Nasè’ Soḍu: Lagu Dangdut yang Lahir dari Dapur, Bukan Panggung

“Sebuah lagu dari awal 2000-an yang merebus rasa, tawa, dan ekonomi rakyat Asembagus di atas kompor dangdut Madura. Kini nyaris dilupakan, tetapi masih beraroma sedap bagi siapa pun yang mau mencicipinya.”

Ada masa ketika musik tidak butuh algoritma, ketika lagu populer bukan yang viral di FYP, tapi yang diputar di speaker toa, dan salon-salon rakitan di warung-warung pinggir jalan. Di masa itu, sekitar awal 2000-an, nama Agus Rajana masih bergaung lantang di kampung-kampung Asembagus, di lorong-lorong Pasar Mimbaan, dan Pasar Babebo Alun-Alun Situbondo. Bukan lewat panggung besar atau layar kaca, tapi lewat kaset-kaset dan VCD Perdana Record (Surabaya) yang berkali-kali diputar di radio dan hajatan warga. Salah satu lagunya, Nasè’ Soḍu, dulu bisa membuat siapapun berhenti ngobrol sejenak hanya untuk ikut bersenandung. Hari ini, lagu itu nyaris menghilang, seperti aroma nasi santan yang tinggal di udara setelah dapur padam.

Video klipnya masih bisa ditemukan di youtube (di kanal Panggung Rajana), dan tentu kualitasnya buram dan jelek. Tapi, kejujurannya bening. Tak ada glamor. Tak ada konsep video yang ribet bin ruwet. Hanya seorang penjual nasi muda melayani pembeli, orang-orang kampung, tua-muda, sopir truk, anak-anak sekolah dan penyanyi pria yang bernyanyi di tengah mereka, bukan di depan mereka. Kamera bergerak seadanya, tapi yang terekam justru sesuatu yang langka, yakni “kehangatan”. Ini bukan dangdut dari dunia industri mayor label nasional, ini dangdut yang tumbuh dari dunia yang sesungguhnya.

Secara musikal, Nasè’ Soḍu adalah karya yang matang tanpa kemewahan. Tangga nadanya pentatonis slendro, khas Madura, terkesan tradisional tapi memikat, seperti garam laut yang asin tapi membuat candu. Lagu dibuka dengan tuti (melodi unisono) kecil sebelum melodi suling mengalun lembut di atas filler (isian melodi) string, dan piano yang melodius. Irama 4/4 berjalan tenang, dengan tempo menengah yang membuat tubuh ingin bergoyang tanpa kehilangan kesantunan.

Di balik itu semua, ada harmoni instrumen rakyat: kendang dangdut yang jujur, tamborin yang menari di sela ritme, gitar elektrik yang muncul singkat untuk memberi kilau, bass yang menahan nada dasar, akordeon yang masuk menjelang chorus (reff) memberi napas nostalgia, dan tentu saja suling dan string yang terus menghembuskan laut ke dalam ruang dengar. Saat reff tiba, groove-nya mengeras, irama dangdut klasik menyela, membentuk ayunan khas hajatan parlo yang enerjik, tapi tetap membumi.

Vokal Agus Rajana lembut, manis, penuh cengkok dangdut Madura yang kaya improvisasi. Dia tidak bernyanyi untuk menegaskan, tapi untuk bercerita dan merayu. Di liriknya, antara rayuan, humor, terselip filosofi rakyat yang sederhana tapi cukup dalam:

Sèndhemmi ghâllu, mi’ pola bâdâ lakèna” (Selidiki dulu, jangan-jangan ada suaminya)

Baris itu bukan sekadar lelucon, tetapi cerminan dari kehidupan sosial orang Madura, tentang etika, kehati-hatian, dan godaan yang dibungkus humor. Di tangan Agus Rajana, si penjual nasi bukan simbol erotik, tapi representasi ekonomi mikro, yakni perempuan tangguh yang menjadi pusat perputaran rezeki, tempat orang datang bukan cuma untuk makan, tapi juga untuk merasa diterima.

Video klipnya memperkuat itu semua. Tidak ada batas antara pemain dan penonton. Warung jadi panggung, kehidupan jadi latar. Anak-anak sekolah, orang tua, sopir, pedagang keliling, musisi tradisional, semuanya bagian dari pertunjukan. Ini bukan “Official Music Video”, tapi sudah mendekati “etnografi visual rakyat”. Setiap tawa di sana adalah bentuk perlawanan kecil terhadap kerasnya hidup. Humor menjadi mekanisme bertahan, seperti halnya musik.

