Melihat Masa Depan Situbondo dari Lomba Flashmob Panarukan

Oleh: ImamSofyan

Tepat
tanggal 11 September 2024, media sosial KPU Situbondo (facebook dan instagram)
memposting satu-persatu video lomba flashmob jingle pilkada serentak tahun
2024. Musik dan gerakan 17 kecamatan se-Situbondo hampir sama. Yang membedakan
hanya lokasi pengambilan video serta seragam yang dikenakan. Saya tidak
memiliki kuasa untuk menilai mana yang terbaik. Dari 17 kecamatan yang sudah dilihat,
saya tertarik dengan pemandangan yang dihadirkan oleh Panarukan. Panarukan
mengambil tiga tempat. Dan ketiga-tiganya berada di Kecamatan Panarukan.
Dermaga Panarukan, Muara Kasih dan Hutan Lindung.  

Pertama
Dermaga Panarukan. Salah satu dermaga yang dari sudut pandang sejarah memiliki
nilai ekonomi luar biasa pada zaman pra kemerdekaan. Saat ini, Dermaga
Panarukan tidak lagi menjadi nilai wisata atau kunjungan untuk berlibur atau
sekedar memancing di pojok dermaga. Melainkan menjadi tempat yang an sich para nelayan bekerja mengais
rezeki. Luas pantai beserta pemandangan gunung menambah nilai eksotik dermaga
Panarukan. Lihatlah saat para peserta lomba itu memainkan gerakannya. Deru
ombak menambah kelincahan tangannya. Derap langkahnya bagai karang diterjang
ombak panarukan. Baju dan topi yang dikenakan berwarna putih menyelaraskan
suasana antara peserta dengan birunya laut. Mata yang tajam dan senyum yang
sumringah menambah eksotiknya suasana pantai beserta angin sepoi-sepoinya.
Begitulah Dermaga Panarukan. Selalu ada saja yang membuat kita terperangah
melihat Panarukan.

Kedua,
Muara Kasih yang letaknya di Desa Gelung. Ya di sinilah semua muara para
kekasih berasal. Begitu kira-kira asal muasal Muara Kasih tercipta. Dan Panarukan
masih konsisten  dengan suasana pantai karena
kita sadar bahwa Situbondo tanpa laut bukanlah Situbondo. masyarakat sudah
selayaknya mencintai laut. saya kutip ucapan penulis Pramodya Ananta Toer dalam
Gadis Pantai, “laut tetap kaya takkan kurang, Cuma hati dan budi manusia
semakin dangkal dan miskin.” Situbondo adalah kabupaten kaya.

Selama
Situbondo tidak bisa mengelola laut panjang dari ujung timur sampai barat
Situbondo kita miskin. Membangun situbondo haruslah bermuara ke laut karena ini
identitas Situbondo. lima peserta lomba flashmob dalam Muara Kasih itu sangat
menikmati suasana Muara Kasih. Mereka bukanlah tokoh Gadis Pantai dalam karya
Pramoedya Ananta Toer. Mereka adalah warga Panarukan yang memiliki karakter
sendiri tentang bagaimana seorang perempuan bersikap dan bertutur dengan baik. Lihatlah
warna pakaian yang dikenakan, warna hitam. Dalam budaya Jawa, warna hitam
melambangkan keberanian, kebijaksanaan dan kesetaraan. Lebih jauh lagi dalam
tradisi kuno Tiongkok bahwa warna hitam menandakan hal positif seperti
ketenangan, kekuatan dan misteri. Ya, lima peserta dalam video Panarukan itu
sangat tenang layaknya ombak yang menyimpan banyak kekuatan. Bentangan tangan
dan gerak langkah kaki menyimpan banyak misteri namun pasti.

Ketiga,
Hutan lindung. Letak Hutan Lindung ini berada di desa Paowan. Tidak banyak
orang yang tahu tentang keberadaan Hutan Lindung di Paowan. Namun, satu yang
pasti bahwa setiap hutan selalu memiliki fungsi pokok melindungi ataupun
menyangga kehidupan. Karena itu hutan harus kita jaga keberadaannya. Sebagai
makhluk berpikir, manusia haruslah berpikir layaknya hutan yang mampu mencegah
bencana dan menjaga agar tanah tetap subur. Keberadaan lima peserta di hutan
lindung itu adalah upaya dari mereka bahwa satu sama lain harus saling menjaga
dan melindungi agar hidup semakin indah. Biar lah dedaunan di hutan lindung itu
berguguran. Asal bukan hati nurani manusia yang gugur, biarlah daun itu
mengering dan mudah terbakar bukan jiwa kita yang kering. Hati nurani dan jiwa
manusia haruslah tetap berlayar seperti perahu di Dermaga Panarukan yang selalu
membawa harapan bagi para nelayan.

Keberadaan
tiga tempat yang disuguhkan oleh PPK dan PPS Panarukan adalah gambaran bahwa
Situbondo harus berawal dari Panarukan. Panarukan tidak hanya tentang ekonomi,
tapi juga seni dan budaya. Seni dan budaya inilah yang menjadi Arus Balik
(meminjam judul buku Pramoedya Ananta Toer) maju dan tidaknya Situbondo. Oleh
karena itu, tepat tanggal 27 November 2024 nanti, alangkah baiknya jika saudara
dan handai taulan datang ke TPS dan berpartisipasi dalam demokrasi. Itu saja.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Feminis Irham Kahfi Yuniansah

Diskursus Feminisme Jawa: Kekuasaan dan Laku Spiritual

Review Film Yopie EA

FLOW: Sebuah Mahakarya dari Sutradara Asal Latvia

game Ulas

Metal Gear Solid Delta: Sebuah Game Klasik Dengan Sentuhan Modern

Advertorial

Perkembangan Tipe-tipe Kamar Mandi

fulitik

Bang Zul Ajak OJK dan BI Berdayakan UMKM di Situbondo

Apacapa

Vaksin Menyebabkan Jatuh Cinta, Fvksin?

M. Najibur Rohman Resensi

Resensi: Surat-surat Bukowski tentang Menulis

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen : Maha Tipu Maha Guru Durna

Puisi Uwan Urwan

Bersama Pariopo

Cerpen Moh. Imron

Cerpen: Pelabuhan Jangkar dan Kapal yang Dikenang

Cerpen Nanda Insadani

Cerpen : Azab Pemuda yang Menyukai Postingannya Sendiri Karya Nanda Insadani

Cerpen M Firdaus Rahmatullah

Cerpen: Ingatan tentang Sepasang Mata

Muhammad Husni Puisi

Puisi: Untuk Gadis

fulitik

1.100 Kaos Patennang Ludes Terjual, Efek Jalan Santai Bareng Mas Rio

Apacapa Denny Ardiansyah

Ode untuk Orde Pak Dadang

Cerpen

Cerpen: Apakah Rumah Perlu Dikosongkan?

Apacapa Nuriel Haramain

Hari Santri: Ajang Realisasi Jati Diri

Indarka P.P Resensi

Resensi: Relasi Kuasa, Kisah Asmara dan Pengorbanan

Apacapa Esai Muhammad Ghufron

Menjadikan Buku sebagai Suluh

Apacapa

Semsem 1: Silaturahmi Seni ke Timur