Ulas Buku: Berkaca pada Cerpen Para Juara

Oleh:
Thomas Utomo

 

Judul : Kasih Sejuta Bunda

Pengarang : Lisma
Laurel, S. Gegge Mappangewa, dkk.

Penerbit : Indiva
Media Kreasi

Cetakan : Pertama, April
2020

Tebal : 144 halaman

ISBN
: 978-623-253-000-3

 

Kasih Sejuta Bunda—selanjutnya
disebut KSB saja—adalah kumpulan
prosa pemenang Lomba Menulis Cerpen Lintang 2019 Tingkat Nasional yang diadakan
Penerbit Indiva Media Kreasi. Ada sebelas cerpen anak yang menghuni buku
kumpulan ini.

Selama
mendaras KSB, sebagai pembaca yang berusaha
menikmati sekaligus mengkritisi, setidak-tidaknya saya menemukan dua hal
penting yang terpantul daripadanya. Pertama, ihwal pertukangan atau teknik yang
digunakan para pengarang dalam merakit cerita. Sebagai seorang yang (juga)
merasa diri sebagai penulis serta pengarang, buat saya, hal satu ini penting
dan sebisa mungkin selalu saya cermati untuk dipelajari.

Dalam
konteks buku ini, saya menganggap lebih dari wajib untuk mempelajarinya,
sebab—seperti yang telah saya sampaikan—KSB
memuat kumpulan cerpen yang menempati aras sebagai pemenang lomba menulis
kancah nasional. Tentulah, teknik yang digunakan pengarang tidak biasa-biasa
saja, mungkin canggih-canggih, buktinya dapat merebut perhatian juri. Ini
adalah dugaan awal saya. Dan ketika mulai menekuri lembar demi lembar KSB sampai khatam, dugaan saya rontok
sama sekali. Dalam buku yang disunting Ayu Wulan ini, teknik bercerita yang
digunakan para pengarang, cenderung bersahaja alias sederhana. Tidak ada teknik
yang sangat wah. Tiba-tiba, saya jadi ingat, “Kesederhanaan,” kata WS Rendra,
“memiliki kekuatannya sendiri.”

Sekadar
contoh, cerpen KSB yang didapuk
menjadi Juara I, memiliki alur bercerita yang maju. Pilihan katanya sederhana,
akrab dengan bahasa anak sehari-hari. Sementara tegangan dan kejutannya hampir
tidak ada. Namun, semua rangkaian ceritanya proporsional. Tiap fragmen terpadu
secara utuh dan rapi.

Kelebihan
lainnya, dalam dialog maupun narasi cerita, tidak ada kata-kata yang menjurus
kepada rentetan petuah yang disampaikan terlampau verbal lagi menggurui. Hanya
di bagian paling akhir, ada kalimat yang menyimpulkan amanat cerita, “… dia
memang telah kehilangan ibu kandungnya, tapi Clara mempunyai sejuta ibu yang
terdiri dari Ayah yang akan belajar menjadi ibu dan ibu teman-temannya yang
sangat perhatian serta menyayanginya seperti anak sendiri. Clara merasa
beruntung. Dia akan berusaha untuk senantiasa berpikir positif.” (halaman 15).

Pun
Kotak Ajaib Milik Juro (KAMJ) yang menduduki Juara II dan Pembatas Buku Gratis (PBG)
yang menjadi Juara III, memiliki teknik bercerita serupa dengan KSB. Alurnya lurus, nyaris tanpa suspense dan surprise yang terlalu. Tetapi keduanya memiliki tingkat plausibility yang meyakinkan—terutama KAMJ yang mengambil setting tempat, suasana, dan kultur masyarakat Jepang.

Berkaca
pada ketiga cerpen tersebut—yang dapatlah dikatakan mewakili cerpen-cerpen lain
yang tidak disebut dalam ulasan ini lantaran keterbatasan ruang—teknik
bercerita bukanlah tujuan, melainkan sekadar alat.