Nasè’ Soḍu” juga merekam satu transisi yang cukup penting, ketika dangdut lokal Madura masih berdiri antara tradisi dan arus modernisasi. Masih terdengar suling trolingkung, tapi juga ada string dan bass elektrik. Ia bukan lagu kampung yang terjebak irama nostalgia, tetapi semacam entitas hibrida yang sadar diri, tahu asalnya, tapi tidak malu tampil dengan aransemen modern.

Kini, dua dekade kemudian, lagu ini sudah jarang terdengar. Tidak muncul lagi di radio, tidak diulang di parlo (hajatan pernikahan), apalagi di TikTok. Ia hidup di dunia digital hanya sebagai file buram, diunggah oleh akun youtube penciptanya sendiri yang sekarng sudah meninggal dunia. Tapi justru di situ pesonanya bertahan. Lagu ini seperti nasi sodu yang sudah dingin tapi masih enak, karena rasa utamanya bukan pada panasnya, tapi pada kejujuran bumbunya.

Mendengar “Nasè’ Soḍu” hari ini, kamu seperti membuka jendela ke masa di mana musik masih punya aroma manusia. Ketika cengkok dinyanyikan, bukan disampel (sampling), ketika kendang ditabuh oleh tangan yang berkeringat, bukan oleh copy paste looping machine. Ketika lagu tidak dibuat untuk viral, tapi untuk menemani seseorang makan malam di warung kecil.

Agus Rajana mungkin sudah tiada, tapi rohnya masih hidup di setiap irama kendang dangdut Madura. Nasè’ Soḍu adalah pengingat bahwa musik bisa tumbuh dari dapur, dari aroma nasi dan santan, dari suara rakyat yang menolak diam. Ia membuktikan bahwa di luar industri mayor label, dan gemerlapnya dunia selebritas, masih ada musik yang berdenyut dengan darah manusia.

Jadi kalau kamu kebetulan melintasi Situbondo-Asembagus malam-malam, dan mencium bau santan bercampur asap rokok di warung kecil di pinggir jalan, jangan buru-buru lewat. Duduklah barang 15 menit, pesan sepiring nasi sodu, dan nyalakan lagu ini. Mungkin di antara kepulan kuah dan suara suling, kamu akan menemukan kembali sesuatu yang hilang: rasa, nada, dan kejujuran yang dulu pernah kita miliki.

Tautan lagu Nasè’ Soḍu dari kanal Youtube Panggung Rajana (milik Agus Rajana)

Penulis

  • Dosen Seni Pertunjukan, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jember. Sedang melanjutkan kuliah doktoral di Sekolah Pascasarjana – Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa (PSPSR), Universitas Gadjah Mada D.I. Yogyakarta. Menulis Buku Dangdut Madura Situbondoan (2017) Tabbhuwan: Seni Pertunjukan Masyarakat Madura di Tapal Kuda (2020).


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Buku Nurul Hasan Ulas

Ulas Buku: (Sekarang) Dungu Lebih Baik

Esai N. Fata

Harlah ke-60: Mimpi-mimpi Semu Kader PMII

fulitik

Bang Zul Ajak OJK dan BI Berdayakan UMKM di Situbondo

Puisi Toni Kahar

Puisi : Aku Mengecup Hujan Karya Toni Kahar

Buku M Ivan Aulia Rokhman Ulas

Resensi Buku Pohon Kesayangan Daru

Imam Suwandi Puisi

Puisi – Subuh yang Terjarah

Apacapa Permata Kamila Situbondo

Arebba: Mendoakan Para Leluhur

Buku Ulas

Koruptor, Pramoedya Ananta Toer

Apacapa fulitik

Tenang! Ini Solusi Mas Rio Buat Teman-teman Honorer Situbondo yang Dirumahkan

Kuliner Situbondo

Nasi Karak, Takar dan Ghesseng

Ahmad Zubaidi Puisi

PUISI : Penjahit Sunyi Karya Ahmad Zubaidi

honor huawei smartphone

Kualitas Dual Kamera Pada Huawei Honor 9 Lite

Agus Hiplunudin Cerpen

Cerpen : Kisah Cinta Adam Hawa Karya Agus Hiplunudin

Apacapa Nanik Puji Astutik Prosa Mini

Surat Cinta untuk Anakku Kelak

Apacapa

Yang Tidak Dilihat Firdaus soal Honorer Situbondo

M Lubis Cadiawan Mored Moret

Cinta Tak Pernah Ada Batas

Alex Buku Ulas

Membaca Dawuk : Kisah Kelabu Dari Rumbuk Randu

Muhaimin Prosa Mini

Tahun Baru? Why Not?

Cerpen

Cerpen: Juru Rawat Kenangan

Cerpen Moh. Jamalul Muttaqin

Cerpen: Takdir