Body Shaming: Pelecehan, Bukan Lelucon

Oleh: Raisa Izzhaty
Selama kurun waktu satu bulan, saya telah memblokir delapan orang di media sosial saya. Tiga di antaranya adalah teman baik saya. Alasannya mungkin terdengar sederhana: mengomentari bentuk tubuh saya. Saya tidak mengelak jika dengan bobot 65 kilo lengan saya dikatakan seperti samsak tinju. Atau paha saya seperti gentong. Atau yang lebih parah, perut saya seperti hamil delapan bulan. Saya tidak mengelak. Benar benar tidak mengelak. Namun, alangkah baiknya, jika delapan orang yang masuk dalam daftar hitam saya itu belajar lagi tentang bagaimana berhenti berkomentar tentang tubuh perempuan.
Paragraf pertama saya ditulisan ini mungkin membuat pembaca menelan ludah. Seram dan bernada ancaman, “Jangan berani berani komentar tentang perut saya di media sosial saya kalau tidak ingin saya blokir”. Tenang. Tulisan saya kali ini hanya akan memberi pemahaman tentang fenomena Body Shaming yang kerap dialami perempuan.
Memang, tubuh perempuan adalah obyek menarik bagi sebagian besar orang. Kami tidak mengelak jika kami dikatakan sebagai ‘makhluk Tuhan paling seksi’. Tetapi, ukuran seksi, menarik, cantik, telah dibentuk dan diberikan standar tersendiri oleh publik. Perempuan dikatakan cantik, misalnya, jika memiliki kulit putih, tubuh tinggi semampai, alis rapi, dan bibir merah. Perempuan dikatakan seksi jika memiliki dada yang besar ‘mumbul’, pinggang ramping, bokong padat, dan kaki jenjang. Publik seakan akan lupa bagaimana memandang perempuan dari segi yang lebih penting, semisal wawasan dan kemampuan (skill). Oleh karena standar atau ukuran tersebut, perempuan yang tidak memiliki kriteria yang telah disebutkan tadi, menjadi bulan-bulanan publik. Tidak hanya laki-laki, bahkan sesama perempuan. Hal inilah yang akhirnya secara urban disebut sebagai body shaming.
Sebenarnya, di era 2016-2017, curvy body atau tubuh semlohay montok menjadi trend. Semisal dengan munculnya penyanyi dan model bikini Rita Ora yang memiliki tubuh yang dulu dianggap tidak lazim untuk menjadi model bikini, serta lagu Meghan Trainor yang mengagung agungkan bokong montok. Namun, sadarkah kalian bahwa sebenarnya pembelaan pembelaan ‘real women have curves’ tersebut justru mengukuhkan keberadaan body shaming itu sendiri. Hanya membalik fakta, bahwa tubuh gemuk lebih baik daripada tubuh kurus. Tidak ada bedanya, dong, dengan stereotip bahwa langsing lebih baik daripada gemuk? Maka, lets be smart.
Buat saya, masih banyak pekerjaan rumah lain yang lebih penting dari hanya sekadar menganggap tubuh sebagai satu-satunya standar kecantikan atau kesempurnaan. Memang, sesuatu yang telah lama tumbuh dan berkembang dalam masyarakat tidak dapat secara serta merta diubah atau dihilangkan. Kebiasaan mengomentari atau bercanda soal fisik telah mendarah daging di kehidupan publik. Sejak kecil ibu atau ayah kita selalu berkata, “Ayo makan yang banyak biar tinggi seperti si X” alih alih memberi pengertian bahwa makan banyak (bergizi) supaya cerdas, gesit, lincah. Akhirnya, komentar-komentar seputar tubuh hanya akan dianggap menjadi sesuatu yang tidak serius, bahan canda, dan lebih parahnya, lelucon yang wajib dilontarkan untuk mengundang gelak tawa. Ingat, body shaming adalah sebuah pelecehan.
Bicara secara khusus tentang perempuan, perempuan kerapkali mendapat celaan/body shaming dari sesama perempuan. Entah karena iri, atau karena faktor standar kecantikan itu tadi. Ketika korban marah dan tersinggung, atau sampai membuat tulisan seperti ini, hal itu justru dikatakan sebagai ‘lebay’ atau berlebihan. Perlu disadari, sesama perempuan haruslah saling mendukung, bahasa urban yang sedang trend sih, sister unite. Hilangkan standar-standar omong kosong yang hanya akan menyengsarakan perempuan. Real Women bukanlah yang memiliki tubuh kurus, gemuk, langsing. Real Woman adalah mereka yang sanggup berpikir dan berpendapat secara bebas dan mengeksplorasi segala sesuatu yang berkaitan dengan pengembangan dirinya. Jika memang ingin kurus, ingin gemuk, tidak perlu karena orang lain, tapi karena diri sendiri yang menginginkannya. Ucapkan selamat tinggal untuk mereka-mereka yang masih mengagung agungkan payudara ‘mumbul’ sebagai standar perempuan sempurna dan teriakkan: “Shame on you, bastard!”.
___

