Eeufemisme: Antara Maling dan yang Kurang Maling

Oleh Marlutfi Yoandinas
Eufemisme atau penghalusan kata menjadi hal lazim ketika kata telah
dikategorikan dalam strata maksud. Seperti halnya ketaklaziman kita untuk
menyebut koruptor sebagai maling atau perampok atau begal. Padahal kalau
dicermati kata tersebut sama-sama berarti perilaku mengambil yang bukan haknya.
Namun, apa daya, kita telah dijebak untuk selalu menggunakan kata-kata manis
dibanding kata-kata yang mencerminkan kelejasan.
Tanpa sadar pengetahuan kita telah dibatasi oleh definisi kamus yang
cenderung menghegemoni. Seperti contoh kata korupsi didefinisikan sebagai
penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan,
dan sebagainya) untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Pelakunya disebut
koruptor didefinisikan sebagai orang yang melakukan korupsi; orang yang
menyelewengkan (menggelapkan) uang negara (perusahaan) tempat kerjanya.
Sedangkan kata maling didefinisikan sebagai orang yang mengambil milik orang
lain secara sembunyi-sembunyi; pencuri (terutama yang mencuri pada malam hari).
Dari dua definisi kata tersebut, terlihat adanya strata maksud yang berbeda,
korupsi dipandang sebagai semata kesalahan pengelolaan uang, sedangkan maling
secara lejas disebut mengambil milik orang lain.
Apabila dua definisi tersebut dicerna, pencuri diposisikan lebih rendah
dibanding koruptor. Padahal pencuri melakukan aksinya secara sembunyi-sembunyi
dan hanya dilakukan di malam hari, sedangkan koruptor bisa melancarkan aksinya
kapan saja dan tak perlu sembunyi-sembunyi.
Dua fenomena antara pencuri dan koruptor tersebut bisa kita baca dalam
kisah tokoh Berandal Lokajaya dalam Cerita Sunan Kalijogo dan tokoh Bakir dalam
novel Korupsi karya Pramoedya Ananta Toer.
Nukilan Cerita Sunan Kalijogo
“Konon, Raden Said (Sunan Kalijogo di masa muda) gelisah saat melihat
ketimpangan antara kehidupan rakyat dan pejabat-pejabat kerajaan Majapahit. Di
satu sisi rakyat hidup sangat berkekurangan, sedangkan pejabatnya hidup penuh
kemewahan.
Kegelisahan itu menjadikan Raden Said memilih jalan hidup sebagai pencuri
dengan julukan Berandal Lokajaya. Ia mencuri, merampas, dan tak segan merampok
harta-harta milik pejabat-pejabat tersebut. Modus operandinya dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, dilakukan saat malam hari atau di tengah hutan yang
dijadikan jalur pengiriman upeti, ia pun menggunakan topeng untuk menutupi
identitasnya.
Tujuan ia melakukan itu bukanlah untuk dirinya, tetapi untuk dibagi-bagikan
pada rakyat miskin. Ia memafhumi bahwa harta pejabat-pejabat itu didapat dari
hasil memeras rakyat miskin.
Di akhir cerita, ia menginsyafi perbuatannya setelah bertemu Sunan Bonang,
gurunya. Kemudian kehidupannya diabdikan untuk pengembangan siar agama,
politik, dan kebudayaan.”
Nukilan Novel Korupsi
“Bakir adalah pegawai negeri. Jabatannya sebagai kepala bagian yang sudah
bertahun-tahun mengabdi mulai menyadari kehidupannya tak kunjung sejahtera. Ia
panik melihat rekan sejawat atau yang lebih muda darinya hidup nyaman dan
berkecukupan.
Ia berpikir untuk mengambil jalan pintas demi memerbaiki kehidupannya.
Bakir memulai modus operandinya dengan menjual benda-benda yang dicuri dari kantornya.
Tentu saja setelah melakukan aksi pertama kalinya, ia diselimuti perasaan dan
pikiran yang tidak tenang. Kepada istrinya ia mulai berbohong. Dari kejadian
itulah ia semakin terjerembab untuk terus-menerus menutupi kebohongannya dengan
menggali kebohongan-kebohongan yang lain.
Benteng pendirianya untuk menghindar dari perbuatan jahat telah luluh
lantak. Pikirannya dikuasai oleh nafsu, goblok benar aku ini kalau selalu
tergantung-gantung pada pertanyaan: adakah yang kukerjakan ini sesuatu
kejahatan atau tidak. Ini buka soal lagi sebenarnya
. (hal 32). Atas dasar
itulah, Bakir semakin menjadi-jadi melakukan korupsi. Ia semakin lincah
melakukan lobi-lobi dan mengatur kebijakan untuk memuluskan korupsinya.
Ia pun bergelimang harta, gaya hidup dan pergaulannya berubah. Semua hal
yang dulu hanya bisa ia impikan, kini bisa ia beli.
Di akhir cerita Bakir tersandung kasus korupsinya. Hidupnya berakhir
dipenjara.” 
Bertaut dengan pembahasan tentang eufemisme, dua kisah tersebut sebenarnya
menunjukkan bahwa tidak ada tingkatan makna antara maling dan korupsi, keduanya
sinonim, tidak ada yang lebih baik.
Sebagaimana saya ingat pertanyaan guru Agama di SMP dulu, yang ditujukan ke
seluruh siswa, setelah diceritakan tentang kisah Sunan Kalijogo. Menurut
anda apakah perilaku mencuri untuk keuntungan diri sendiri tidak lebih baik
daripada perilaku mencuri untuk keuntungan orang lain?
Waktu itu, saya menjawab, Sunan Kalijogo adalah pahlawan (hero)
karena ia membantu dan membela rakyat miskin yang memang layak mendapatkan
haknya.
Lalu ada satu teman perempuan menyanggah jawaban saya.
Menurut saya tidak ada yang lebih baik di antara keduanya. Mencuri agar
dirinya bisa hidup layak atau mencuri agar orang lain sejahtera ibarat mencuci
pakaian menggunakan air kencing. Maksudnya baik untuk mencuci pakaian, tetapi
akan sia-sia karena air untuk mensucikannya adalah benda kotor/najis.
[]
____