Pantulan
kedua, dari segi substansi. Seperti dikatakan Joni Ariadinata, “Substansi
mutlak diperlukan dalam karya sastra.” Tetapi jika ditarik dalam konteks sastra
(untuk) anak, ada baiknya substansi alias muatan isi tidak ditampilkan terlalu
terang benderang dengan rangkaian khotbah menggurui. Biarkan saja anak
menebak-nebak atau menentukan amanat cerita berdasarkan pikiran-perasaannya
sendiri, tanpa perlu ditunjukkan secara langsung. Kalau menurut bahasa Soekanto
SA, “Ibarat memberi obat berselaput gula-gula.”

Sebut
misalnya cerpen Rainbow Rose (RR) yang mengetengahkan kehidupan di
asrama putri dengan dibumbui konflik khas remaja. Dengan urutan cerita yang
ditata sedemikian, terbaca betapa pengarang berusaha mengilhamkan kepada
pembaca usia muda untuk menggalang solidaritas sesama perempuan. Ada pula
suntikan motivasi untuk mengaktualisasi diri sesuai renjana dan pentingnya
semangat diferensiasi. Dua hal yang saya sebut, tercermin lewat kalimat singkat
di akhir cerita, “Senyum Ros makin lebar mendengar celoteh teman-temannya. Dia
tak ingin menjadi Ros yang biasa-biasa saja.” (halaman 60).

Itulah
pantulan dua hal penting yang saya temukan selama hingga usai melahap KSB. Tentu saja pandangan saya bisa
benar, bisa juga salah—barangkali saya kurang cermat. Oleh karena itu, ada
baiknya jika pembaca resensi ini, menelaah sendiri kumpulan cerpen KSB guna menyemarakkan diskusi kita.

 

*Thomas
Utomo adalah guru SD Negeri 1 Karangbanjar, Purbalingga (sejak 2019),
sebelumnya berkarier di SD UMP, Banyumas (2012-2018). Dapat dihubungi lewat
nomor 085802460851 dan surel utomothomas@gmail.com.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen Heru Mulyanto

Cerpen: Pertemuan

Ahmad Zaidi Cerpen

Cerpen – Fragmen Nalea

Madura Raden Ajeng Afifah Maharani Totor

Manisan Cupcup: Manis Rassana Ate

Buku Indra Nasution Ulas

Sedikit Ulasan tentang Sekolah itu Candu

MH. Dzulkarnain Puisi

Puisi: Kampung Halaman

Apacapa

Mbak Una Ultah, Dirayakan dengan Gembira Bersama Warga Trebungan

Cerpen Puji M. Arfi

Cerpen: Perjalanan Panjang Mencari Sebuah Angka

Apacapa Esai Ihsan

Jejak Dua Pemuda: Rio Prayogo dan Mohammad Farhan

Irwant Musik Ulas

Lek Marni dan Interpretasi Perasaan

Puisi Raihan Robby

Puisi: Di Luar Rencana

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Ulas Buku – Memaknai Segitiga Cinta

Apacapa Panakajaya Hidayatullah Politik

Pilkada Situbondo dalam ‘Perang’ Musik Anak Muda

BJ. Akid Puisi

Puisi : Tanah Luka Karya BJ. Akid

Aprilia Dwi Nur Hartanti Buku Resensi Ulas

Resensi: Aku Tak Membenci Hujan

Cerpen Imam Sofyan

Cerpen: Rentenir

Baiq Cynthia Cerpen

Cerpen – Ketika Tertidur Wajahmu Terlihat Menawan

Uncategorized

Puisi – Elegi Nasib Kami

Penerbit

Buku: Negeri Keabadian

Apacapa Erha Pamungkas Haryo Pamungkas

Yang Menghantui Perbukuan Kita

Puisi Saifir Rohman

Puisi Sya’ban