*)Penulis adalah penikmat kaset pita, kamera film, dan Bohem Cigar Mojito.
Sumber Foto : respirotime.ro

Penulis

  • Raisa Izzhaty

    Raisa Izzhaty mengawali kecintaannya terhadap dunia tulis menulis sejak menjabat sebagai pemimpin redaksi majalah SWARA SMASA. Ia melanjutkan studi di Fakultas Sastra di Universitas Negeri Malang serta Language Faculty Chiang Mai University, Thailand. Sempat menjadi tutor BIPA untuk mahasiswa asing, beriringan dengan aktivitasnya belajar menulis di Pelangi Sastra Malang dan Komunitas Penulis Muda Situbondo. Beberapa tulisan nya beredar di beberapa media massa, antologi, serta buku tunggal yang diterbitkan secara indie.


Comments

2 tanggapan untuk “Body Shaming: Pelecehan, Bukan Lelucon”

  1. Yaa mbak, kebanyakan orang menilai dari fisik, padahal Allah menciptakan manusia dalam bentuk yg sebaik-baiknya, tpi dalam pandangan manusia yg dilihat hanya kekurangan saja

  2. Well said, Raisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Cerpen: Apakah Rumah Perlu Dikosongkan?

Puisi Yohan Fikri Mu’tashim

Puisi: Ruang Dimana Kita Bisa Abadi

Apacapa Moh. Imron

Analisis dan Lirik Lagu Kala Benyak: Waktu yang Tepat untuk Bersedih

M Firdaus Rahmatullah Puisi

Puisi-Puisi M Firdaus Rahmatullah

Apacapa Esai Rahman Kamal

Dik, Mengapa Kau Tak Mau Menemaniku ke Kampung Langai Malam Itu?

Apacapa fulitik kenalmasrio

Tebarkan Politik Baik, Mas Rio Traktir Ratusan Emak-Emak Makan Bakso

Apacapa Haryo Pamungkas

Terapi di Warung Kopi

BJ. Akid Puisi

Puisi : Tanah Luka Karya BJ. Akid

Cerbung Fikri Mored Moret

Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 5)

Puisi Uwan Urwan

Sajak Orang Gila

alif diska Mored Moret Puisi

Puisi Mored: Tarian Hujan

M Firdaus Rahmatullah Puisi

Puisi: kusisiri kota ini dengan puisi

Apacapa Marlutfi Yoandinas

Percakapan Iwoh dan Saydi

Cerpen

Cerpen : Dua Anak Kecil yang Menyeberang

Apacapa Buku Muhammad Fadhil Alfaruqi Resensi Ulas

Resensi: Si Anak Cahaya

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen: Perempuan Capung Merah Marun

Apacapa

Tirtho Adhi Soerjo, Detik.com dan Berita Hoax

Dhafir Abdullah Puisi Syi’ir

Ikhlas Ngajhâr

Ayu Wulandari Buku Resensi Ulas

Resensi: Jungkir Balik Pers

Puisi Syukron MS

Puisi: Kapsul Cinta