Kicau PBB: Jebakan Paranoid Ala Riski

Narasi yang mengkritik kebijakan “diskon” Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Situbondo sebagai kebijakan yang lebih menguntungkan pemerintah ketimbang rakyat memang menggugah. Namun, untuk memahami isu ini secara utuh, perlu dilihat dari sudut pandang yang lebih seimbang dan tidak gegabah. Tentu agar tidak terjebak dalam paranoid ala Riski sebagaimana argumennya di suar.

Begini, Bro. Kenaikan tarif PBB hingga 400-900% dan program diskon untuk tunggakan pajak 1994-2019 memang kontroversial sih. Tetapi menilai kebijakan ini sebagai semata-mata “jalan pintas” atau “krisis inovasi fiskal” bisa jadi terlalu simplistik.

Ada argumen yang mendukung bahwa kebijakan ini, meski tidak sempurna, merupakan bagian dari strategi fiskal yang diperlukan untuk menjaga stabilitas keuangan daerah. Biar lebih terang, coba saya senter dulu si Riski ini. Eh bukan, coba cermati ini baik-baik, ya.

Pertama, kenaikan tarif PBB tidak bisa dipisahkan dari konteks keuangan daerah yang tengah tertekan. Situbondo, seperti banyak kabupaten lain di Indonesia, menghadapi tantangan dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di tengah keterbatasan sumber daya dan ketergantungan pada Dana Alokasi Umum (DAU) dari pemerintah pusat.

Informasi yang saya peroleh, realisasi PAD dari PBB hanya mencapai 60-70% dari target, menunjukkan adanya masalah kepatuhan wajib pajak. Makanya, program diskon untuk tunggakan pajak 1994-2019, dalam hal ini, dapat dilihat sebagai upaya untuk mendorong kepatuhan wajib pajak sekaligus menarik kembali dana yang telah lama tertahan. Ngaghali, Ki?

Kedua, narasi bahwa kenaikan PBB mencerminkan “kemiskinan imajinasi fiskal” perlu diimbangi dengan fakta bahwa pemerintah daerah tidak sepenuhnya berdiam diri. Soal ini, Riski seolah tutup mata atas gebrakan Mas Rio sejauh ini.

Pemkab Situbondo, di bawah kepemimpinan Bupati Rio, telah mencoba menggali potensi PAD melalui sektor lain, meski mungkin hasilnya belum optimal. Misalnya, revitalisasi pariwisata di Pantai Pasir Putih (on process) menunjukkan upaya untuk meningkatkan pendapatan dari sektor pariwisata.

Selain itu, pengelolaan aset daerah seperti pasar tradisional dan optimalisasi retribusi parkir juga sedang digalakkan. Meskipun dua BUMD (Pasir Putih dan Banongan) ditutup, hal ini bisa jadi merupakan langkah rasional untuk menghentikan kerugian operasional yang tidak berkelanjutan, bukan sekadar kegagalan manajerial.

Ketiga, menyalahkan kebijakan PBB sebagai solusi instan yang “menyakitkan” bagi rakyat perlu dipertimbangkan dengan realitas bahwa pajak adalah tulang punggung pendanaan pembangunan.

Tanpa PBB, proyek-proyek infrastruktur seperti pembangunan jalan, jembatan, atau fasilitas kesehatan yang menjadi prioritas masyarakat Situbondo bisa terhambat.

Sebagai contoh, anggaran untuk program kesehatan gratis (Berantas) di Situbondo tahun ini informasinya sebagian besar dibiayai dari PAD, termasuk kontribusi PBB.

Nah menuduh pemerintah “malas” atau “tidak kreatif” mengabaikan fakta bahwa inovasi fiskal seperti Kemitraan Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau pengembangan BUMD membutuhkan waktu, keahlian, dan investasi awal yang tidak selalu tersedia dalam jangka pendek.

Lalu, mengenai janji kampanye untuk mengembalikan tarif PBB ke level semula, memang perlu ditelaah kembali. Tentu dengan memperhatikan kondisi fiskal saat ini. Pemerintah bisa mengambil langkah kompromi, seperti memberikan insentif pajak bagi wajib pajak yang taat atau menurunkan tarif secara bertahap seiring dengan peningkatan PAD dari sektor lain.

Kebijakan ini tidak harus dilihat sebagai retorika kosong, melainkan sebagai tantangan untuk menyeimbangkan kebutuhan fiskal dengan keadilan sosial. Tolong catat tebal-tebal poin ini ya, Riski.

Pada akhirnya, saya kira, kenaikan PBB dan program diskon di Situbondo bukanlah sekadar “promo ala mall” yang menipu, tetapi juga bukan solusi ideal yang bebas dari kritik.

Kebijakan ini mencerminkan dilema klasik pemerintah daerah: bagaimana memenuhi kebutuhan anggaran tanpa membebani rakyat secara berlebihan.

Maka bagi saya, ketimbang hanya menyalahkan pemerintah atas “krisis inovasi,” masyarakat dan pemerintah perlu bekerjasama untuk mencari solusi yang lebih kreatif dan adil, seperti memperkuat sektor pariwisata, mengelola aset daerah dengan lebih baik, dan meningkatkan transparansi penggunaan PAD.

Berkicau (dialog) konstruktif antara pemerintah dan masyarakat akan menciptakan kebijakan pajak yang tidak hanya mendukung pembangunan, tetapi juga mencerminkan prinsip keadilan dan keseimbangan.

Dengan demikian, Situbondo bisa keluar dari jebakan fiskal tanpa mengorbankan kesejahteraan rakyat. Dan.. Saya yakin Anda semua tidak separanoid Riski. []

_________

Editor: Hans.

Penulis


Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apacapa Imam Sofyan

Tips Asyik Memilih Bupati dan Wakil Bupati

Halimatussa’diah Mored

Puisi Mored: Pergi Tanpa Kembali dan Puisi Lainnya

Alex Cerpen

Cerpen: Masalah Ketika Ingin Menjadi Dewasa

Alexong Cerpen Dody Widianto

Cerpen: Gelas, Pion dan Lukisan Picasso

Anwarfi Citta Mandala Puisi

Puisi-puisi Citta Mandala

Nida Nur Fadillah Puisi

Puisi: Angin Misterius

Buku Thomas Utomo Ulas

Ulas Buku: Berkaca pada Cerpen Para Juara

Apacapa

Situbondo Dik, Bukan Jalan Situbondo

Moret Taradita Yandira Laksmi

Cerpen Mored: Lukisan Kenangan

Buku Indra Nasution Ulas

Sedikit Ulasan tentang Sekolah itu Candu

Puisi Tjahjono Widarmanto

Ayat Nostalgia dan Puisi Lainnya Karya Tjahjono Widarmanto

Apacapa

Tarawih: Pakai Sarung tanpa Celana Dalam

Agus Hiplunudin Apacapa Esai Feminis

Perempuan dalam Pusaran Konflik Agraria di Indonesia

Buku Dani Alifian Ulas

Ulas Buku: Narasi Nasib Sastra Untuk Anak

Ana Khasanah Buku Ulas

Ulas Buku: Mengabdi Adalah Seni Menjelajahi Diri

Busyairi Puisi

Puisi: Wanita Tanpa Wajah

Cerpen Levana Azalika

Kutu dan Monyet

Apacapa Moh. Imron

Tellasan dan Ngojhungi

Cerpen Rumadi

Cerpen – Batas yang Direbutkan

Wisata Situbondo

Wisata Situbondo Lengkap