Disampaikan dalam
kegiatan ulasan (review) buku “Korupsi” karya Pramoedya Ananta Toer yang
diselenggarakan oleh Komunitas Gerakan Situbondo Membaca (GSM) di Ponpes
Mabdaul Arifin – Curah Jeru, 10 Desember 2016.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Cerpen

Bocah itu Bernama Laut

Apacapa Nanik Puji Astutik

Lelaki yang Kukenal itu tidak Punya Nama

Apacapa

Dadang Wigiarto; Bupati Religius itu Berpulang

fulitik masrio

Relawan Mas Rio Bagikan 50 Ribu Kalender Patennang untuk Masyarakat Situbondo

Buku Resensi Thomas Utomo Ulas

Resensi: Rahasia di Balik Pakaian Buatan Nenek

Ahmad Maghroby Rahman Apacapa

Beberapa Alasan untuk Kaum Dâd-ngodâdhân Nyocco di TPS

Cerpen Muhtadi ZL

Cerpen: Perempuan yang Suka Melihat Hujan

Buku Dani Alifian Resensi Ulas

Resensi: Mengarungi Latar Sosio-Kultural Masyarakat Minang

Apacapa Sutrisno

KH. A. Wahid Hasyim; Perjuangan dan Pemikiran tentang Pendidikan, Politik dan Agama

Dani Alifian Puisi

Puisi: Inkarnasi dan Puisi Lainnya

Apacapa Esai Latif Pungkasniar

Plakat, Kongko, dan Sekawanan Penulis

Apacapa Esai Rahman Kamal

Memaknai Batik Ala Jomlo

Puisi Zikri Amanda Hidayat

Puisi: Pulang Kerja

Fikri Mored Moret

Cerbung: Fikri dan Kisah-Kasih di Sekolah (Part 1)

Puisi

Kemerdekaan Sebatas Kalender dan Puisi Lainnya

Ahmad Zaidi Apacapa

Tentang Kita yang Terlalu Banyak Bicara Omong Kosong

Apacapa

Harjakasi Nasibmu Kini

Apacapa

Burdah Keliling Tengah Laut

Cerpen Haryo Pamungkas

Cerpen : Kota dan Hujan di Pagi Hari Karya Haryo Pamungkas

Cerpen Rumadi

Cerpen – Batas yang Direbutkan