi,
kaki-kaki kemarau pergi,
nenek di
dapur kesulitan memantik api.
dapur kesulitan memantik api.
korek dan
kayu lembab, api
kayu lembab, api
yang melulu
padam menjadi asap tak terperi.
padam menjadi asap tak terperi.
air mata
nenek menjadi mendung mengucak-ngucak matahari.
nenek menjadi mendung mengucak-ngucak matahari.
ketika
kaki-kaki kemarau pergi,
kaki-kaki kemarau pergi,
bulir-bulir
hujan merembes ke mimpi kami.
hujan merembes ke mimpi kami.
tidur jadi
tak nyenyak.
tak nyenyak.
kasur dan
bantal kami
bantal kami
seperti ada
yang mengencingi,
yang mengencingi,
entah iblis,
atau bidadari.
atau bidadari.
dan ketika
jejak kaki kemarau telah mengabur
jejak kaki kemarau telah mengabur
bersama
lumpur dan hujan yang terus mengguyur,
lumpur dan hujan yang terus mengguyur,
di dada
kami kufur belum juga hancur,
kami kufur belum juga hancur,
riak-riak
syukur entah kapan
syukur entah kapan
akan
menjadi gelombang yang terus beredebur.
menjadi gelombang yang terus beredebur.
Situbondo,
31 Januari 2019
31 Januari 2019
Biodata
Penulis
Penulis
AYIF SAIFIR R, lahir pada Ahad 06 April 1997, di Situbondo.
Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Pondok
Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Sempat belajar dan berkegiatan di
Sanggar Sastra Al-Amien (SSA). Awal Februari 2019 merintis Komunitas Sastra
Batubaba bersama sembilan orang kawan sepondoknya. Mahasantri di Ma’had
Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo. Bisa disapa via: @ayifsaifirrohman
Alumnus Tarbiyatul Mu’allimien Al-Islamiyah Pondok
Pesantren Al-Amien Prenduan Sumenep Madura. Sempat belajar dan berkegiatan di
Sanggar Sastra Al-Amien (SSA). Awal Februari 2019 merintis Komunitas Sastra
Batubaba bersama sembilan orang kawan sepondoknya. Mahasantri di Ma’had
Aly Salafiyah Syafi’iyah Situbondo. Bisa disapa via: @ayifsaifirrohman
Tinggalkan Balasan